(bolai yang sedang mengetik, dari jonathangottschall.com)

Dua psikolog, Heiden dan Simmel, membuat penelitian pada 1944. Mereka menayangkan secuplik animasi singkat kepada 120 penonton. Setelah animasi berdurasi satu menit itu selesai, mereka lalu meminta respon dari para responden. Dari 120 penonton, ternyata hanya tiga orang yang bisa menjelaskan animasi itu secara logis. Bahwa sesungguhnya yang tampil di layar hanyalah garis, segitiga, dan lingkaran: animasi itu hanya tentang geometri, tidak lebih. Tapi bagaimana dengan 117 penonton yang tersisa? Mereka tafsirkan animasi itu sebagai kisah cinta, komedi, atau cerita heroik tentang perjuangan.

 

Ketika kita melihat animasi itu, kita tidak lagi mengonsumsi fiksi, kita lagi membuat fiksi. Dan ini, adalah apa yang kita lakukan setiap hari.

 

Julukan yang lebih tepat untuk disematkan kepada manusia sesungguhnya bukan homo saphiens, makhluk manusia adalah homo victus, makhluk yang tak bisa hidup tanpa fiksi, tanpa cerita. Bahkan istilah “homo saphiens” dan “homo victus” itu sendiri adalah fiksi kan.

 

Jonathan Gottschall bertanya, kenapa kita takut nonton film horror? Kita tahu hantu-hantu di film itu tidak nyata, tidak ada darah yang benar-benar mengucur ketika terjadi perkelahian, monster itu palsu, dan kejadian-kejadian di dalamnya tak lebih dari pura-pura Tapi kok kita anggap sesuatu yang pura-pura itu seperti nyata?

 

Topik ini pernah dijajal neurosains. Otak kita dipindai lewat mesin MRI. Mesin ini lalu menonton otak kita sebagaimana kita menonton film atau menyimak sebuah cerita. Lalu diketahui bahwa otak manusia berperan lebih sebagai partisipan ketimbang penonton.

 

Ketika nonton Dilan yang cemburu, otak kita ikut cemburu. Jika Milea lagi sedih, otak kita ikut sedih. Karena itulah orang-orang menganggap film atau cerita fiksi seperti kisah nyata. Fiksi yang kita konsumsi memang tidak nyata, tapi sensasi emosi otak kita adalah asli.

 

Manusia, oleh Jonathan Gottschall, merupakan storytelling animal, makhluk yang gemar bercerita juga senang menyimak parabel. Kita makhluk yang butuh cerita dalam waktu-waktu terbaik maupun terburuk dalam hidup kita. Kita selalu senang menyampaikan cerita meskipun tidak ada satu orang pun yang meminta. Semisal, yang sedang saya lakukan sekarang.