(Campanula foliis hastatis dentatis (1737) - Georg Ehret dalam katalog Carolus Linnaeus)


George Stinney Jr masih berusia empat belas tahun. Ia masih sangat muda, dan ketakutan. Berhadapan dengan orang dewasa memakai seragam polisi formal dengan wajah garang telah menyudutkan anak kecil berkulit hitam itu. Ia menangis, ingin mengadu, tapi ia tak tahu bagaimana. Ia akhirnya terpaksa mengakui sesuatu yang tak pernah ia lakukan, ia dipaksa mengakui sebuah pembunuhan. Hanya butuh dua jam persidangan dan pertimbangan sependek sepuluh menit untuk memvonis Stinney bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Anak tak berdosa berusia empat belas tahun itu  tak pernah mengira hidupnya akan berujung pada kursi listrik yang selalu ia lihat dari sela jerjak ruang penghakiman.

 

Berpuluh-puluh tahun kemudian, diketahui bahwa Stinney sebenarnya tidak bersalah atas tuduhan keji yang dilimpahkan kepadanya. Namanya bersih memang. Tapi maut tak bisa diulang. Budaya populer kita lantas mengenang Stinney dalam To Kill a Mocking Bird karya Harper Lee. Kisah serupa dapat kita temukan dalam film Green Mile, tentang hukuman mati yang salah sasaran dan betapa hukum kadang suka terburu-buru menuduh.

 

Tapi kenapa hal-hal seperti ini terjadi? Apakah hukum sebagai arena di mana nalar mencari dan memancang keadilan demi mencegah sesuatu yang tinggi runtuh, telah benar-benar menciderai usahanya sendiri? Apakah hukum atau hakim yang salah di sini?

 

Baru-baru ini saya menonton serial dokumenter yang meneliti sifat-sifat dasar sejati manusia. Seratus orang koresponden dikumpulkan untuk membuat eksperimen yang jangkauan topiknya begitu luas: dari perkara kebahagiaan, persepsi inderawi, ketakutan, kesenangan, ketertarikan seksual, dan banyak lagi. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah eksperimen untuk menentukan masa hukuman seseorang berdasarkan tampang.

 

Dalam eksperimen itu, para peneliti memaparkan enam wajah narapidana. Dua yang pertama adalah pria kulit putih, diikuti dua pria kulit hitam, dan dua perempuan kulit putih. Masing-masing pasangan itu terbagi ke kategori wajah yang kurang menarik dan sangat menarik. Tugas para partisipan adalah menentukan durasi masa hukuman masing-masing tersangka. Tak dinyana, mereka dengan tampang yang menarik menerima masa hukuman setengah dari yang mukanya tampak garang dan jelek. Kerupawanan rupanya membuat hukuman bisa menjadi lebih ringan.

 

Sampai di sini, saya bukan mau bilang bahwa dilahirkan dengan tampang tidak menarik adalah kejahatan, tetapi kita juga tidak bisa menyangkal bahwa terdapat privilege bagi mereka yang lahir dengan wajah yang cukup simetris sejak awal maupun yang meluruskan asimetri itu di tengah kehidupan.

 

Tapi kenapa ketika berhadapan dengan wajah yang indah secara fisik, perasaan justifikasi kita dapat ditekan sebanyak lima puluh persen. Dunia memang tidak setara secara biologis maupun psikologis. Tapi tidak setara bukan berarti tidak adil. Kita tentu bisa menciptakan efek artifisial atas dampak psikologis yang kita inginkan. Soal penampilan ini, psikologi mengenalnya dengan istilah halo effect, yakni upaya menampilkan bagian kecil terbaik (partikular) dari kita demi memperoleh kesan umum  (universal) yang kita inginkan. Manusia memang suka menarik kesimpulan besar hanya dari ciri-ciri kecil yang kita saksikan dari orang lain. Perbedaan tingkat atraktif wajah seseorang, kita tahu, bahkan bisa membuat perbedaan besar bukan hanya soal impresi tapi juga vonis dalam soal durasi masa hukuman.

 

Jody David Armour menyebut keganjilan penilaian hukum ini sebagai bias tidak sadar (unconscious bias) yang bertanggung jawab atas peradilan semena-mena yang selama ini menimpa nasib warga kulit hitam dalam sejarah dunia kita. Bias tidak sadar, menurut Jody, telah menyusupkan sentimen rasial ke dalam saklar keputusan hakim yang membuat warga kulit hitam dilekati stigma sehingga membuat masa hukumannya (cenderung) lebih panjang dari warga kulit putih. Sebuah keputusan, bahkan di ruang sidang paling Kantian sekalipun, senantiasa dibayang-bayangi kesesatan penilaian hanya gara-gara penampilan fisik seseorang. Kita barangkali dapat lebih dicerahkan bila mengingat momen Jefry Nichol ketahuan memakai cimeng, segelintir keturunan hawa dengan vulgar, segera menampilkan pembelaan mereka yang “maha benar” itu.

 

Mau bagaimana lagi, manusia memang makhluk emosional alih-alih rasional. Pikiran kita senantiasa dimulai dengan persepsi emosi sebelum melangkah lebih jauh ke pertimbangan rasio. Alih-alih Plato yang dilayani budak-budak emosinya, kita tak ubahnya rasio yang melayani kehendak maha tuan bernama emosi, demikian ujar Haidt.

 

Setidaknya kita tahu, penampilan menarik adalah salah satu jenis kekuatan, sebab ia dapat menciptakan dampak yang diinginkan, ia dapat memengaruhi keadaan dan penilaian eksternal. Namun di satu sisi, penampilan yang tak menarik bisa membahayakan jiwa kita dalam situasi yang paling tak kita inginkan. Pada kasus Stinney, ia menjelma ancaman nyawa. Satu hal yang sebenarnya dapat menyelamatkan Stinney saat itu, bukan sekadar menolak sentimen rasial di kepala kita, tapi juga senantiasa selalu menggeledah isi kepala kita sebelum membuat keputusan-keputusan penting.

 

Kita tentu tak mau, kecantikan mematikan sirkuit logika kita lebih lama lagi. Tapi, ke depan orang-orang ganteng dan cantik yang sekal di pinggir jalan harusnya punya tugas yang lebih besar dan mulia, agar mereka lahir tidak sia-sia. Karena di depan hari hari ini, ada saat di mana kebenaran tak hanya cukup dibicarakan secara ketat dan kaku, tapi juga dengan gaun dan tuksedo yang bagus.