Starry-Night-over-the-Rhone Van Gogh

Estimasi Membaca: 4 menit 30 detik

 

Sudah lama saya tidak menyadari kalau saya lagi merindukan sesuatu. Dalam pengalaman saya, rindu pernah menjelma jadi sesuatu yang lain dari definisi banyak orang. Barangkali karena rindu bisa seperti hantu. Rindu semacam itu, bisa menyelinap ke celah paling rahasia kita, hanya untuk mengoyak-ngoyak kita dari dalam. Rindu semacam itu tidak memberi ruang bagi kita untuk merasa berdaya.

 

Perlu waktu yang tidak sedikit untuk mengingat-ingat pengalaman kerinduan yang saya alami belakangan ini. Saya pun merumuskan sedikit petunjuk untuk itu. Setelah menimbang-nimbang banyak hal, saya memikirkan sesuatu yang menurut saya menarik: Kerinduan semacam momen eksistensial di mana kita ingin berjumpa dengan seseorang di saat-saat paling lemah demi menyembuhkan kelelahan hati.

 

Tiba-tiba segurat wajah membenak: Nenek Haji.

 

Saya tidak tahu nama nenek sebenarnya. Tapi kami sekeluarga besar memanggilnya Nenek Haji. Kadang-kadang di depan Z dan W saya sering mempeleseti Nenek Haji sebagai God Mother. Ia seumpama Corleone yang membuhul benang merah kekeluargaan di antara kami di Nuangan. Saya dan keluarga besar di Nuangan merupakan objek-objek kecil yang berotasi dan Nenek Haji adalah mataharinya.

 

Mengunjungi Nenek setiap lebaran adalah ritus wajib. Nenek selalu duduk di kursi favoritnya di sudut ruang menuju dapur, tepat di bawah tangga. Kursi itu menghadap langsung ke pintu samping rumah. Setiap kali saya tiba dan Nenek duduk dengan air mukanya yang jarang sekali berubah, tiba-tiba imaji Don Corleone bangkit lagi di kepala saya. Duduk di kursi itu seperti cara Nenek mengatakan: “Selamat datang, amigo!”

 

Seperti acara kumpul-kumpul keluarga lainnya: satu per satu ibu-ibu akan berkumpul, bapak-bapak mulai membicarakan politik, anak-anak berkejaran di dalam rumah, suara tawa bercampur di langit-langit, sedangkan saya dan kedua kakak saya duduk-duduk saja di ruang tengah. Beberapa tante kami kemudian mendekat, melancarkan bakat terpendam mereka sebagai investigator. Saya melihat Z mulai kewalahan dengan pertanyaan angker, “kapan menikah”. Pernah suatu lebaran, Z berseloroh ke Nenek Haji, kalau dia mau menikahi bule saja (kalau ingatan saya jujur, kejadiannya dua tahun lalu). Nenek Haji dengan sekejap beristighfar karena kesal. Pertemuan langka itu selalu diakhiri dengan foto keluarga besar-besaran di mana Nenek Haji selalu berada di tengah barisan depan dengan Ibu mengapit lengan Nenek.

 

Pernah saya merasa sangat dekat sekali dengan Nenek. Tahun lalu ketika menginap di SMP Nuangan, tempat seorang teman mengajar, saya diminta Ibu untuk mampir ke tempat Nenek. Siang hari saya ke rumah tapi Nenek lagi tidur. Tidak enak mengganggu, saya berbalik arah. Mengunjungi Nenek di luar momen lebaran menjadi hal asing. Sebelum pulang dari Nuangan, saya kembali mampir hanya sekadar menyapa. Nenek yang lagi tidur-tiduran langsung bangkit dengan tergopoh-gopoh, menyambut saya dengan bahasa Mongondow kental yang tak saya mengerti. Tapi kalimat itu diakhiri oleh kata kepemilikan berbahasa Indonesia, “… cucuku.”  

 

“Cucuku.” Itu kalimat paling ekspresif dan paling hangat dari Nenek Haji, seperti ada penegasan, bahwa saya sesuatu yang penting baginya. Saya tidak bisa berlama-lama karena tidak datang sendiri. Nenek lalu saya suruh istirahat lagi, dan saya janji akan datang lagi sebelum kembali ke Bandung.

 

Pertemuan sementara itu membuat saya merasa mengenal Nenek lebih personal, bukan sekadar ia sebagai Don Corleone ketika merayakan lebaran. Saya mulai banyak memikirkan arti keluarga setelahnya. Bisakah saya benar-benar menyayangi beliau sebagai nenek-nenek biasa tanpa relasi darah yang Nenek wariskan kepada ibu saya? Mungkin sulit. Kata kepemilikan, “Cucuku”, membangkitkan sesuatu dalam darah saya, yang satu per empat berasal dari Nenek Haji. Kita justru butuh keluarga karena mustahil mencintai seluruh manusia.

 

Sekitar satu-dua bulan lalu, saya sempat mimpi berjalan-jalan di suatu komplek perumahan yang familiar tapi sulit saya ingat dengan jelas. Ada saya, Bapak, Ibu, dan Nenek Haji. Kami berjalan-jalan santai begitu saja sambil membicarakan banyak hal. Ketika asyik ngobrol, kami sadar Nenek tertinggal di belakang. Kami pun menemukan Nenek lagi duduk di trotoar jalan. Tubuh Nenek menyusut, menjadi kecil sekali seperti gingseng. Wajah Nenek seperti tidur, kelihatan capek.

 

Beberapa minggu setelah mimpi itu, Ibu mengabari di grup WA keluarga kalau Nenek lagi sakit. Lini masa Facebook saya pun dipenuhi sepupu-sepupu yang mem-posting foto mereka dengan Nenek, diiringi doa-doa kesembuhan di caption. Nenek memang sudah sangat tua. Kami tahu, satu-satunya anggota keluarga paling khawatir adalah Ibu. Bagaimanapun, ia tetap seorang anak. Dan ingatan tentang masa kanak-kanak Ibu tersimpan jelas dalam diri Nenek. Seraya mengirim foto swafoto bersama Nenek, Ibu meminta kami mendoakan kesehatan. Ada ketidakberdayaan yang terasa di sana.

 

Mungkin itu momen kerinduan saya paling nyata. Ada ketidakberdayaan yang hanya bisa diatasi oleh doa. Ada keinginan untuk pulang walau hanya sementara, mengunjungi Nenek yang mungkin lagi di kursi kesayangannya, memeluk tubuh yang melawan waktu itu, dan menemaninya melihat anak dari cicit-cicitnya main kejar-kejaran di dalam rumah. Kerinduan semacam itu terasa unik sekali.

 

Beberapa hari setelahnya, kesehatan Nenek makin membaik. Tapi matanya berubah seperti Sartre. Faktor usia tentu saja. Saat itu saya merasa betul kalau doa terasa tidak pernah sia-sia. Saya merasa rindu saya diberi kesempatan sekali lagi. Kalau umur panjang, saya ingin pertemuan selanjutnya mencium kaki Nenek Haji, biar surga Ibu, kalis dan nyaman.