(Picasso imitated Les Meninas)


Tahun 2000 silam, seorang berusia 40 tahun diarestasi karena melecehkan anak angkatnya. Pelaku merasa sangat malu dan kecewa terhadap tindakannya. Seumur hidup, dia tidak punya jejak rekam sebagai pedofil.

Sehari sebelum pengadilan dimulai, pelaku komplen karena merasa kepalanya dihantam sakit berat. Setelah dicek ternyata terdapat tumor sebesar bola bisbol di bagian otak bernama orbifrontal cortex, bagian yang bertanggung jawab dalam mengendalikan impuls seksual. Tumor tersebut lalu diangkat, dan bersamaan dengan itu, kecenderungan pedofilia pelaku ikut raib.

Beberapa waktu kemudian, laku pedofilia itu kembali. Begitu pun tumor tersebut.

Kasus itu lalu menarik perhatian para pengamat neurologi dan filsafat. Apakah kebiasaan buruk adalah soal kehendak bebas? Ataukah dideterminasi oleh kondisi medis, oleh kismat yang buruk? Ataukah tidak di antara keduanya? Ataukah keduanya secara sekaligus?

Dalam diskursus kehendak bebas, kita kenal dua spektrum ekstrem: kehendak bebas libertarian dan determinisme. Beberapa orang lalu berkata, bahwa kedua mahzab itu sebenarnya memiliki titik temu. Lahirlah mahzab baru disebut kompatibilisme (compatibilism). Yakni keyakinan bahwa alam semesta memang memiliki hukum fisika yang mengoperasikan dunia fisik. Tapi juga sepakat bahwa beberapa tindakan manusia berasal dari kehendak bebas. Mahzab ini disebut juga determinisme ringan (soft-determinism).

Ketika suatu tindakan lahir dari internal seorang subjek, maka tindakan tersebut adalah tindakan bebas. Dan karena tindakan itu adalah bebas, maka harus dibebani dengan tanggung jawab moral. Lantas muncul pertanyaan lagi, bagaimana dengan seorang yang membunuh setelah mabuk? Apakah tindakan itu muncul dari kebiasaan orang itu ataukah dari minuman?

Seorang filsuf Amerika kontemporer, Harry Frankfurt, punya pandangan soal ini. Seorang subjek, dalam beberapa hal, memiliki tanggung jawab moral untuk apapun yang dia lakukan, meskipun dia terpaksa harus melakukan hal berbeda. Dia lalu memberikan demontrasi yang terkenal dengan Frankfurt Case.

Bayangkan calon 01 menanam chip dalam otak warga negara Indonesia untuk mengendalikan pilihan kelimun itu ketika menyoblos. Ketika pemilihan umum diselenggarakan, warga yang mau memilih 02 lalu secara otomatis memicu chip tersebut menyala lalu membuat tindakannya beralih untuk memilih 01. Tapi bayangkan bila seorang seumur hidupnya militan pada 01, sehingga entah ditanam chip atau tidak, dia akan tetap memilih 01. (01 di sini adalah Luna Maya, 02 Syahrini, dan 03 persatean Indonesia.)

Dalam prinsip kemungkinan alternatif, orang tersebut memang tidak memiliki kehendak bebas. Tapi Frankfurt bilang, kita tetap saja bertanggung jawab secara moral atas apa yang hendak kita perbuat, bukan atas apa yang terpaksa kita perbuat.

Meskipun begitu terdapat juga problem bagi kompatibilisme. Jika kita tidak bisa memisahkan sebab internal dan eksternal, mungkin jawabannya adalah, tindakan kita adalah bisa punya kebebasan maksimal dan minimal. Artinya kebebasan bergantung kepada seberapa banyak faktor internal memengaruhi kita dan berapa banyak faktor eksternal, dan bagaimana banyak daya kendali yang kita miliki. Pandangan ini berasal dari Patricia Churchland.

Lebih lanjut ujar Churchland, sebagai hewan sosial, kita tidak bisa membantu orang dalam soal kebebasan, tapi kita mesti mengetahui konteks di mana kita bisa menyalahkan orang lain atau tidak menyalahkan mereka. Beberapa tindakan tidak bisa dikontrol seperti bersin. Tapi kita bisa kontrol di mana kita harus bersin.

Churchland lebih lanjut berkata, pertanyaan “apakah saya bebas” merupakan keliru. Kita mestinya bertanya, “berapa banyak kontrol yang kita punyai atas tindakan kita sendiri?” Dan sebanyak mungkin kontrol yang kita punya, semakin besar pula tanggung jawab yang kita sandang.