(Diterjemahkan dari salah satu sub-bab Righteous Mind, karya Jonathan Haidt.)


Kamus Webster Third New International Dictionary mendefinisikan delusi sebagai “konsepsi palsu dan keyakinan persisten yang tak tertandingi oleh nalar dalam sesuatu yang tidak eksis dalam fakta.” Sebagai seorang intuisionis, saya berkata bahwa pemujaan kepada nalar merupakan suatu delusi yang umurnya sangat panjang dalam peradaban Barat: delusi para rasionalis. Ini adalah gagasan bahwa nalar merupakan atribut teragung, yang membuat kita seperti para dewa (bagi Plato) atau yang membawa kita melampaui “delusi” atas meyakini para dewa (untuk para Ateis Baru). Delusi rasionalisme bukan sekadar klaim soal sifat dasar manusia. Ini juga merupakan klaim bahwa kasta rasional (filsuf atau saintis) harusnya memperoleh lebih banyak kekuasaan, dan ini pada umumnya datang bersama program utopian untuk membesarkan lebih banyak anak-anak yang rasional.

Dari Plato sampai Kant dan Kohlberg, banyak rasionalis yang menegaskan bahwa kemampaun bernalar dengan baik soal masalah etis akan menyebabkan perilaku yang baik. Mereka percaya bahwa penalaran adalah jalan raya menuju kebenaran moral, dan mereka percaya bahwa orang-orang yang bernalar baik akan sangat mungkin bertindak secara bermoral.

Tapi jika itu masalahnya, maka filsuf moral—yang memikirkan soal prinsip etis setiap hari—harusnya lebih bijaksana daripada orang lain. Apakah mereka menjadi lebih bijaksana? Eric Schwitzgebel merupakan filsuf yang mencoba mencari jawabannya. Dia menggunakan survei dan lebih banyak metode rahasia untuk mengukur bagaimana filsuf moral memberi sumbangan, memberikan suara, memanggil ibu mereka, mendonasikan darah, mendonasikan organ, membersihkan ruangan setelah konferensi filsafat, dan merespon email dari muridnya. Dan tidak ada dari segala kategori tadi yang membuat para filsuf moral lebih baik daripada filsuf lain atau profesor lain di bidang ilmu yang lain.

Schwitzgebel bahkan mencuri lis buku-buku yang hilang dari lusinan perpustakaan dan menemukan bahwa buku akademik dalam soal etika, yang agaknya sebagian besar dipinjam oleh para etikawan, adalah buku yang lebih banyak dicuri atau tidak pernah dikembalikan daripada buku dari bidang filsafat yang lain. Dengan kata lain, kepakaran dalam penalaran moral tampaknya tidak berbanding lurus dengan perilaku moral, justru tampaknya yang terjadi lebih buruk dari sebelumnya (sebaliknya, itu dapat membuat penunggang gajah lebih pandai membuat pembenaran). Schwitzgebel masih mencari upaya untuk mengukur apakah perilaku filsuf moral jauh lebih baik daripada filsuf lain.

Semua orang yang menilai kebenaran harusnya berhenti memuja nalar. Kita semua perlu sinis pada bukti dan memeriksa kembali kegunaan penalaran. Ilmuwan kognitif Perancis Hugo Mercier dan Dan Sperber baru saja meninjau literatur penelitian yang luas dalam soal penalaran yang termotivasi (dalam psikologis sosial) dan bias dan kegagalan penalaran (dalam psikologi kognitif). Mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar penemuan yang paling aneh dan menyedihkan menjadi masuk akal bila Anda melihat bahwa penalaran mengalami perkembangan bukan untuk membantu kita mencari kebenaran tetapi untuk membantu kita berargumentasi, mempersuasi, dan memanipulasi dalam konteks ketika terlibat diskusi dengan orang lain. Sebagaimana yang mereka katakan, “argumentator yang terampil … adalah tidak mengejar kebenaran melainkan argumen pendukung atas keyakinan mereka.” Ini menjelaskan kenapa bias konfirmasi begitu kuat, dan sangat sulit dihilangkan. Betapa sulitnya mengajari murid untuk melihat dari sudut pandang berbeda, untuk mencari bukti yang menentang pandangan favorit mereka? Namun, faktanya, itu sangat sulit, dan tidak ada satu pun yang menemukan cara untuk melakuakn hal tersebut. Ini sangat sulit karena bias konfirmasi adalah fitur bawaan (dari pikiran argumentatif), bukan hama yang dapat dihapus (dari pikiran platonik).

