Jackson Pollock Convergence 1952
Identitas
seseorang bisa memengaruhi banyak hal. Identitas itu mungkin bisa berupa
kelamin. Dengan jargon yang garang yakni “kelamin kelas dua”, berbagai kelompok
perempuan di seantero dunia ramai-ramai menyerukan revolusi kesetaraan gender.
Pun hanya karena identitas, perang demi perang meletus: perang salib, perang
dingin, dan sebagainya.
Saya
ingin membahas sedikit buku Kekerasan dan
Identitas karya Amartya Zen, seorang peraih nobel ekonomi beberapa tahun
silam. Objek bahasan dalam buku ini adalah identitas dan afiliasi yang dibuat
oleh umat manusia dalam lingkup demokrasi, keagamaan, serta kesertaan
biografis.
Wacana
ini menjadi penting karena kita tengah berada di era globasisasi dan
multikulturalisme yang semakin mengalami akselarasi dari hari ke hari. Dengan
keberadaan zaman kiwari, kita lalu bisa kenalan langsung dengan orang kulit
hitam, orang Amerika, India, Rusia, dan lain-lain. Di samping itu, zaman kiwari
ini juga menjadi rentan akan munculnya kekerasan mengatasnamakan klaim
identitas. Mencari-cari perbedaan tak beda dengan mengilir tajam potensi
kekerasan.’
Kekerasan
dalam bentuk apapun (semisal perang, konflik, perseturuan, sengketa) merupakan
salah satu ketidakpahaman manusia mengenai keluasan kemungkinan atas
realitasnya.
Sesungguhnya
Zen ingin bilang, bahwa identitas yang melekat pada manusia merupakan aksiden
dari manusia, bukannya substansi. Dan sebagai aksiden pula, identitas dapat
menjadi faktor penting untuk memantik munculnya kekerasan. Sementara itu,
proses rekognisi manusia dalam memandang identitas partikular (muslim, Amerika,
Yahido, Cina) sebagai yang utama ketimbang memandang manusia sebagai manusia, sebagai substansi yang
universal.
Kita
terjebak pada yang partikular (identitas) ketimbang pada universal (yang mana
identitas itu melekat).
Nasihat
luhung Zen dalam buku ini adalah agar manusia dapat senantiasa berpikir bebas
dan untuk mengembangkan kemampuan orang lain untuk berpikir bebas.
Apa
yang sangat dilawan Zen adalah pendekatan soliterisme dalam mengenali
identitas. Soliterisme yakni memilah penduduk dunia dalam satu bentuk peradaban
atau kepercayaan tertentu saja. Sehingga tak membuka kemungkinan untuk irisan
kebudayaan-kebudayaan lain. Manusia akhirnya tampak sebagai anggota salah satu
komunitas saja sehingga persoalan penilaian menjadi perkara labeling.
0 Komentar