Ketika September berakhir.
Hujan belum juga tiba. Barangkali pada November, atau seperti biasa, Desember.
Hujan bakal membasuh rajam kemarau di mata kita, hutan mayat akan subur dengan
gersik dedaunan, dan siul burung sembunyi ke sarang masing-masing menghibur
anak-anak kebebasan yang tertahan hambatan.
Ketika September berakhir,
kau akan lihat bagaimana cara hujan bekerja di pipi seorang anak manusia; basah
yang tak selalu getir sedih tak bernama, juga haru bahagia yang telah
memenangkan seribu peperangan dalam lubuk batin paling rahasia dalam
ketidaktahuannya.
Ketika September berakhir,
hari-hari akan mencapai dongak meriam yang siap ditembakkan ke horizon angkasa
yang jauh, menuju petualangan abadi pengembara kebenaran. Hari-hari yang
tumbang di luar jendela menjadi saksi tiap lelah yang tak pernah sia-sia. Dan
lilin harapan belum akan musnah, karena api tak akan pernah mewariskan abu,
kepada para penunggang kuda kemanusiaan.
Ketika September berakhir,
dan satu tahun berhitung di hadapan bayangan jam matahari, segalanya berputar
kembali pada poros waktu dan garis ruang berbeda. Jejak-jejak hari mengental di
atas puing-puing peradaban. Selaksana cahaya kesucian yang diurapi atau janji
suci sang nabi terakhir, kesegalaan memutar gasing kehidupan memancak
kedewasaan hati jiwa manusia.
Ketika September berakhir,
satu nomor lagu usai bersiul di atas lembar piringan hitam dan gramofon tua.
Hanya keheningan menebal di sekujur ruang. Memelan dalam rentengan bahasa yang
awanama. Lirih, meninggalkan segala perih di belakang barisan bayangan zaman.
*) 30 September 2019, dan saya sudah lupa sedang ngomong apa waktu itu -_-
0 Komentar