(Ket: Sleep of Reason - Fransisco Goya)


Jrx memukul lonceng kematian para pakar akhir-akhir ini. Setiap kali ia ngomong, ada satu pakar virology dan satu pegawai WHO yang tak berguna lagi kata-katanya. Dan Jrx enjoy-enjoy saja karena pengikutnya banyak, ia selalu bisa menemukan pembenaran di dalam kata-kata pengikutnya.

Jrx adalah contoh terbaik dari kegelisahan yang diutarakan Tom Nichols dalam “Matinya Kepakaran”. Buku itu ditulis karena kekhawatiran bahwa kita tidak akan lagi bisa berargumen berdasarkan prinsip-prinsip logis dan data. Lebih lanjut ia menulis:  “Pengetahuan dasar rata-rata orang Amerika saat ini sangat rendah sampai menembus lantai ‘tak dapat informasi’, meluncur melewati ‘salah informasi’, dan sekarang terempas ke ‘ngawur secara agresif’.”

Hidup di zaman yang saling terhubung secara radikal seperti ini memang tidak melulu berkaitan dengan berkah. Ada sisi bahaya juga seperti yang dibuka tirainya oleh Jrx. Internet memang tidak sekadar membuat kita lebih kenyang informasi—banyak informasi di sini bukan berarti banyak pengetahuan—, kita menjelma jadi makhluk yang obesitas dengan informasi. Ironinya, internet bukan hanya magnet bagi orang yang rasa ingin tahunya mendidih tapi kjuga bagi orang lugu yang merasa cepat puas dengan sedikitnya yang bisa diperoleh.

Ahli-ahli dadakan pun muncul. Mereka semua kuliah di satu universitas yang sama: universitas terbuka yang disebut internet. Untuk berteriak dengan lantang dan berani, tidak butuh kerja keras akademis seperti Nichols, kita cukup punya rasa percaya diri yang lebih tinggi daripada isi kepala. Orang-orang ini disebut Nichols sebagai “segelintir orang yang belajar setengah-setengah tapi jadi sok tahu.”

Namun di atas orang-orang yang ditakuti Nichols, kita harus lebih hati-hati kepada orang yang ngawur secara agresif dan pikirinnya tak menganut pola pikir ilmiah tapi punya banyak followers yang mayoritasnya plintat-plintut. Internet bukan hanya menerbitkan “pakar jadi-jadian”, tapi juga Ustad Baequni dengan diskursus UFO sebagai kendaraan Dajjal-nya, serta ustad-ustad lain dengan ceramah “lima langkah menuju surga” atau “menjadi alim dalam satu minggu”.

Membikin teori konspirasi memang sebuah godaan berasumsi yang sulit ditolak belakangan ini. Ketika tersekap di tengah-tengah kesemrawutan yang membikin pusing tujuh keliling bersama ketidaktahuan kita, kita cenderung ingin memberi penjelasan, ingin mengisi gelas kosong dalam kepala kita. Ini disebut juga efek “black box”; manusia pengin kepastian, beberapa orang memastikan kegelapan pengetahuan dalam dirinya dengan takhayul, dengan mitos, dengan ideologi, dan atau dengan konspirasi.

Di titik yang lebih berbahaya, matinya kepakaran bisa menjelma jadi matinya kewarasan (death of sanity). Ini terjadi ketika seseorang yang mabuk teori konspirasi menyebarkan wahyu kepada ribuan followersnya yang tak peduli wahyu itu ilmiah atau tidak, selama diomongkan oleh orang yang mereka kagumi, segalanya menjadi masuk akal dan benar. Hal ini disebut juga (dunning-krueger effect). Bias psikologi dunning-krueger effect menyatakan bahwa semakin kita bodoh semakin kita yakin kalau sebenarnya kita tidak bodoh. Dan di era internet, segalanya menjadi semakin banal saja.

Sampai paragraf ini, saya tiba-tiba ingat dengan doa Austin Kleon (salah satu pekerja kreatif favorit saya) yang ia sebut “Doa Seorang Pengidap Dunning-Krueger”, begini isinya: “Ya Tuhan, semoga saya diberikan pengetahuan tentang seberapa banyak hal yang tidak saya ketahui tentang dunia ini.”

Di atas pengetahuan, memang, yang jauh lebih penting dan berharga justru lobang hitam ketidaktahuan. Sains maju dan memadamkan takhayul bukan karena parade informasi tapi hasrat memburu kebenaran di sisi gelap kita yang paling tak terjangkau. Hari-hari ini, jangan sampai kewarasan kita kembali dibakar konspirasi elit global.


-----------------------------------
*Disclaimer: meski mengutip Tom Nichols, saya tidak sepakat seluruhnya dengan dia. Beberapa kritik saya sepakat. Tapi Nichols juga tampak seperti konservatif yang bersembunyi di balik singgasana intelektual jauh di menara gading sana. Hal itu bertentangan dengan keyakinan saya terhadap kemerdekaan berpikir yang tak bisa dikerangkeng dalam kertas bernama ijazah dan beberapa huruf yang disebut titel.
*Disclaimer kedua: saya bukan perwakilan elit global.