(sumber: yth Google)

Baru-baru saya menulis ulasan terhadap sebuah film dokumenter. Saya berusaha seketat mungkin untuk memberi penilaian dengan cara “adil sejak dalam pikiran” versi Pram. Dan karena keterbatasan statistik serta data, saya harus memberi sudut pandang dari dua spectrum ekstrem sembari menahan hasrat untuk memberi konklusi. Saya berusaha membaca scenario paling pahit dan scenario paling buruk yang mampu dijangkau oleh batas nalar dan imajinasi saya.

Pada akhirnya saya berpendapat: untuk setiap masalah yang tersedia di depan mata kita, bersikap panglossian atau putus asa selalu merupakan pilihan yang buruk. Seseorang lalu bilang bahwa saya mungkin seorang possibilis. Langsung saya ingat Hans Rosling, professor dari Swedia yang lihai menyampaikan statistik seperti orang mendongeng. Steven Pinker menyukai pernyataan Rosling yang lebih senang disebut “possibilis” ketimbang optimis.

“Orang-orang menyebut saya optimis, karena saya memperlihatkan kepada mereka kemajuan besar yang tidak mereka ketahui. Sebutan itu membuat saya berang. Saya bukan seorang optimis, sebutan itu terkesan sangat naif. Saya adalah “posibilis” yang sangat serius. Artinya seseorang tidak boleh membangun harapan tanpa alasan yang tepat dan tak boleh ketakutan tanpa alasan yang jelas, mestinya setiap orang menolak sudut pandang yang terlalu dramatis. Sebagai posibilis saya telah menyaksikan kemajuan, dan kemajuan ini mengisi dada saya dengan keyakinan dan harapan bahwa kemajuan di masa depan kelak adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Sikap demikian tidaklah optimis. Melainkan ini soal kejernihan dan gagasan masuk akal tentang dunia. Ini semua adalah tentang memiliki sudut pandang konstruktif dan bermanfaat bagi umat manusia,” demikian ujar Hans Rosling dalam Factfullness.

Untuk menjadi seorang posibilis khas Rosling, kita perlu menghindari berbagai bias yang umumnya meliputi kehidupan manusia sehari-hari. Dalam Factfulness, Rosling berusaha menjembatani gap antara realitas dan ilusi. Dengan data, dunia bakal tampak tidak sedramatis dari yang sering kita kira.

1.    Insting Gap

Berpikir secara dikotomis, atau berpikir dengan skema oposisi biner. Cara pikir ini membuat kita hanya terpaku pada dua sudut ekstrem tanpa melihat apa yang berada di tengah-tengahnya. Seperti baik atau buruk, cinta atau benci, perang atau damai, kami atau mereka. Menurut saya cara berpikir ini tampak seperti “jalan tengah emas” Aristotelian. Kita berusaha melihat wilayah netral, sebuah wilayah abu-abu yang berada di dua titik ekstrem. Memang benar juga kata Harari, kita cenderung menyimplikasi masalah dengan membagi sesuatu menjadi dua hal yang kontradiktif secara ekstrem, misalnya jahat dan baik. Tapi kita sering lupa bahwa di antara itu, selalu ada titik tengah atau jalan tengah.

2.    Insting Negatifitas

“Kita punya tendensi untuk lebih memperhatikan apa yang buruk daripada yang baik.” Di sini Hans lalu menyebut dirinya seoirang posibilis daripada optimis. Seorang posibilis adalah yang memiliki gagasan masuk akal dan jernih tentang segala sesuatu.

“Hanya dalam 20 tahun silam, 29% populasi dunia tinggal dalam kemiskinan ekstrem. Kini angka itu tersisa 9% saja.” Kita telah lebih sejahtera dan punya lebih banyak kesempatan dalam mengakses kebebasan dan inovasi. Sayangnya, fakta menakjubkan ini sering luput dari amatan. Sebab kabar buruk teramat gemar mencuri perhatian.

3.    Insting Garis Lurus

Tatkala kita melihat grafik yang menukik ke atas, kita cenderung berasumsi bahwa kenaikan itu akan berlanjut selamanya. Kenyataannya, sebagian besar tren memiliki pola yang mesti kita kenali. Beberapa variabel tertentu sangat mungkin mengubah tren itu hingga menukik ke bawah.

