Di Marion, Indiana, dua buah asing
bergelantungan di reranting pohon poplar. Embusan angin selatan menyapu wajah
warga kulit putih di sekitarnya dan membuat buah itu terayun-ayun sedikit. Angin
malam membawa serta aroma bunga-bunga magnolia bercampur sedikit bau bangkai
dibakar. Lawrence Beitler perlu mengambil jarak yang lebih dekat untuk
menyadari buah itu memiliki wajah, leher, dua tangan, dan dua kaki yang sama
dengannya, tapi berwarna kulit berbeda. Tanggal 7 Agustus 1930, ia memotret
Thomas Shipp dan Abram Smith yang bergelantungan di reranting pohon poplar. Tak
bernyawa. Terayun-ayun oleh embusan angin selatan.
Thomas Shipp dan Abram Smith adalah dua di
antara banyak sekali korban prasangka rasial yang terekam sejarah—entah berapa
banyak yang tak terekam sejarah. Mereka korban dari supremasi warna kulit yang
semena-mena. Praktik main hakim terhadap nasib kulit hitam ini disebut dengan “Pengadilan
Lynch” atau “Lynching”; pemukulan
ramai-ramai penduduk kulit putih kepada mereka berkulit hitam sampai mati.
Terdapat sekitar 5.000 dokumentasi soal “Pengadilan Lynch” ini, namun foto yang
diambil Lawrence Beitler di pohon poplar itu adalah yang paling banyak dikenal.
Foto itu memberi ilham bagi penyair
Yahudi, Abel Meeropol, untuk membuat puisi bertajuk “Strange Fruit”. Lirik itu kemudian tiba ke hadapan Billie Holiday,
lengeda musik jazz dan swing di Amerika. Puisi tersebut diinterpretasikan
dengan baik oleh Holiday. Bagi Holiday, proses menerjemahkan kata ke nada itu
begitu personal, bukan hanya karena Holiday berkulit hitam, lagu itu
mengingatkan kepada mendiang ayahnya yang meninggal pada usia 39 tahun karena
penyakit paru-paru, ayahnya meninggal setelah dikeluarkan dari rumah sakit
hanya karena tidak berkulit warna putih.
Lagu itu pertama kali dinyanyikan di Café Society.
Seisi kafe senyap ketika lirik itu melayap di udara dan telinga pengunjung..
Tidak ada yang berani bersuara ketika Holiday menyanyi. Lampu di tempat itu
dimatikan semua menyisakan gelap dan hanya satu lampu sorot yang menangkap
Holiday tengah menyanyi. Lagu diakhiri dengan kalimat “… inilah panen yang aneh
dan pahit.” Piano berhenti berdenting. Namun kedai masih senyap membeku. Tidak
ada tepuk tangan seperti biasa segera setelah ia berhenti bertembang. Beberapa
detik kemudian yang kikuk, seseorang dari arah belakang memberanikan berdiri
memberi tepuk tangan pertama dengan gestur agak gagap dan gugup. Lalu tepuk
tangan lain datang sambung menyambung memenuhi Café Society dengan keriuhan
yang tak kenal takut. Bagaimanapun tahun 1939, menikmati lagu bertema kulit
hitam adalah sesuatu yang ganjil bagi kulit putih, tapi mereka tahu, hati
mereka tidak bisa berdusta di depan musik yang baru saja mereka dengar.
Lagu itu kemudian terkenal sebagai lagu
protes terbesar pertama yang mengirimkan semangat politik identitas untuk
dunia. Pada 1999, majalah Time menganugerahkan gelar bagi lagu itu sebagai “Best Song of the Century” (Lagu Terbaik
Abad Ini). Buah asing itu menyelinap sebagai bagian dari sejarah manusia yang
murung yang tak ingin lagi terulang. Baru-baru ketika tagar BlackLivesMatter
bertengger di media sosial, saya banyak mendengarkan lagu tersebut. Ada
kesedihan dan kemarahan yang tipis menyayat ketika mendengarnya, ada protes
yang tak ingin sejarah mundur ke belakang, ke zaman di mana orang-orang kulit
hitam bergelantungan di reranting pohon-pohon poplar, ditiup angin selatan yang
membawa semerbak wewangian magnolia.
….
STRANGE FRUIT
Pepohonan
selatan menghasilkan buah yang asing
Darah
berceceran di daunan dan darah di akar-akar
Tubuh-tubuh
hitam terayun-ayun ditiup angina selatan
Buah
yang asing bergelantungan dari pohon-pohon poplar
Padang
rumput selatan yang perkasa
Mata
yang mendelik mencuat dan mulut yang robek
Wewangian
bunga-bunga magnolia sungguh manis dan segar
Tiba-tiba
merebak bau bangkai dibakar
Inilah
buahnya, yang siap dipetik burung-burung gagak
Dibasahi
titik air hujan dihirup sang bayu
Membusuk
di terik matahari dan gugur dari pohon itu
Inilah
panen yang aneh dan pahit
0 Komentar