*The Artist Despair Before the Grandeur of Ancient Ruins (1780) - Johann Heinrich Fussli


Belati itu pertama-tama mengarah ke langit, dengan harap Tuhan nun sana bisa melihat jelas pengorbanan suci sang nabi. Dengan air mata yang lebih tajam dari apa yang ia genggam, Ibrahim mengarahkan kematian pada darah dagingnya sendiri. Apa yang tak diduga Ibrahim, ternyata perintah itu hanya prank. Ismail lalu digantikan dengan domba. Tuhan bersabda: “Daging dan darah itu sekali-kali tidak dapat merengkuh-Ku, tapi kesetiaanmu yang dapat meraihnya…” (Al-Hajj: 37).

Untung Tuhan Mahabaik. Saya tidak habis pikir, bagaimana bila domba itu tidak muncul. Mungkin sampai hari ini Idul Adha dirayakan dengan memotong-motong anak-anak kita. Dan saya barangkali sudah lama tidak ada.

Ismail, kita tahu, hanya penanda semiotik atas sesuatu dalam diri manusia yang entah di mana. Ia simbol dari “hasrat memiliki” Ibrahim. Dan hasrat itu bersarang di balik rongga-rongga dada setiap manusia. Sepersis Ali Syariati, setiap orang punya “Ismail”-nya masing-masing. Ismail bisa berupa arta, kekuasaan, atau Jisoo Black Pink, dan berbagai derivasinya.

“Ismail simbolik” itu bisa jadi adalah mantan yang sudah ada yang punya, yang menuntut semacam qurban perasaan. Membuang benda-benda tak bernilai (baik secara estetis maupun fungsional) sebagaimana gaya hidup minimalisme juga praktik qurban.

Surga dan segala kemewahannya (barisan bidadari yang tinggal pilih, kerikil jalan setapak dari batu mulia, serta makanan-minuman yang melimpah ruah), bisa jadi adalah objek hasrat manusia. Ia juga simbol “Ismail”, yang membuat kita lupa bahwa ada kesetiaan yang jauh lebih besar dari itu.

Soal surga ini, ada satu sufi yang menyusuri sekujur jalanan kota Baghdad sembari menjinjing seember air dan obor. Ketika ditanya hendak kemana, sufi itu, Rabi’ah, menjawab: “Aku hendak membakar surga dan memadamkan neraka dengan air.” Barangkali Rabi’ah resah, orang-orang sering bersujud dengan pamrih. Sepetik lirik lagu dari film azab kubur ketika saya masih kanak-kanak begitu mengusik sampai hari ini: “jika surga dan neraka tak pernah ada. Masihkah kau bersujud pada-Nya?” Apakah kita menyembah Tuhan karena hadiah di belakangnya?

------------------------------------

Idul Adha barangkali tentang kita melepas hasrat memiliki itu, sembari mengingat bahwa ada yang jauh lebih besar daripada apa yang kita cengkram, yang selalu retak dan tak pernah mengekal dalam kecil kepalan tangan ini.


~Atoga, 9 Agustus 2019