Bukan berarti saya berkata bahwa kita harus berhenti bernalar dan mengikuti firasat semata. Perasaan kita terkadang menjadi pembimbing yang baik daripada nalar untuk membuat pilihan sebagai konsumer dan penilaian interpersonal, tapi ia juga dapat menjadi malapetaka bila digunakan untuk menentukan dasar dari kebijakan publik, sains, dan hukum. Sebaliknya, maksud saya adalah kita harus waspada kepada kemampuan individual dalam bernalar. Kita mesti melihat setiap individu sebagai individu yang terbatas, seperti sebuah neuron. Sebuah neuron sangat baik dalam melakukan satu hal: menyimpulkan rangsangan yang masuk ke dendritnya untuk “memutuskan” apakah ia akan memancarkan denyut nadi di sepanjang aksonnya. Sebuah neuron tidaklah cerdas bila sendirian; Anda harus memiliki sistem kesatuan yang lebih cerdas dan lebih fleksibel daripada sekadar neuron tunggal.

Dengan cara yang sama, setiap penalar individual sangat bagus dalam satu hal: mencari bukti yang mendukung posisi yang telah mereka genggam sejak awal, biasanya untuk penalaran intuitif. Kita harusnya tidak berharap individu untuk menghasilkan sesuatu yang baik, yang berpikiran terbuka, penalaran yang berorientasi pada pengejaran atas kebenaran, sebagian ketika kepentingan diri atau fokus atas reputasi lagi memainkan perannya di sana. Tapi bila Anda menempatkan individual berbarengan dengan cara yang tepat, beberapa individu dapat menggunakan kekuatan penalaran mereka untuk mendiskonfirmasi klaim yang lain, dan semua individu merasa terikat bersama atau berbagi nasib yang mengizinkan mereka untuk berinteraksi dengan baik, Anda dapat membuat sebuah kelompok yang berakhir dengan memproduksi penalaran yang baik sebagaimana yang muncul dari sistem sosial. Inilah kenapa begitu penting untuk memiliki perbedaan intelektual dan ideologis dalam setiap kelompok atau institusi yang tujuannya adalah mencari kebenaran (seperti agensi intelektual atau komunitas para saintis) atau untuk memproduksi kebijakan publik (seperti legislator atau dewan penasihat).

Dan bila tujuan kita adalah memproduksi perilaku yang baik, bukan sekadar pikiran tentang yang baik, maka menjadi lebih penting untuk menolak rasionalisme dan merangkul intuisionisme. Tidak ada satu pun yang menciptakan kelas etika yang membuat orang-orang bertindak secara etis setelah mereka ke luar kelas. Kelas adalah untuk penunggang gajah, dan penunggang itu hanya menggunakan pengetahuan baru mereka dalam rangka melayani sang gajah lebih efektif. Bila Anda mau membuat orang-orang berlaku secara lebih etis, ada dua cara yang dapat Anda tempuh. Anda dapat mengubah sang gajah, yang mana butuh waktu lama dan sulit dilakukan. Atau, dengan memetik ide dari buku Switch, dari Chip Heath dan Dan Heath, Anda dapat mengubah jalan yang telah ditempuh sang gajah dan sang penunggung gajah menemukan jalan baru untuk mereka berpergian. Anda dapat membuat cubitan kecil dan murah ke lingkungan Anda, yang mana akan memproduksi peningkatan besar dalam perilaku etis. Anda dapat merekrut Glaucon sebagai konsultan dan minta dia saran abgaimana merancang intitusi yang mana makhluk manusia di dalamnya, senantiasa fokus dengan reputasinya, akan menjadi lebih beretika dibanding sebelumnya.