4.    Insting Ketakutan

Nenek moyang kita selalu berada dalam opsi “fight or flight” demi bertahan hidup. Jika kita kena racun laba-laba atau gigitan ular, maka tidak ayal lagi kita akan segera tewas. (Saya tidak heran bahwa kewaskitaan pada keberadaan ular merupakan peninggalan nenek moyang di otak pulvinar manusia.) Kita takut akan bahaya tersebut, tapi di zaman yang modern ini, berbagai keracunan telah diatasi. Tapi ketakutan nenek moyang masih saja merupakan insting natural yang dimiliki semua orang.

“Rasa takut tidaklah nyata. Rasa takut hanya eksis dalam pikiran kita ketika menerawang masa depan… Bahaya adalah nyata, tapi ketakutan merupakan pilihan,” demikianlah ujar Will Smith.

Ketika sibuk dengan rasa takut, kita sesungguhnya telah membuang-buang waktu berharga yang bisa kita investasikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Rosling menyarankan kita untuk mengalkulasi risiko dari setiap objek ketakutan kita, agar bisa mereduksi insting ini. Atau, sebagaimana ujar Rosling, “risiko akan bertambah besar jika Anda lari daripada menghadapi rasa takut itu sendiri.”

5.    Insting Ukuran

Kita membuat segala sesuatu tidak proporsional ketika kita fokus pada satu hal tunggal. Mari gunakan aturan 80/20. Yang mana 20% akan berkontribusi kepada 80% hasil. Temukan nilai rata-rata dari kalkulasi ini. Sehingga kita bisa melihat segala sesuatu secara lebih proporsional.

6.    Insting Generalisasi

Kita punya tabiat untuk menggeneralisir persoalan yang akhirnya akan menghentikan gairah ingin tahu kita. Dalam logika Mundiri, ini disebut juga sebagai fallacy of hazty generalization. Kita seyogianya perlu mencari kemiripan dan perbedaan dalam suatu kelompok jenis tertentu, dan tetap melindungi gairah bertanya. Dengan ini kita dapat mengembangkan nalar kategorisasi ketimbang generalisir.

7.    Insting Kismat

Sebuah kebiasaan sesungguhnya adalah laku keseharian yang akhirnya mengeras. Kebiasaan perlu waktu untuk mengeras dan terkadang tidak nampak kemajuannya. Sangat penting untuk selalu up-to-date dengan tren dan ingatlah apa yang terjadi hari ini berbeda dengan apa yang terjadi dengan kemarin. Perubahan lambat tetap saja adalah perubahan. Dan tidak ada namanya kismet, nasib tidak disuratkan untuk kekal. Manusia bisa mengubahnya, kendatipun itu butuh waktu yang lama.

8.    Insting Perspektif Tunggal

Rosling menghubungkan ini dengan ego. Ego membuat kita percaya bahwa perspektif kita adalah paling benar. Dengan mempertanyakan segala sesuatu, kita sebenarnya tak hanya mencegah diri dari generalisasi, tapi juga pikiran kita akan tetap terbuka dengan berbagai perspektif baru. Bereksperimenlah dengan perspektif baru dan perluas sudut pandangmu.

9  Insting Saling Menyalahkan

Kita seringkali melihat bagaimana sesuatu terjadi tanpa tahu sebab dari kejadian. Justru kita akan saling menyalahkan satu sama lain. Menyalahkan satu sama lain membuat kita buta akan eksplanasi yang berbeda.

1. Insting Keterdesakan

 Fight or flight” adalah mendesak. Para pengusaha sering gunakan insting ini untuk membuat kita bertindak cepat karena kita lebih gampang membuat keputusan yang buruk ketika terdesak. Ketika kita punya lebih banyak waktu, kita bisa menganalisis apa yang sesungguhnya lagi terjadi dan apa yang lebih kita butuhkan. Terdapat berbagai hal yang mendesak seperti perubahan iklim dan kemiskinan, tapi dari hari ke hari, hal-hal demikian tak nampak seperti yang kerap diilustrasikan.