Belati
itu pertama-tama mengarah ke langit, dengan harap Tuhan nun sana bisa melihat
jelas pengorbanan suci sang nabi. Dengan air mata yang lebih tajam dari apa
yang ia genggam, Ibrahim mengarahkan kematian pada darah dagingnya sendiri. Apa
yang tak diduga Ibrahim, ternyata perintah itu hanya prank. Ismail lalu
digantikan dengan domba. Tuhan bersabda: “Daging dan darah itu sekali-kali
tidak dapat merengkuh-Ku, tapi kesetiaanmu yang dapat meraihnya…” (Al-Hajj: 37).
Untung Tuhan Mahabaik. Saya tidak habis pikir, bagaimana bila
domba itu tidak muncul. Mungkin sampai hari ini Idul Adha dirayakan dengan
memotong-motong anak-anak kita. Dan saya barangkali sudah lama tidak ada.
Ismail, kita tahu, hanya penanda semiotik atas sesuatu dalam
diri manusia yang entah di mana. Ia simbol dari “hasrat memiliki” Ibrahim. Dan
hasrat itu bersarang di balik rongga-rongga dada setiap manusia. Sepersis Ali
Syariati, setiap orang punya “Ismail”-nya masing-masing. Ismail bisa berupa
arta, kekuasaan, atau Jisoo Black Pink, dan berbagai derivasinya.
“Ismail simbolik” itu bisa jadi adalah mantan yang sudah ada
yang punya, yang menuntut semacam qurban perasaan. Membuang benda-benda tak
bernilai (baik secara estetis maupun fungsional) sebagaimana gaya hidup
minimalisme juga praktik qurban.
Surga dan segala kemewahannya (barisan bidadari yang tinggal
pilih, kerikil jalan setapak dari batu mulia, serta makanan-minuman yang
melimpah ruah), bisa jadi adalah objek hasrat manusia. Ia juga simbol “Ismail”,
yang membuat kita lupa bahwa ada kesetiaan yang jauh lebih besar dari itu.
Soal surga ini, ada satu sufi yang menyusuri sekujur jalanan
kota Baghdad sembari menjinjing seember air dan obor. Ketika ditanya hendak kemana, sufi itu, Rabi’ah, menjawab: “Aku hendak membakar surga dan
memadamkan neraka dengan air.” Barangkali Rabi’ah resah, orang-orang sering
bersujud dengan pamrih. Sepetik lirik lagu dari film azab kubur ketika saya
masih kanak-kanak begitu mengusik sampai hari ini: “jika surga dan neraka tak
pernah ada. Masihkah kau bersujud pada-Nya?” Apakah kita menyembah Tuhan
karena hadiah di belakangnya?
------------------------------------
Idul Adha barangkali tentang kita melepas hasrat memiliki
itu, sembari mengingat bahwa ada yang jauh lebih besar daripada apa yang kita
cengkram, yang selalu retak dan tak pernah mengekal dalam kecil kepalan tangan
ini.
~Atoga, 9 Agustus 2019
0 Komentar