Gambar: Wheat-Field-Under-Clouded-Sky Van Gogh


Sudah enam hari ini saya mengaktivasi kebiasaan lama saya: memberi ucapan selamat ulang tahun kepada teman-teman FB. Tidak semua orang yang saya kenal. Tapi saya berusaha sesopan mungkin untuk tampak ramah dan ikut andil mensyukuri rasa syukur atas lahirnya mereka di dunia ini. Setiap ucapan saya ketik sendiri. Bisa saja copy-paste, tapi itu akan mengurangi usaha personal saya untuk menyahuti mereka. Jadi saya ketik saja manual. Setiap ucapan, meski kata-katanya sama, diketik secara langsung. Agar saya dapat lebih mengkhidmati upaya saya menyapa orang lain; agar saya dapat memaksimalisasi kata “sosial” yang tertera dalam “media sosial”.

 

Sebenarnya saya memang punya kebiasaan menyapa orang-orang yang bahkan tidak saya kenal sekalipun. Kalau disahuti dengan masam, saya pikir setidaknya saya sudah bersikap ramah. Toh senyum dan sapaan selalu gratis. Dan yang terpenting, saya bahagia. Otak manusia memang dirancang untuk bersosialisasi demi memenuhi kebutuhan batiniah. Jadi dalam hal ini, mantra Sartre yang berbunyi “orang lain adalah neraka” adalah menyesatkan, karena sendirian pun kita bakal disiksa oleh neraka kesepian—kita bakal diobjektifikasi oleh subyek bernama kesepian bila kita tidak tahu cara bersahabat dengannya.

 

Kebiasaan ini sempat terhenti lama. Pernah dulu, saya tidak tahu kapan, saya sedang makan nasi kuning pagi itu, lalu teman saya menyelinap di kolom komentar dari postingan “selamat ulang tahun” dengan kalimat begini: “Ngoni baku kanal so?” (Memang kalian saling kenal?)

 

Saya memang tidak mengenal siapa gerangan yang saya kirimi ucapan selamat itu. Tapi dia, juga mau capek-capek membalas ucapan selamat saya dengan basa-basi biasa saja, padahal dia juga mungkin tidak kenal saya. Lalu saya berpikir, apa sebenarnya tujuan saya melakukan ini? Apakah hanya untuk kebahagiaan pribadi saya? Apakah saya melakukan ini demi mencari sensasi penerimaan sosial semata? Apakah ini buang-buang waktu? Apa makna dan nilai yang bisa saya minum dari telaga pengalaman ini?

 

Lalu saya berdiam lama. Kira-kira setahun setengah. Saya menimbang-nimbang kembali, bagaimana kiranya berhubungan dengan orang lain dalam jagad media sosial? Apakah kita membiarkan diri sendiri saling memelihara dusta kepada diri sendiri? Apakah segala komunikasi hanya menjadi formalitas yang tidak punya sentuhan emosional semata? Saya kira, media sosial justru akan mengalienasi kita satu sama lain kalau begitu.

 

Saya yakin, dengan melibatkan diri dalam kebahagiaan orang lain meskipun itu orang asing sekalipun, saya bisa punya kemungkinan untuk berbuat baik dalam skala yang lebih luas. Semua perubahan besar selalu dimulai dari sapaan kecil. Sebab saya percaya dengan kepak sayap kupu-kupu. Kita, memang, tidak bisa memprediksi dan merumuskan di mana kiranya tornado akan berpusing dari kepak sayap kupu-kupu yang terhempaskan dari satu bagian dunia tertentu. Setidaknya, saya tahu secara pasti satu hal baik paling sederhana yang bisa saya lakukan di tengah belantara digital ini, semoga bisa menjelma sebagai langkisau keramahan besar kepada dunia di suatu sudut lain yang saya tidak tahu. Sebagaimana saya mempercayai keterlibatan tangan tak terlihat, keberuntungan, dan algoritma semesta; takdir senantiasa punya penilaian soal niat baik siapa yang layak untuk dimekarkan di tempat lain yang jauh itu.