Suara bel berbunyi tamu itu tiba terlalu cepat—selalu di waktu yang tidak tepat—ketika kita harap ia datang terlambat

 

“Selamat datang. Sudah kusediakan kopi dan papan catur.”

Tamu masuk ke ruang utama meninggalkan sabit seruncing maut di keset kaki

“Temani saya bermain.”

“Kau hanya mau mengulur waktu.”

“Mungkin ia. Mungkin tidak. Ketika kau datang malam ini, segala kemungkinan tidak penting lagi.”

 

Tersenyum tipis. Ia tahu tuan rumah kali ini menyadari bahwa maut senang bermain-main dengan nasib. Pertaruhan disepakati. Tuan rumah bidak putih, dan tamu bidak hitam.

 

“Hitam adalah warna kerudung ibumu ketika berduka. Juga warna tinta ketika sehelai puisi bermula.”

 

 

Kesunyian terkapar di trotoar jalan dihempas angin malam yang membelai rambut penjangmu selepas memagut bibir pantai

 

Sudah waktunya pulang meski kau tahu di depan pagar rumah itu, kesunyian yang sama akan mencekikmu, napasmu penuh cemas.

 

 

Di lapangan hijau seluas ingatan manusia, masa lalu memakai celana semerah kirmizi dan seragam putih. Tawa anak-anak mendenting pada bel pulang sekolah. Lalu kau pergi sejauh ribuan kilometer menuju arah matahari hanya untuk menyadari: kenangan tidak pernah ikut mengeriput bersama tubuh dan waktu.

 

 

Jawi menarik sebatang rokok lalu menjonjot ranting-ranting cengkih. Begitu khusyuk sampai terdengar dialog mereka.

 

Rokok berkata pada cengkih: “Masa depanmu adalah masa laluku.” Cengkih berkata pada rokok: “Kau hanya iri! Besok kami akan bermain dengan denyar matahari dan kau mampus di moncong bibir proletar.”

 

Jawi tidak peduli siapa di antara mereka menang. Satu-satunya ia tahu, besok mereka jadi uang yang dipakai anaknya menabung untuk beli buku Chairil Anwar dan sebungkus Crystal yang ia kulum dengan khidmat sampai terdengar dialog asap pada rokok dan cengkih:

 

Hidup, anakku, hanya mengulur kesepian dan kekalahan.