Golconda-1953-Rene-Magritte

Estimasi membaca: 30 menit.

Soekarno adalah figur pertama yang saya kagumi. Saya masih ingat betul, waktu sekolah di SDN 1 Sinindian, sering saya mencuri waktu untuk membaca di ruang kepala sekolah. Buku kegemaran saya adalah buku grafis tentang sejarah singkat Soekarno. Ada satu gambar yang bertahan lama sebagai kesan kuat, Soekarno muda lagi berbicara dengan pakaian putih kelabu di depan orang banyak. Ia diperkenalkan sebagai orator ulung, yang kata-katanya, bisa berisiko penjara.

 

Beranjak SMP, saya justru mengagumi Yngwie Malmstein. Konon ia dijuluki gitaris dengan jemari paling cepat di dunia. Ia bahkan pernah memainkan arpegio, berkompetisi siapa yang lebih cepat antara jemarinya dan rambatan api di sekujur tali gitar. Dalam satu pengakuan Yngwie, ia sangat dipengaruhi violinis yang dijuluki the devil violinist, Nicolo Paganini, yang hari ini mendorong saya ingin belajar main biola.

 

Selama sekolah, saya banyak mengagumi guru-guru saya. Saya kagum kepada mantan kepala sekolah SD saya, seorang Katolik yang tabah dan cekatan, yang setia mendedikasikan diri meski sekolah kami pernah disebut koran lokal sebagai sd yang nyaris roboh. Di SMP saya kenal Pak Sule, guru matematika kami. Darinya saya belajar empati. Pernah ia masuk kelas dan langsung menebak siapa saja yang tidak sempat membikin PR matematika, anak-anak yang disebut namanya langsung garuk-garuk kepala merasa seperti kucing basah, dan saya salah satunya. Di SMA, saya kenal Bu Rukmini, mantan wali kelas, sekaligus guru ekonomi. Ia orang yang ketat dengan akuntansi. Saya kagum pada sikap egaliterianismenya, ia pernah menyambut saran saya dengan hangat ketika mengusulkan kegiatan belajar mengajar di luar kelas (seperti Aristoteles mengajari Alexander). Sedihnya, Bu Rukmini harus pindah ke SMK 1 Kotamobagu sebelum proyeksi itu tereksekusi. Saya merasa kehilangan saat itu.

 

Dalam dunia tulisan, sampai hari ini saya pengin menyangkal pikat Goenawan Mohammad dalam diri saya, tapi seperti jerat, saya sulit lepas darinya. Esai GM punya daya sihir yang sukar kita tolak godaannya. Butuh waktu lama bagi saya, untuk mencari gaya tulis dan gaya pikir yang baru, ada semacam rasa malu karena saya tergolong satu dari banyak orang yang membebek kepadanya, dan itu sama saja dengan tidak memberikan satu yang baru untuk dunia ini. Perlu satu-dua tahun untuk melirik gaya tutur berbeda: saya pun ketemua Seno Gumira Ajidarma, Dea Anugerah, Kurt Vonnegut, Allain de Botton, Puthut EA, Zen RS, dan banyak lagi yang tidak saya ingat dengan terang. Di atas itu, GM tetap layak mendapat penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal lelah melahirkan tulisan-tulisannya.

 

Di bidang musik saya kagum dengan Wagner, semata karena ia dikagumi Schopenhauer & Nietzche saja. Saya belakangan mulai suka lagi dengan Albert Camus atas keberaniannya menyatakan hidup ini absurd sebab tanpa makna, dan kita adalah makhluk yang memberontak dari absurditas yang tak terelakkan itu. Saya mulai suka pada Jonathan Haidt, ia membuka jalan untuk rasa penasaran pada dunia psikologi evolusioner, sains kognitif, dan neurosains. Nelson Mandela juga mempengaruhi hati saya untuk lebih terbuka dengan maaf di hadapan masa lalu yang berat. Saya kagum juga kepada Haruki Murakami, Milan Kundera, dan Henri Magritte: tokoh-tokoh surealis yang membimbing saya untuk berani berpikir dan berimajinasi di luar batas-batas realitas, menyerempet sedikit tapal batas kegilaan-kewarasan, & melihat mimpi sebagai cara inti batin berbahasa kepada kita. Dalam dunia Islam, saya mengagumi Ali Harb, ia seperti Nietzche di dunia Islam, ia menginspirasi saya untuk melihat kebenaran sebagia proses yang tak pernah final.

 

Namun dari banyak nama itu, saya tidak ingin menjadi fanatik. Saya punya kebiasaan menahan diri, lantas memalingkan wajah ke nama lain yang benar-benar asing untuk saya eksplorasi justru ketika saya mulai cinta buta kepada nama-nama itu. Itu membantu saya tidak terjebak dalam atavisme, laku memberhalakan seorang figur yang dikagumi. Kekhawatiran terhadap atavisme ini menolong saya melihat seseorang tanpa bias, dengan keadilan perspektif yang terawat baik dalam kepala.