Isu pagebluk yang diangkat oleh Nassim
Nicholas Taleb adalah variasi risiko yang melekat padanya. Pagebluk ini bisa
berdampak secara individual maupun sistemik atau kolektif. Contoh risiko
sistemik adalah kecelakaan lalu lintas yang setiap tahun memangsa 1.2 juta
nyawa. Risiko kecelakaan itu, entah tinggi atau rendah, tidak akan berpengaruh
secara langsung kepada masyarakat, namun berpengaruh dalam skala besar. Dalam
konteks pandemik, risiko kolektif ini akan semakin tinggi untuk semua orang apabila
kita tidak memberi perhatian lebih terhadapnya.
Solusinya sangat mudah menurut Taleb.
Dalam skala individual kita perlu memakai masker saja. Tujuan memakai masker
bukan untuk melindungi diri sendiri, tetapi mencegah kita—yang kemungkinan
tertular rendah apalagi kemungkinan kematian—agar tidak menularkan virus itu ke
sepuluh orang potensial lain dan sepuluh orang potensial itu tidak menularkan
virus ke sepuluh orang potensial lainnya, dan seterusnya dan seterusnya.
Solusi dalam skala regional, adalah
karantina (border). Sejak dahulu,
konektivitas darat maupun laut tidak hanya mengangkut manusia dari satu
petualangan ke petualangan lain, namun juga membawa serta kuman dan bakteri.
Dibukanya silk road, ekspedisi
kolonial Spanyol, maupun imperialisme negara-negara Eropa, telah membawa serta
kematian paling hitam tanpa mereka sadari. Bahkan karantina akibat Black Death
berlangsung selama lima abad lamanya (dari tahun 1300-an sampai 1850).
Kita memang tidak bisa membunuh virus
keparat ini sekarang juga, namun kita bisa mereduksinya, yakni dengan mereduksi
konektivitas fisik. Mengenai interaksi, untuk sementara kita bisa bergantung
pada aplikasi gawai jarak jauh. Karena virus tidak dapat berpindah lewat kuota.
Hari ini, dunia semakin terkoneksi. Maka
pandemi ini punya potensi multiplikatif yang jauh lebih besar daripada
zaman-zaman sebelumnya. Multiplikasi covid menunjukkan bahwa ia tergolong virus
yang berekor panjang. Ia lebih berbahaya dari nuklir. Nuklir mematikan dalam
satu serangan, tapi pagebluk mematikan dalam serangan berkali-kali dan berlipat
ganda.
Karantina adalah peluang terbaik kita.
Karantina bahkan sudah dipraktikkan sejak zaman Ottoman. Meski bukan berarti
kita harus melakukan karantina selamanya. Standar operasi karantina adalah 40
hari saja. Setelahnya, ujar Taleb, kita perlu membuat tiga protokol dengan
optimal: check passanger, test passanger,
or quarantine passanger.
Meskipun sifatnya yang multiplikatif, tapi
sebagaimana orang lebih takut naik pesawat meskipun risiko kematian lebih
tinggi dalam kecelakaan transportasi darat, atau orang-orang dari Sampar-nya
Camus melantamkan virus ini di telinga kita, orang-orang masih saja menganggap
bahwa pagebluk tidak berbahaya, atau apabila berbahaya, tidak mematikan. Taleb
berkata, bahwa apabila kita menemukan ketidakpastian dalam sistem, maka
pembuatan keputusan menjadi jauh lebih mudah ketimbang lebih sulit. Contohnya,
bila kita tidak tahu pasti kualitas air apa kita masih mau minum? Anggap saja
air tersebut mengandung 1% racun. Umumnya orang bakal minum karena ada 99%
probabilitas steril, tapi dengan tidak minum, maka probabilitas kena racun
menjadi 0. Hal sama dapat kita gunakan ketika berhadapan dengan statistik
virus.
Lalu ketika ditanya bagaimana prediksi
Taleb dan bagaimana sains bisa memberikan harapan kepada umat manusia, Taleb
justru menjawab dengan cara mengejutkan. Baginya, sains bukan tentang fakta.
Sains tidak bicara tentang nubuat, melainkan tentang mengenali fenomena. Kendatipun
kita tidak punya fakta, toh kita tetap bisa mengklaim saintifik dengan
menjelaskan proses inferensial sampai ke kesimpulan bahwa kita tidak punya
bukti akan sesuatu—ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan.
Lebih lanjut lagi soal bahaya
multiplikatif yang bahkan bisa berpotensi pada risiko eksistensial, Taleb
berkata bahwa segala sesuatu yang dapat membunuh seribu orang di satu kota,
berarti bisa berkembang menjadi ekor panjang yang dapat membunuh sejuta dalam
satu negara, bahkan semilyar dalam satu planet. Maka kita harus membunuhnya
sejak dari telur. Masalahnya, kita belum memiliki vaksin sampai har ini.
Lantas apa kita masih harus berharap pada
vaksin di tengah ketidakpastian ini? Berharap buta maupun mengetap pada vaksin
bukanlah solusi. Tengoklah HIV & AIDS yang tiba 30-40 tahun silam yang sampai
sekarang belum ada vaksinnya. Satu-satunya solusi paling murah adalah
karantina. Bertahan di rumah adalah penting dalam prinsip pencegahan. Salah
seorang mentor trading Taleb pernah
berkata: “Ambil semua risiko yang Anda mau, tapi pastikan besok Anda masih
dapat bernapas.”
Pandemi memang mengerikan, namun ia bukan
Black Swan. Sebab bila kita melihat dunia dari skala seribu tahun, pagebluk
bukanlah sesuatu yang langka—justru pagebluk hadir secara rutin. Memang banyak
sektor ekonomi yang akhirnya rubuh karena hal ini, salah satu yang paling
menderita adalah pariwisata dan travel. Namun, kita juga lagi bertumbuh secara
mental dan jiwa. Kita semua beradaptasi dengan cepat selama karantina, kita
bisa lebih bekerja sama dengan teknologi, kita menjadi anti-fragile.
0 Komentar