Not-to-be-Reproduced-1937-Rene-Magritte


O Kesendirian, rumahku! Aku telah hidup liar terlalu lama di negeri-negeri asing untuk bisa kembali padamu tanpa air mata!” ~ Nietzche, Zarathustra.

 

Perlu kehilangan banyak hal untuk menyadari kita tidak butuh banyak dalam hidup. Pernah saya melepas sesuatu yang telah sepuluh tahun menemani petualangan saya, melepas hal itu, seperti kehilangan salah satu organ tubuh atau salah satu indera. Tengah malam adalah bagian paling sulit. Kesepian merajam-rajam saya tanpa belas kasihan. Kadang saya mau di luar hujan saja biar lebih mudah pikiran saya sibuk tidak memikirkan apa yang tidak lagi ada.

 

Saat itu saya belum tahu kalau kehilangan adalah rute kita menemukan sesuatu yang lebih penting daripada memiliki seluruh isi bumi. Saya menemukan diri saya dengan wajah kanak-kanak seceria kuning pagi yang langsung memeluk kaki saya seperti sudah lama sekali tak berjumpa dengan diri sendiri.

 

Saya pun sadar kalau menyukai seseorang sebelum kita menyukai diri sendiri adalah kesalahan fatal yang tak boleh dibiarkan. Saya adalah korban dari kecerobohan itu. Kehilangan lantas sepersis wajah orang tua berjenggot putih tebal, menjadi bijaksana di hadapan saya. Pelan-pelan ia bergradasi dari warna hitam jurang jadi cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang. Lamat-lamat saya mendengar suaranya, tangan saya seperti dituntun.

 

Bahagia itu ternyata kita yang buat. Tombolnya terdapat di dalam diri kita yang perlu sedikit usaha dan ketelitian mencarinya. Terlalu lama menjadikan orang lain sebagai standar menjalani hidup membuat kita lupa kalau kekuatan dan keberanian selalu berasal dari dalam diri.

 

Memang tidak nyaman mencari tombol bahagia itu. Ada banyak lapisan ego yang perlu kita tembusi, ada kegelapan yang mencolok mata, ada jurang bahasa yang perlu didamaikan dalam diri. Saya menyebut proses ini sebagai kenalan dengan diri sendiri; mengenal lebih dekat dan dekap anak kecil seceria kuning pagi yang tumbuh dalam diri saya. Terlalu sibuk memikirkan kebahagiaan orang lain membuat saya lupa menjadi bahagia dengan cara sejujur-jujurnya. Saya pun memahfumi: kehilangan dan menemukan itu ternyata satu paket; kita tidak dapat menerima yang terakhir tanpa menerima yang pertama.

 

Pada akhirnya, kesendirian adalah sebaik-baiknya rumah yang paling setia, seperti kata Nietzche dalam khotbah Zarathustra. Kesendirian adalah satu-satunya yang tak akan bisa mengkhianati kita bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun. “O Kesendirian [dengan huruf kapital]! Kesendirian, rumahku! Betapa menyenangkan dan lembut suaramu berbicara kepadaku!” tulis Nietzche, yang mempersonifikasi kesendirian sebagai subjek. “Kita tidak meragukan satu sama lain … Karena bersamamu segalanya terbuka dan terang; dan bahgkan di sini berjam-jam berlari dengan kaki ringan. Karena waktu membebani lebih berat di tempat gelap dibanding di tempat terang.”

 

Saya percaya Waktu adalah pandai besi yang bijaksana: ia akan berkali-kali mengizinkan kita dijilat api dan dipeluk sungai es, ia akan berkali-kali membuat kita terbentur, terbentur, hingga akhirnya terbentuk menjadi manusia paling bahagia dengan kesendiriannya.