Bila Anda adalah orang yang tabah menunggu layar loading ketika main PES atau buffering menanti foto terbuka sempurna di igeh atau lag waktu main gim online, maka Anda satu dari sekian orang terpilih yang diciptakan untuk jadi teman ngobrol seorang makhluk manusia bernama Adi Pespa, atau Apes.

 

Bila Anda tidak mau capek-capek bersabar saat puasa, tapi masih mau punya banyak pahala karena bersabar, bercakap-cakaplah dengan Apes. Coba ajak dia ngobrol. Pertanyaan yang Anda ajukan pasti akan dibalas satu atau dua menit kemudian. Bila beruntung, mungkin setengah menit kemudian.

 

Ibarat chat wa, pesan yang kita kirim sudah tercentang dua biru. Tapi dibalas beberapa menit kemudian. Misalnya Anda kirim pesan begini, “Assalamualaikum.” Selama sepuluh menit menunggu, Anda melihat di seberang sana, notifikasi di atas layar chat Apes tertulis, “sedang mengetik”. Barulah dibalas: “Walaikumsalam.”

 

Kalau Apes sedang minum kopi sambil ngudud lalu menatap kosong ke depan yang entah apa, coba kageti dia. Lalu pasang stopwatch. Kalau pengalaman saya sih, biasanya dia akan teriak ayam ayam ayam di menit ke-2 detik ke-46. Siapa tahu kalau kalian coba, waktunya bisa sedikit lebih kurang.

 

Kalau ada yang bilang kehidupan Apes begitu selo, percayalah “selo” yang dimaksud itu benar-benar harfiah, bukannya metafora.

 

Saya yang akrab dengan Apes memang kadang kehabisan rasa sabar sampai setipis jaring laba-laba yang transparan. Tapi tetap saja saya menanti suatu peristiwa penuh hikmah yang bisa membuat saya mengambil pelajaran dari keunikan Apes ini.

 

Akhirnya momen penuh hikmah itu tiba juga.

 

Suatu ketika, seusai mengantar saya ke tempat teman. Apes bilang dia harus balik dulu ke perempatan depan lorong. Katanya dia melihat ada uang seratus ribu yang berwarna merah terang tergeletak di perempatan yang kami lewati tadi. Saya menatap Apes dengan mata penuh harapan dan ketakjuban. Padahal saya pikir saya orang yang paling teliti dalam tongkorongan. Tapi untuk hal sedetail itu, malah Apes yang lebih teliti. Dengan ringan hati saya biarkan dia kembali.

 

Brum brum. Motornya lalu pergi meninggalkan saya sendiri di depan pintu rumah.

 

Saya masih tertegun di depan pintu rumah. Selepas motor itu lindap ke balik pagar, saya sedikit melakukan refleksi. Kenapa saya tidak bisa memperhatikan objek sepenting itu? Apakah karena kepala saya sudah dibanjiri berhala modern itu, kecepatan itu? Manusia modern seolah telah dibentuk untuk menggenggam aksioma tentang “siapa cepat dia dapat”. Bahwa kemenangan adalah kecepatan dan kelemahan adalah kelambatan. Dalam diskursus modern begini, kelambatan atau keseloan adalah sebuah dosa yang tak layak diberikan mahkota duri kudus.

 

Mereka yang tergesa-gesa setiap hari, yang hidup memburu rente sebanyak-banyaknya untuk waktu sesingkat-singkatnya, tak akan bisa menemukan hal-hal menarik yang mungkin tersembunyi sepanjang perjalanan ke kantor. Setiap benda yang mereka lewati di jalanan selalu sama: seharga kerikil—meskipun beberapa kerikil itu mungkin mengandung emas di dalamnya. Mereka mungkin kehilangan kesempatan yang jauh lebih berharga yang berdiri tegak 5 sentimeter di depan hidung mereka sendiri. Mereka hanya makan makanan instan meskipun tahu masakan buatan sendiri jauh lebih lezat bagi jiwa.

 

Rupanya pada suatu momen waktu yang lambat, selalu ada hal yang patut disyukuri dan berkah tersendiri yang tak mampu ditemukan oleh zaman penuh kecepatan dan kecemasan seperti ini.

 

Brum brum. Suara knalpot itu lamat-lamat terdengar. Saya masih berdiri di depan pintu dengan tangan bersila. Motor itu berhenti tepat depan saya. Standar motor diturunkan. Senyumnya tergurat tipis ke sepasang pipi. Senyum saya ikut merekah. Tangannya menepuk pundah saya. Harapan untuk beli makanan instan merebak di balik dada saya.

 

“Ternyata kertas biasa, kertas origami warna kuning.”

 

Saya menajamkan mata. Lalu Adi duluan masuk ke dalam rumah dengan keseloannya yang khas. Tangan saya masih terlipat di dada. Pikiran saya lalu menimbang-nimbang. Bukannya dia mau balik ngambil uang seratus ribu ya? Uang seratus ribu kan warna merah. Kok ini kertasnya warna kuning?

 

Sontak saya berbalik. “Katanya yang kamu lihat kertas berwarna merah bro?”

 

Adi berhenti sejenak. Masih membelakangi saya. Dua menit empat puluh enam detik kemudian kepalanya berbalik seratus delapan puluh derajat. “Salah lihat bro.”