George Stinney Jr masih berusia empat
belas tahun. Ia masih sangat muda, dan ketakutan. Berhadapan dengan orang
dewasa memakai seragam polisi formal dengan wajah garang telah menyudutkan anak
kecil berkulit hitam itu. Ia menangis, ingin mengadu, tapi ia tak tahu
bagaimana. Ia akhirnya terpaksa mengakui sesuatu yang tak pernah ia lakukan, ia
dipaksa mengakui sebuah pembunuhan. Hanya butuh dua jam persidangan dan
pertimbangan sependek sepuluh menit untuk memvonis Stinney bersalah dan
dijatuhi hukuman mati. Anak tak berdosa berusia empat belas tahun itu tak pernah mengira hidupnya akan berujung
pada kursi listrik yang selalu ia lihat dari sela jerjak ruang penghakiman.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, diketahui
bahwa Stinney sebenarnya tidak bersalah atas tuduhan keji yang dilimpahkan
kepadanya. Namanya bersih memang. Tapi maut tak bisa diulang. Budaya populer
kita lantas mengenang Stinney dalam To
Kill a Mocking Bird karya Harper Lee. Kisah serupa dapat kita temukan dalam
film Green Mile, tentang hukuman mati
yang salah sasaran dan betapa hukum kadang suka terburu-buru menuduh.
Tapi kenapa hal-hal seperti ini terjadi?
Apakah hukum sebagai arena di mana nalar mencari dan memancang keadilan demi
mencegah sesuatu yang tinggi runtuh, telah benar-benar menciderai usahanya
sendiri? Apakah hukum atau hakim yang salah di sini?
Baru-baru ini saya menonton serial dokumenter
yang meneliti sifat-sifat dasar sejati manusia. Seratus orang koresponden
dikumpulkan untuk membuat eksperimen yang jangkauan topiknya begitu luas: dari
perkara kebahagiaan, persepsi inderawi, ketakutan, kesenangan, ketertarikan
seksual, dan banyak lagi. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah
eksperimen untuk menentukan masa hukuman seseorang berdasarkan tampang.
Dalam eksperimen itu, para peneliti
memaparkan enam wajah narapidana. Dua yang pertama adalah pria kulit putih,
diikuti dua pria kulit hitam, dan dua perempuan kulit putih. Masing-masing
pasangan itu terbagi ke kategori wajah yang kurang menarik dan sangat menarik.
Tugas para partisipan adalah menentukan durasi masa hukuman masing-masing
tersangka. Tak dinyana, mereka dengan tampang yang menarik menerima masa
hukuman setengah dari yang mukanya tampak garang dan jelek. Kerupawanan rupanya
membuat hukuman bisa menjadi lebih ringan.
Sampai di sini, saya bukan mau bilang
bahwa dilahirkan dengan tampang tidak menarik adalah kejahatan, tetapi kita
juga tidak bisa menyangkal bahwa terdapat privilege
bagi mereka yang lahir dengan wajah yang cukup simetris sejak awal maupun
yang meluruskan asimetri itu di tengah kehidupan.
Tapi kenapa ketika berhadapan dengan wajah
yang indah secara fisik, perasaan justifikasi kita dapat ditekan sebanyak lima
puluh persen. Dunia memang tidak setara secara biologis maupun psikologis. Tapi
tidak setara bukan berarti tidak adil. Kita tentu bisa menciptakan efek
artifisial atas dampak psikologis yang kita inginkan. Soal penampilan ini,
psikologi mengenalnya dengan istilah halo
effect, yakni upaya menampilkan bagian kecil terbaik (partikular) dari kita
demi memperoleh kesan umum (universal) yang
kita inginkan. Manusia memang suka menarik kesimpulan besar hanya dari
ciri-ciri kecil yang kita saksikan dari orang lain. Perbedaan tingkat atraktif
wajah seseorang, kita tahu, bahkan bisa membuat perbedaan besar bukan hanya
soal impresi tapi juga vonis dalam soal durasi masa hukuman.
Jody David Armour menyebut keganjilan
penilaian hukum ini sebagai bias tidak sadar (unconscious bias) yang bertanggung jawab atas peradilan semena-mena
yang selama ini menimpa nasib warga kulit hitam dalam sejarah dunia kita. Bias
tidak sadar, menurut Jody, telah menyusupkan sentimen rasial ke dalam saklar
keputusan hakim yang membuat warga kulit hitam dilekati stigma sehingga membuat
masa hukumannya (cenderung) lebih panjang dari warga kulit putih. Sebuah
keputusan, bahkan di ruang sidang paling Kantian sekalipun, senantiasa
dibayang-bayangi kesesatan penilaian hanya gara-gara penampilan fisik
seseorang. Kita barangkali dapat lebih dicerahkan bila mengingat momen Jefry
Nichol ketahuan memakai cimeng, segelintir
keturunan hawa dengan vulgar, segera menampilkan pembelaan mereka yang “maha
benar” itu.
Mau bagaimana lagi, manusia memang makhluk
emosional alih-alih rasional. Pikiran kita senantiasa dimulai dengan persepsi
emosi sebelum melangkah lebih jauh ke pertimbangan rasio. Alih-alih Plato yang
dilayani budak-budak emosinya, kita tak ubahnya rasio yang melayani kehendak
maha tuan bernama emosi, demikian ujar Haidt.
Setidaknya kita tahu, penampilan menarik
adalah salah satu jenis kekuatan, sebab ia dapat menciptakan dampak yang
diinginkan, ia dapat memengaruhi keadaan dan penilaian eksternal. Namun di satu
sisi, penampilan yang tak menarik bisa membahayakan jiwa kita dalam situasi
yang paling tak kita inginkan. Pada kasus Stinney, ia menjelma ancaman nyawa.
Satu hal yang sebenarnya dapat menyelamatkan Stinney saat itu, bukan sekadar
menolak sentimen rasial di kepala kita, tapi juga senantiasa selalu menggeledah
isi kepala kita sebelum membuat keputusan-keputusan penting.
Kita tentu tak mau, kecantikan mematikan
sirkuit logika kita lebih lama lagi. Tapi, ke depan orang-orang ganteng dan
cantik yang sekal di pinggir jalan harusnya punya tugas yang lebih besar dan
mulia, agar mereka lahir tidak sia-sia. Karena di depan hari hari ini, ada saat
di mana kebenaran tak hanya cukup dibicarakan secara ketat dan kaku, tapi juga
dengan gaun dan tuksedo yang bagus.
0 Komentar