Suatu siang saya mampir ke kawan. Ia lagi asyik membuka lini masa sosial media lalu
menunjukkan wajah jijik dan geram sampai kedua sisi hidungnya mengerut.
“Biadab,” kata dia, dengan air muka benci. Ia perlihatkan kepada saya video
kucing yang disembelih untuk dimakan. Baginya, itu perlakuan amoral. Tapi saya
bingung, kok itu amoral? Bukannya kawan saya juga makan daging hewan?
Apakah ia anggap itu amoral karena dia menyukai kocheng? Bukannya dia pun memakan daging kambing atau sapi ketika hari raya haji tiba?
Saya ingat seorang senior
bilang bahwa ada namanya hak asasi hewan. Di Australia kalo tidak salah, mereka
melarang perayaan Idul Adha dengan menyembelih leher kurban. Oleh Peter Singer,
seorang filsuf Australia kontemporer, sikap ini disebut dengan spesiesime.
Argumentasinya begini, bahwa
pernah ada satu masa di Amerika seseorang merasa normal dan benar
mengategorisasi dirinya sebagai bagian suatu kelompok—berdasarkan perbedaan
moral yang tidak relevan—atas dasar warna kulit. Orang kulit hitam dianggap
sebagai bukan manusia, atau setidaknya, bukan manusia normal.
Pernah pula di zaman yang
telah jauh berlalu di belakang waktu, perempuan dianggap sebagai laki-laki yang
tak sempurna. Mereka didehumanisasi levelnya sampai ke titik nol, dianggap
setara atau derajatnya sedikit saja berada di atas hewan. Nyawa perempuan
dianggap tidak berharga sama sekali.
Singer berpendapat bahwa
masa-masa itu merupakan horor mencekam yang tak ingin diulang dalam periode
sejarah selanjutnya. Singer memprediksi bakal tiba satu kelak ketika keturunan
kita menatap masa kini dan menganggap perlakuan manusia ke binatang non-manusia
dengan reaksi serupa. Bila kita tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat
(seperti membunuh) kepada manusia, maka kita juga akan menganggap bahwa kita
tidak boleh melakukan hal sama kepada binatang non-manusia.
Ia mengembangkan
utilitarianisme Jeremy Bentham di sini, bahwa kepentingan dasar manusia adalah
menghindari rasa sakit dan penderitaan. Di titik seperti ini, manusia dan
binatang non-manusia punya kepentingan setara: sama-sama ingin menghindari
penderitaan. Di titik inilah, kita punya kesamaan dengan hewan.
Orang kemudian mungkin bakal
berargumentasi, manusia lebih dominan karena punya akal. Lantas bagaimana dengan
orang yang lahir dengan keterbelakangan mental, yang kapasitas akalnya jauh di
bawah manusia rata-rata? Bagaimana dengan orang gila yang akalnya miring?
Kenapa masih kita sebut mereka manusia? Bukankah mereka kapasitas akalnya
setara dengan hewan? Kenapa kita tidak makan saja mereka? Sembelih ketika hari
raya haji? Tentu itu opini yang membuat kita menggeletar secara emosional. Tapi
apabila ini semua hanya perkara emosional, kita sudah membatalkan aksioma bahwa
yang membedakan kita dengan hewan adalah perkara akal.
0 Komentar