Estimasi waktu membaca: 5 menit
SENSE
8
Film sains-fiksi. Plot cerita film ini
dikembangkan dari satu teori sains yang disebut “resonansi limbik”, yakni
situasi di mana kita merasa memiliki ikatan batin yang kuat dengan orang lain.
Misal dengan ibu atau kekasih. Film ini terdiri dari delapan orang dari ras
berbeda yang mengalami hal itu secara harfiah. Delapan orang itu pun saling
berbagi depresi, sedih, amarah, dan sensasi emosional lain yang paling privat
sekalipun. Ada satu adegan di mana seorang perempuan Korea yang ditawan
menandak sendirian, yang sebenarnya, lagi memperagakan tarian kegembiraan
seseorang yang lagi bergembira di ujung negeri asing yang tak ia kenal. Yang
menarik, di antara semua perasaan emosi yang delapan orang itu bagi, yang
paling kuat adalah rasa sakit.
FRIENDS
Sebenarnya sudah lama saya melihat judul
ini muncul acap kali mencari referensi film seri di internet. Tapi saya
terhalang prasangka, karena film tersebut sudah lawas dan terdapat kekhawatiran
terselubung: jangan-jangan saya tidak bisa menikmati gara-gara keterpautan
waktu. Tahun ini, berkat karantina, saya bisa melewati hari-hari gelap tanpa interaksi
sosial berkat film ini. Friends membuat saya tertegur: seribu teman yang tidak
mengenal kita sama sekali tidak lebih penting dari enam teman yang bisa saling
memahami tanpa perlu repot-repot menjelaskan satu sama lain.
BLACK
MIRROR
Tentang persoalan eksistensialisme,
teknologi, dan paradoks kemajuan umat manusia. Black Mirror menjadi anti-tesis
dari euforia Silicon Valey yang berpesta pora dengan optimisme terhadap masa
depan teknologi dengan gelas whiski mereka yang setengah penuh. Black Mirror
justru menjadi tamu pemurung yang tak menyenangkan dengan gelas yang setengah
kosong. Film seri ini sangat enak untuk didekati dan dikembangkan dengan banyak
teori, menolong kita kembali mempertanyakan makna teknologi di kehidupan
manusia.
LIE
TO ME
Mengajari banyak hal kepada kita tentang
mikro ekspresi. Saya tergerak untuk banyak belajar soal bahasa tubuh berkat
pemeran utama film ini. Saya sampai mengunduh aplikasi khusus untuk latihan
membaca mikro ekspresi manusia. Saya baru tahu, bahwa di antara segala macam
ekspresi tubuh manusia, yang paling universal adalah muak, sedih, kaget,
senang, jijik, dan takut. Kata Henry Kissinger, ketika mulut manusia tertutup,
maka tubuh pun bicara. Saya pikir film ini telah membuat saya jauh lebih paham
dengan ucapan Kissinger itu.
DARK
Perlu bikin lini masa cerita untuk
benar-benar paham apa yang terjadi dalam film ini. Dan itu bukan pekerjaan yang
mudah. Dark memeras banyak energi kita untuk berpikir, menebak-nebak, lalu
pasrah begitu saja. Ujung dari setiap episode seperti menghadapkan kita dengan
jurang yang gelap. Jurang gelap itu kemudian, sebagaimana kata Nietzche,
memelototi kita balik. Saya seperti merasa didesak untuk harus tahu dari waktu
dan ruang paralel mana satu tokoh muncul, lalu tanda tanya bermamah biak dengan
sendirinya. Dark barangkali dimulai dari sebuah premis fisika yang spekulatif
tapi provokatif, serta dirangkai dalam narasi fiksional yang teliti dan
presisi, sampai saya tidak bisa menemukan lobang dari cerita tersebut.
LIMITLESS
Berangkat dari film tahun 2011 dengan
judul yang sama. Limitless adalah tentang seseorang yang menemukan suatu obat
yang mampu memaksimalisasi potensi manusia, mengubah kita dari nol menjadi
adimanusia. Sayangnya, film seri ini sepertinya tidak akan berlanjut ke musim
dua. Padahal di ujung musim pertama, teka-teki baru saja dibuka menuju misteri
yang lebih besar lagi. Saya tidak tahu kenapa film dengan konsep cerita semenarik
ini tidak akan dilanjutkan, tapi kemungkinan besar, ada kekhawatiran penonton
bakal tergoda mengonsumsi obat-obatan terlarang.
