At The Moulin Rouge (1895) - Henri Toulouse-Lautrec
“Lihatlah
Royal Exchange in London, tempat yang
lebih terhormat daripada banyak pengadilan, di mana para wakil dari semua
bangsa bertemu untuk kepentingan umat manusia. Di sana orang Yahudi, Mahometan
(Islam), dan Kristen bertransaksi bersama karena mereka semua menganut agama
yang sama, dan tidak memberikan julukan Kafir kepada siapa pun kecuali yang
bangkrut. Di sana, presbiterian curhat dalam anabaptis, dan anggota gereja
bergantung pada perkataan quaker. Dan semuanya puas.” (Letter Concering the English Nation, dikutip dalam Porter 2000:
21.)
Kutipan
di atas sesungguhnya hanya mengikuti ritme napas pencerahan di masa silam, yang
mengulang kembali semangat dari kata-kata Voltaire: “Di hadapan uang, agama
semua orang sama.” Juga selaras dengan Yuval Harari, bahwa orang bisa berbeda
soal agama, ideologi, bangsa, ras, etnis, tapi tidak bila berurusan soal
perkara uang; semua manusia sama saja. Dengan itu ia proklamirkan bahwa uang
merupakan fiksi yang paling kuat sepanjang batu penjuru sejarah, yang sanggup
membuat manusia menemukan kesamaan mereka satu sama lain.
Uang
juga, dalam beberapa tafsir yang radikal, bisa kita asosiasikan dengan Tuhan.
Semisal tengoklah sepotong kalimat di uang dollar yang merupakan mata uang
internasional kita. Di sana tersitat: “In God we Trust (Kepada Tuhan kami
menaruh percaya)”. Seolah uang menjelma jadi jimat atau tasbih, di sana,
keyakinan masing-masing orang pada Tuhan diinvestasikan lewat pertukaran
ekonomi.
Meskipun
sebenarnya, kerap pula pesona Uang (kali ini dengan huruf kapital) mengalahkan
keyakinan seseorang pada Tuhan. Bila sebelumnya orang rela berperang atas nama
Tuhan masing-masing, demi surga ideal dan versi neraka yang berbeda lewat
perang Salib atau perang Sabil, di era yang muncul setelahnya, peperangan menjelma
dalam wajah berbeda: perang untuk Uang. Peperangan konvensional tak lebih
daripada upaya mengokupasi territorial lawan demi menguasai sumber daya alam
dan sumber daya manusia untuk mendongkrak ekonomi. Lalu sampai hari ini perang
demi Uang berganti rupa dan disebut perang finansial. Motifnya tak pernah
berbeda: demi keuntungan Uang.
Baru-baru
ini saja seorang ketua partai bersimbol Islam ditangkap dengan dugaan jual-beli
jabatan di kementrian agama. Partai tersebut tercatat sudah dua kali ketuanya
ditangkap oleh KPK atas tuduhan korupsi. Ini hanya membuktikan, bahwa dalam
institusi berlabel agama sekalipun, kadang-kadang Tuhan mereka diselingkuhi
dengan Tuhan modern: Uang. Hal yang serupa bisa kita dapati di abad kegelapan
Eropa, yang mana para kuasa pastoral digunakan untuk memonopoli keuntungan
ekonomi. Tak heran pada zaman-zaman begitu, orang akan lebih banyak
bercita-cita sebagai pemuka agama ketimbang pejabat negara.
*Bandung,
1 April 2019.
0 Komentar