Beat the Whites with the Red Wedge (1920) - El Lissitzky


Saya kesal ke adik perempuan yang bolos sekolah. Tapi saya juga tahu memarahinya tidak akan membuat keadaan lebih baik. Dengan semacam beban moral, saya pinjami buku Sakuntala, kumpulan puisi Goenawan Marwanto untuk ia baca di rumah.

Beberapa hari kemudian, saya iseng membuka buku catatannya yang geletak di ruang tamu. Saya lihat dia banyak menulis puisi. Tapi, tunggu dulu, ini kan puisi Goenawan Marwanto dari Sakuntala? Kok ada nama adik saya di bawahnya?

Tiba-tiba saya kecewa. Saya orang yang begitu menghargai karya asli orang lain. Tidak etis menghormati puisi orang dengan mencantumkan nama kita di bawah kutipan. Saya bahkan pernah marah besar ke (mantan) pacar karena mengepos tulisan pribadi saya dari blog tanpa sepengetahuan saya. Tapi di tengah badai informasi, itu seperti kelaziman. Semua membagikan kutipan yang menurut mereka ditujukan langsung kepada mereka, lalu menyebarkannya lagi ke publik maya tanpa peduli dari mana dan oleh siapa penulisnya.

Anda pasti pernah baca satu dari kutipan Albert Einstein ini di internet: “Aku takut hari-hari ketika teknologi menyalip kemanusiaan kita. Dunia hanya akan diisi oleh generasi idiot” atau “Setiap orang adalah jenius. Tapi bila Anda menilai seekor ikan atas kemampuannya memanjat pohon, ikan itu akan selamanya percaya bahwa dia goblok”.

Kutipan itu penuh ilham, visioner, dan menggugah. Masalahnya cuma satu: Einstein tidak pernah mengatakan hal-hal itu. (Masih ada tujuh kutipan palsu Einstein yang dukumpul M. Novack.)

Membubuhi kutipan inspiratif ke figur yang dikelilingi dengan citra keajaiban memang bisa mempertajam kekuatan pesan. Di lingkaran diskusi saya yang lama, seorang senior bahkan mengklaim Einstein memeluk Islam di akhir hayatnya, dan relatifitas waktu terilhami dari petualangan isra’ miraj nabi Muhammad saw.

Memang sudah kodrat psikologis manusia untuk ingin mempercayai apa yang mereka harap benar—terlebih bila keyakinan itu mendukung ego identitas atau situasi perasaan mereka. Persoalan lebih parah ketika keyakinan berbasis baju identitas dan kuasa emosi itu dipaksakan dengan tangan terkepal atau bahkan diangkat derajatnya sebagai bukti saintifik.

Hari demi hari yang tumbang di jendela gawai kita adalah langkisau informasi dan distraksi. Kecepatan membuat kita malas mengoreksi fakta di balik data yang tiba dengan gegabah. Sedangkan kita sendiri, seringkali, tidak punya cukup integritas sebagai pembaca dan tidak punya komitmen berpikir ilmiah setiap mengeposkan sesuatu di media sosial.