Sewaktu SMA saya pernah mendengar bahwa yang dimaksud tujuh lapisan langit itu adalah lapisan-lapisan atmosfer planet. Ada juga yang bilang lapisan planet yang memutari matari. Ada juga yang bilang bahwa lapisan planet itu adalah level-level tata surya kita. Isra miraj lalu menjelma semacam tambo.

 

Bagi saya langit yang dimaksud adalah dimensi tak kasat mata. Gerakan dari satu lapisan langit menuju lapisan langit selanjutnya tidak mungkin dilalui lewat gerakan fisik, melainkan gerakan substansial atau roh atau jiwa atau entah apa. Dan ketika kita melalui satu lapisan ke lapisan lain, gerak materi atau perspektif manusia atas materi akan semakin berubah. Bahkan dalam dunia materi saja, gerak bisa menjadi relatif—banyak juga yang dengan brutal mengaitkannya dengan Albert Einstein lewat relatifitas waktu.

 

Dalam diskursus spiritual kekinian, isra miraj atau gerakan non-materi itu lebih dikenal dengan astral projection atau dalam terminologi Jawa disebut meraga sukma.

 

Sampai kemarin malam perspektif itu saya pegang terus acapkali ngomong tentang isra miraj. Sampai saya baru menyadari, bahwa kalau benar wisata langit itu untuk merevisi jumlah dan durasi salat, kenapa Muhammad harus pergi langsung ke langit ketujuh? Kenapa tidak menunggu saja di Jazirah sampai malaikat Jibril sendiri yang menyampaikan? Kenapa perlu repot-repot dan bikin umat manusia hari ini bingung?

 

Isra miraj dengan demikian, lebih daripada menjemput rukun Islam. Isra miraj adalah gerak kerinduan Muhammad ketemu Tuhan. Pertemuan yang jauh lebih spektakuler ketimbang pertemuan Musa di bukit Sinai—saking kabirnya Tuhan, kokoh bukit bakal runtuh menampung wajah-Nya saja. Saat Muhammad ketemu Tuhan, di sana hijab tersingkap. Sepasang kekasih berkencan melepas kangen setelah sekian lama tak bertemu dalam dimensi yang sama.

 

Atau, bolehkah saya bilang, bahwa Isra miraj semacam halal bi halal? Bahwa selama ini isra miraj diperingati sebagai kenduri cinta, alih-alih pembuktian mukjizat.