Pencarian terhadap kebahagiaan telah
berlangsung selama ribuan tahun lamanya. Namun dalam perjalanannya, terdapat
banyak jebakan. Kita memang enggan untuk menerima kompleksitas kebahagiaan,
karenanya, banyak yang akhirnya terlalu mensimplifikasi kebahagiaan itu
sendiri. Selain itu, terdapat kebingungan antara pengalaman dan memori. Daniel
Kahneman berkata, adalah perkara menjadi bahagia dalam hidup dan menjadi
bahagia dengan sesuatu dalam hidup.
Pikiran Kahneman melayang ke suatu kelas
yang dia ampu, di mana salah seorang mahasiswanya bercerita tentang pengalaman
mendengar musik yang dikomposeri Beethoven. Selama delapan belas menit pertama,
pengalaman mendengar Beethoven begitu membius, sampai dua menit terakhir ia terganggu
dengan nada sumbang. Hanya karena dua menit terakhir yang tidak nyaman itu,
pengalaman menyenangkan mendengar musik delapan menit awal kemudian ringsek
berantakan.
Faktanya, musik itu tidak rusak; yang
rusak adalah ingatan terhadap musik tesrsebut. Yang menarik, ingatan yang rusak
itulah yang ia simpan. Hal sama yang berlaku pada kejadian lain. Semisal,
pengalaman dibohongi oleh pacar yang menyebabkan putus, bisa membuat seluruh
pengalaman puber dan menyenangkan mereka rusak.
Kahneman—yang kemudian dikutip Harari
dalam Homo Deus—menolak konsep individu (secara harfiah berarti tidak terbagi).
Manusia adalah dividu (dividen) yang terbagi menjadi “diri yang mengalami” dan “diri
yang mengingat”.
Bila Anda ke rumah sakit kemudian dokter
bertanya “Apakah sakit bila saya menyentuh di bagian ini?” Dokter tersebut lagi
bicara dengan “diri yang mengalami”, yakni diri yang hidup saat ini. Apabila
dokter bertanya bagaimana perasaan Anda akhir-akhir ini, ia sebenarnya lagi
mengajak “diri yang mengingat” bercakap-cakap, yakni diri yang memelihara
narasi hidup Anda.
Diri Pengalaman adalah mahasiswa yang
sedang menikmati Beethoven dan Romeo yang menjalani pubertasnya. Diri Ingatan adalah
mahasiswa yang mengenang musik Beethoven sebagai ingatan yang buruk dan Romeo
yang mengenang mantan pacarnya sebagai bajingan.
Ketidakmampuan membedakan kedua hal itu (Diri
Pengalaman & Diri Ingatan) adalah bagian dari kerancuan dalam teori
kebahagiaan.
Kahneman menggunakan pasien klonoskopi sebagai cara untuk mendekati inti pemahaman teori kebahagiaan ini. Dua orang pasien menjalani klonoskopi dan melaporkan rasa sakit mereka setiap 60 detik. Pasien A menjalani klonoskopi selama 8 menit dan pasien B selama 20 menit.
Pertanyaan kemudian muncul: Pasien mana
yang paling menderita? Pasien mana yang merasa
paling menderita?
Melihat laporan secara visual di atas,
umumnya kita akan menganggap bahwa yang merasa
paling menderita adalah B. Kenyataannya: yang paling merasa menderita justru A. Pasien A justru punya lebih banyak
ingatan buruk tentang proses klonoskopi dan paling besar traumanya ketimbang
pasien B. Karena bagian paling penting adalah tentang bagaimana suatu cerita
berakhir. Ending selalu menentukan nilai suatu peristiwa.
Pasien B sendiri mengalami apa yang dalam
teori utilitas disebut nilai marginal. Semakin sering sesuatu dikonsumsi,
semakin berkurang kenikmatan dari suatu komoditas. Hal yang sama sebenarnya
berlaku secara terbalik. Semakin sering seseorang merasa sakit, semakin rasa
sakit itu berkurang, dan semakin kecil risiko mengalami trauma (terutama dalam
konteks klonoskopi tadi). Taleb (salah seorang pengagum Kahneman) mengembangkan
konsep ini dalam antri-fragile. Bahwa
seseorang harus tumbuh terekspos bahaya agar tumbuh menjadi kuat. Pasien B yang
sakit selama 20 menit secara intens jauh lebih tangguh (anti-fragile) ketimbang pasien A yang hanya mengalami 8 menit
klonoskopi.
Perbedaan besar dalam pasien A dan B
adalah dalam cara mereka memaknai waktu. Misal dalam liburan ke Prancis. Bagi
Diri Pengalaman, 2 minggu liburan lebih baik daripada cuma 1 minggu. Bagi Diri
Ingatan, tidak penting liburan 1 atau 2 minggu, yang terpenting adalah
momen-momen terakhir liburan.
Lantas, diri versi manakah yang lebih
dominan? Kahneman berkata, Diri Ingatan. Diri Ingatanlah yang bertanggung jawab
dalam membuat keputusan. Kita tidak memilih sesuatu berdasarkan pengalaman,
tapi lewat ingatan. Kita pun berharap masa depan kelak berbuah sebagai ingatan
yang kita harapkan.
Tapi ketika kita bertanya diri versi
manakah yang mengalami kebahagiaan? Kahneman menjawab, Diri Pengalaman. Kunci
bahagia adalah tidak mempedulikan bagaimana kita akan mengingat suatu
peristiwa, kunci bahagia adalah tidak mengizinkan kekhawatiran dan harapan kita
terhadap masa depan mendikte pentingnya menjalani hidup sekarang juga momen ini
juga (mindfulness).
Di titik ini, Kahneman bisa terdengar
seperti Sidharta Gautama, yang berkhotbah bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan,
melainkan jalan itu sendiri. Albert Camus pun beranggapan serupa: ketimbang
memikirkan bagaimana cara berbahagia di masa depan, mending berbahagia saja
sekarang juga; kebahagiaan itu bukan untuk diharapkan, tapi dilakoni. Dan yang
melakoni hari ini detik ini juga, adalah Diri Pengalaman.

0 Komentar