“O Kesendirian, rumahku! Aku
telah hidup liar terlalu lama di negeri-negeri asing untuk bisa kembali padamu
tanpa air mata!” ~ Nietzche, Zarathustra.
Perlu kehilangan banyak hal untuk
menyadari kita tidak butuh banyak dalam hidup. Pernah saya melepas sesuatu yang
telah sepuluh tahun menemani petualangan saya, melepas hal itu, seperti kehilangan
salah satu organ tubuh atau salah satu indera. Tengah malam adalah bagian
paling sulit. Kesepian merajam-rajam saya tanpa belas kasihan. Kadang saya mau
di luar hujan saja biar lebih mudah pikiran saya sibuk tidak memikirkan apa
yang tidak lagi ada.
Saat itu saya belum tahu kalau kehilangan
adalah rute kita menemukan sesuatu yang lebih penting daripada memiliki seluruh
isi bumi. Saya menemukan diri saya dengan wajah kanak-kanak seceria kuning pagi
yang langsung memeluk kaki saya seperti sudah lama sekali tak berjumpa dengan
diri sendiri.
Saya pun sadar kalau menyukai seseorang
sebelum kita menyukai diri sendiri adalah kesalahan fatal yang tak boleh
dibiarkan. Saya adalah korban dari kecerobohan itu. Kehilangan lantas sepersis
wajah orang tua berjenggot putih tebal, menjadi bijaksana di hadapan saya.
Pelan-pelan ia bergradasi dari warna hitam jurang jadi cahaya-cahaya kecil
seperti kunang-kunang. Lamat-lamat saya mendengar suaranya, tangan saya seperti
dituntun.
Bahagia itu ternyata kita yang buat.
Tombolnya terdapat di dalam diri kita yang perlu sedikit usaha dan ketelitian
mencarinya. Terlalu lama menjadikan orang lain sebagai standar menjalani hidup
membuat kita lupa kalau kekuatan dan keberanian selalu berasal dari dalam diri.
Memang tidak nyaman mencari tombol bahagia
itu. Ada banyak lapisan ego yang perlu kita tembusi, ada kegelapan yang
mencolok mata, ada jurang bahasa yang perlu didamaikan dalam diri. Saya
menyebut proses ini sebagai kenalan dengan diri sendiri; mengenal lebih dekat dan
dekap anak kecil seceria kuning pagi yang tumbuh dalam diri saya. Terlalu sibuk
memikirkan kebahagiaan orang lain membuat saya lupa menjadi bahagia dengan cara
sejujur-jujurnya. Saya pun memahfumi: kehilangan dan menemukan itu ternyata
satu paket; kita tidak dapat menerima yang terakhir tanpa menerima yang
pertama.
Pada akhirnya, kesendirian adalah sebaik-baiknya
rumah yang paling setia, seperti kata Nietzche dalam khotbah Zarathustra.
Kesendirian adalah satu-satunya yang tak akan bisa mengkhianati kita bahkan
dalam situasi paling sulit sekalipun. “O Kesendirian [dengan huruf kapital]!
Kesendirian, rumahku! Betapa menyenangkan dan lembut suaramu berbicara
kepadaku!” tulis Nietzche, yang mempersonifikasi kesendirian sebagai subjek. “Kita
tidak meragukan satu sama lain … Karena bersamamu segalanya terbuka dan terang;
dan bahgkan di sini berjam-jam berlari dengan kaki ringan. Karena waktu
membebani lebih berat di tempat gelap dibanding di tempat terang.”
Saya percaya Waktu adalah pandai besi yang
bijaksana: ia akan berkali-kali mengizinkan kita dijilat api dan dipeluk sungai
es, ia akan berkali-kali membuat kita terbentur, terbentur, hingga akhirnya
terbentuk menjadi manusia paling bahagia dengan kesendiriannya.
0 Komentar