Vision du Sermon - Gauguin


Belum juga candra itu kelihatan, TV sudah cerewet soal diskon belanja, tiket setinggi langit, sekotak korma yang masih bau padang pasir.

 

Rama terganggu

langsung disampiri mesin jahit

yang lama menunggu

 

10 malam pertama

fokus minta ampun;

tidak makan tidak minum

 

10 malam kedua

ketabahan kian longgar.

anak jari tertusuk jarum waktu

 

10 malam terakhir

Rama ingat, seribu malaikat

lagi seliweran di antara langit.

Ia lebih tekun.

 

Malam terakhir tiba. Gamis sudah rampung. Gamis memeluk Rama dengan mata berharu-haru: “Kita menang. Kita menang. Kita menang.”

 

Tanpa babibu, gamis lalu kenakan tubuh Rama.

Mematut-matut diri di muka kaca cermin.

Cermin mengernyit,

“Sepertinya kelebaran.”

 

Gamis melipat Rama sampai setinggi lengan.

“Kalau begini, bagaimana?”

tanya Gamis.

 

“Masih. Agak lebaran.”

 

“Baguslah,” celetuk Rama.

“Siapa tahu tahun depan aku sudah mati.”

 

Lalu mereka bertiga tertawa bersama untuk waktu yang lama.

 

Sepanjang tawa, keriput Rama menciut,

jam pasir terbalik, tubuh meringkuk

seperti balita baru lahir.

Seperti senja: tawa bergradasi jadi

nada-nada sedih nelangsa.

 

Lalu Rama dan kita berbahagia, dan

barangkali, hanya itu satu-satunya

yang bisa kita punya.