“Apa yang tak bisa membunuhmu akan
membuatmu lebih kuat,” kata Nietzche.
Kita telah berkali-kali diingatkan
kehadiran malapetaka besar yang merenggut jutaan nyawa. Hanya persoalan waktu,
Gates berkata 2015 lalu. Ed Young pun pernah menulis di Atlantic kalau kita
tidak akan siap dengan wabah baru. Pagebluk ini bukan angsa hitam; ia sudah
diantisipasi sejak jauh hari.
Pada 23 April, Gates menulis bahwa
Covid-19 menyebabkan pelbagai terobosan bukan hanya di bidang medis, tapi juga
institusi politik dan ekonomi. Dengan krisis ini, kita jauh lebih siap dengan
pagebluk lain. Kesempatan virus lain memberangus umat manusia berkurang. “The
choronavirus is a giantinoculation for all humanity against future viral
disease and other threat that require global cooperation.”
Pagebluk ini memperkokoh “anti-fragility”
kita, ketangguhan kita menghadapi bahaya, seusainya, kita menyusun serak-serak
harapan dan makna positif dari malapetaka ini. Penerapan antifragility ini dapat kita tengok dari kata-kata Mandela: “I
never lose, I either win or learn.”
Anti-Fragility direpresentasikan dengan
baik oleh pohon palem. Sebuah eksperimen membangun biosphere menunjukan bahwa kerumunan pohon bisa tumbuh dengan cepat
tapi juga bisa membungkuk ke arah tanah ketika mencapai usia matangnya. Para
perancang rupa-rupanya lupa menambahkan angin sebagai faktor penting yang
membuat pohon-pohon itu tetap tegak menghadap langit. Untuk menjadi tegak,
pohon butuh angin yang memaksa akar-akarnya menjalar, sehingga menciptakan efek
reaktif pada kayu. Tekanan itu membuat pohon lebih tangguh. Begitu pun kita
sebagai manusia, semakin sedikit angin yang menghantam, semakin kita gampang
alum.
Kita bisa tumbuh lebih tangguh dari
penderitaan ini dengan mengembangkan perspektif kita atas konsep diri, relasi
dengan manusia lain, serta prioritas dan nilai hidup yang kita genggam. Kita
akhirnya sering kenalan dengan diri kita sendiri ketimbang sebelumnya. Dengan
kesepian, kangen, dan jeri yang kejam, kita
memahami bahwa kehilangan sesuatu membuat kita lebih kuat mempertahankan
yang lain, hati kita jauh lebih terbuka daripada sebelumnya. Kita lantas
menimbang kembali nilai kehidupan yang tergeletak hari ini, kita belajar
memahami sejauh mana arti rasa syukur, dan seberapa ringan hidup setelah
memaafkan sesuatu yang tak bisa kita ubah sama sekali.
Krisis ini dapat menjadi momentum untuk
merevisi kembali narasi hidup kita. Bahwa kebahagiaan, bukan total kuantitatif
dari semua momen bahagia, bahwa taraf kehidupan subjektif yang baik sebenarnya
bersandar pada narasi hidup, bahwa segala kisah kehidupan kita begitu berharga,
dan narasi generasi Z dan milenial bakal berakhir sebagai kisah terbaik dan
terunik.
Kita perlu membingkai cara melihat dunia
hari ini. Kita perlu menatap dari sisi lain di luar kotak. Bahwa krisis inilah,
kesempatan terbaik untuk mereset kembali sudut pandang. Haidt merekomendasikan
supaya kita membikin aktivitas menulis jurnal yang ia sebut “the 5 minutes journal” yakni proses
menulis perasaan kita selama lima menit—menulis segala sesuatu yang kita
rasakan dan pikirkan. Dan apabila Anda masih belum bisa lepas dari belenggu
kecemasan, inilah saat yang paling tepat menguasai Cognitive Behaviorial
Therapy, atau meditasi.
Dalam kengerian yang mengunci perbatasan
saya pun mahfum bahwa bahagia itu kita sendiri yang buat. Bahagia bukan benda
asing yang berasal dari luar diri kita sendiri. Tombolnya selalu ada di tempat
tersembunyi di diri kita. Tugas kita hanya mencari, menemukan, dan menyadari;
tugas kita hanya menyadari.
Di mana letak bahagia selama pagebluk berlangsung?
Haidt menawarkan supaya kita mengaudit diri kita sendiri, keluarga, dan
pekerjaan kita. Untuk perkara relasi, kita perlu membiasakan menulis jurnal
rasa syukur dan menulis surat kepada teman-teman terdekat kita. Dalam
pekerjaan, kita perlu konsentrasi untuk membuat kemajuan alih-alih mencapai
tujuan terakhir. Untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri,
maka inilah saat paling tepat buat memperbaiki sudut pandang kita agar bisa
melihat dunia yang jauh lebih luas, lalu kita perlu memastikan kembali nilai
yang kita genggam.
Untuk pertama kali, memang, kita melihat
kemanusiaan sebagai sebuah tim. Kita menanti vaksin. Peduli setan itu berasal
dari negeri mana, dari ideologi mana, bahkan tak masalah bila itu ditemukan Kim
Jong Un sekalipun.
0 Komentar