(Sumber gambar udah ada di bawah gambar tuh, mandiri amat yak)
Tahun lalu, teman lama saya tiba-tiba
mengontak lewat Instagram, ia pengen konsultasi soal tema skripsinya. Ia
mengangkat soal bahasa-bahasa tabu dalam khazanah Bolaang Mongondow. Di sana
saya lihat seorang perempuan imut dengan wajah polos bisa menulis kata-kata
kasar dengan memakai topeng Awkarin. Pokoknya kata-kata yang bikin
berangsanglah. Di tengah proses penggalian referensi, saya pun ketemu dengan
Benjamin K Bergen, penulis buku “What the F”—kita tentu sudah familiar dengan
huruf “f” yang tersitat itu.
Benjamin Bergen adalah seorang linguis
yang meneliti kata-kata makian demi mengungkap apa hakikat bahasa, otak, dan
budaya seluruh manusia yang sesungguhnya relatif. Meski kata f*** merupakan
kata paling moncer untuk memaki dalam bahasa Inggris, Bergen justru temukan
dalam survey bahwa kata f*** berada di urutan ke-13. (Angka tersebut tentu
sering diasosiasikan dengan angka sial dalam mitos urban.)
Dalam buku What the F itu, Bergen
mengklasifikasikan bahasa tabu ke dalam empat kategori. Pertama kata-kata yang
menyangkut perihal keagamaan (goddamn),
kedua kata-kata yang berhubungan dengan aktivitas seksual (motherfucker), ketiga kata-kata yang berhubungan dengan organ vital
(dickhead, cunt), dan keempat
kata-kata yang bersifat menghina atau mencerca (nigger, Jews). Menurut survey Amerika Inggris, secara hierarkis di
antara empat kategori tersebut, kata-kata makian yang paling kotor atau jorok
adalah nigger diikuti oleh motherfucker diikuti oleh dick diikuti oleh goddamn.
Secara kultural, temuan itu tentu tidak
mengejutkan mengingat Amerika maupun Inggris adalah negara demokratis yang
sekuler, yang agama diposisikan di pinggir lalu lintas bernegara. Kata-kata
tabu dalam terminologi agama tentu tidak semengerikan yang dapat saja terjadi
di negara relijius seperti Indonesia, Arab, atau Iran. Bahkan dahulu di Eropa
Abad Kegelapan Pekat, menyebut “ateis” sudah merupakan hinaan keras. Di daerah
saya Bolaang Mongondow, umpatan “babi” merupakan kata yang cukup tajam membikin
luka hati karena daerah saya notabene mayoritas Islam, dan babi sebagai makanan
dianggap haram oleh agama mayoritas kami (terlebih bila hewan itu diungkapkan
dengan kalimat bastar seperti “anak babi”). Di Manado yang mayoritas Kristen,
saya justru kerap melihat kata babi sebagai kata-kata bercandaan ketika
nangkring.
Lebih lanjut lagi, Bergen membahas soal
ortografi, atau ilmu yang bicara soal gambaran bunyi bahasa atau lambang atau
sistem ejaan suatu bahasa. Dalam ortografi Inggris, kata yang paling buruk
adalah kata-kata yang terdiri dari empat huruf. Tengoklah seperti (cock, butt, slut, cunt, fuck, dan
seterusnya, dan seterusnya…) Di daerah saya sendiri, empat kata terangker itu
adalah: cuk*, luj*, babi, iyut, olat, dan
seterusnya, dan seterusnya…. Empat kata terkutuk itu jauh berada di atas
kata-kata buruk yang terdiri dari tiga, lima, enam, atau tujuh kata. (Fakta ini
cukup mengejutkan mengingat Jacques Lordat pernah ngomong: “warisan terbesar
dari lidah kita, yang mana dimulai dari huruf ‘f’ merupakan kata yang tak
pernah berani dicetak di kamus kita (1843).)
Tetapi apakah yang menciptakan kata-kata
cacian ini (profanity)? Ini
disebabkan keyakinan kultural bahwa beberapa kata itu sesungguhnya buruk dalam
beberapa konteks. Struktur sosial lantas membuat mekanisme panoptikon buat
menghukum, atau melakukan penyensuran, atau mencegah terjadinya kata-kata
demikian. Di negara dengan hak berekspresi rendah, tata cara bicara dan
ketersinggungan emosional seseorang bisa saja jadi sumber hukum. Di media
massa, penyensuran bekerja dengan memotong adegan yang menggunakan kata-kata
makian atau mematikan suara ketika kata makian itu sedang diujarkan. Ironisnya,
tiap kali kata itu muncul meski dengan sensor di TV, saat itu pula kata-kata
tabu itu makin kuat; media mereproduksi kembali kekuatan dari kata-kata
tersebut.
0 Komentar