SUPERNATURAL
Dulu tiap kali kedua kakak saya pulang
dari Bandung, saya selalu menyandera laptop mereka untuk nonton film seri ini. Supernatural
adalah tentang kakak beradik, Sam dan Dean, yang bertualang memberantas demon, Lusifer, penjaga neraka, bahkan
malaikat sekali pun. Supernatural memiliki semangat desakralisasi yang sama
yang mempengaruhi relasi saya dengan iman. Saking saya senang dengan film ini, kakak
saya, Z, pernah membelikan jaket yang mirip dengan yang dikenakan Dean.
HOW
I MET YOUR MOTHER
Satu-satunya film serial yang semakin
mendekati episode terakhir semakin saya tidak rela selesai. Saya sempat iseng
berpikir, kalau mesin penghapus ingatan sudah ada, saya mau memakai mesin itu
biar bisa menonton ulang film seri ini dari awal. Butuh kecakapan, keluwesan
berpikir, serta kemampuan membuat tragedi dan komedi berdansa dalam satu narasi
untuk menciptakan setiap episode film seri ini. Kekuatan utama How I Met Your
Mother, menurut saya, adalah membuat penonton ditagih terus-terusan oleh rasa
penasaran mereka. Sang kreator lihai menyusun teater dalam kepala kita di mana
kita bertanya-tanya ke mana muara narasi selanjutnya.
HOUSE
OF CARDS
Politik bisa sangat kejam dan hipokrit.
Prinsip utama pemeran utama film seri ini adalah “pragmatis tanpa ampun”, yang
barangkali merupakan satire pada realitas politik yang banal. Ketika Trump
terpilih, banyak yang mengaitkan House of Cards dengan presiden populis itu.
Gaya mereka sangat mirip. Lebih gemar menonjolkan kekuatan, membangun otoritas
yang keras, serta tak kenal ampun menghabisi lawan politiknya.
TWILIGHT
ZONE
Episode pertama dibuka dengan eksperimen
untuk melatih ketahanan mental seorang calon astronot. Elektroda dipasangkan ke
kepalanya, lalu ia mengalami mimpi yang sensasinya sangat nyata, ia tersesat di
suatu kota di mana tidak ada satu pun manusia yang bisa ia temukan. Disergap
kesepian yang kejam, calon astronot itu tak tahan oleh penderitaan sosial macam
itu. Sepersis Black Mirror, tiap episode tidak punya benang merah satu sama
lain. Tiap episode unik dan membimbing kita menuju perenungan-perenungan yang
lebih mendalam tentang hidup dan manusia. Cocok untuk yang suka filsafat.
LOST
Tentang kecelakaan pesawat akibat kondisi magnetik
yang ganjil. Beberapa penumpang yang selamat dari kecelakaan tersebut kemudian
mencari-cari cara untuk bertahan hidup di pulau tersebut. Namun semakin jauh
mereka menjelajah, semakin mereka berjumpa dengan rahasia, keanehan waktu, serta
keajaiban-keajaiban asing. Apakah mereka bisa diselamatkan? Ataukah mereka
akhirnya akan menjadi bagian dari pulau itu selamanya?
SHERLOCK
Adaptasi paling ciamik dari tokoh rekaan Arthur Conan Doyle. Saya pun baru tahu kalau dalam film seri ini, Sherlock ternyata memiliki adik yang berpikiran lantip. Baru-baru saja, Netflix membuatkan satu film khusus untuk merekam sosok Enola tersebut (nama yang sebenarnya adalah anagram dari alone). Salah satu alasan kuat menggemari Sherlock, karena ia mengidolakan violinis yang paling saya gemari, Nicolo Paganini. Selebihnya, Holmes tetap keren meskipun latar waktu dalam film seri ini digeser menjadi Inggris abad ke-21.
0 Komentar