Wheat-Field-Under-Clouded-Sky Van Gogh


Binar mata pagi mengintip melalui celah tirai biru aster. Dari arah pohon matoa samping jendela, beberapa burung bertengger menyiulkan tembang. Nada dasarnya mayor, mungkin G, mungkin C, kau sedikit menerka dengan kesadaran yang baru setengah. Hari baru saja bergulir dengan harapan-harapannya yang baru. Kamar tidur pun terjaga. Merapikan mimpi dan selimut di atas kasur.

 

Pada pagi yang paling sempurna itu kau bertanya: apa rahasia bahagia? Kau tidak tahu… Sebelum satu pun jawaban tiba, kaki kananmu sudah bergerak memimpin langkah menuju secangkir air putih.

 

Di dapur, aroma rempah-rempah bercampur harum nasi baru matang menguar. Bapak muncul dari belakang rumah, diikuti ciap-ciap ayam di belakangnya. Bapak gemar memberi makan ayam dan menyiram tanaman di sekitar rumah, kalau tidak begitu, biasanya wajahnya galak dan matanya setajam parang. Ibu mengajak kami sarapan. Di atas meja sudah ada beberapa piring, dua ekor ikan berpakaian dabu-dabu, perkedel telur, cah kangkung, dan kuah merah.

 

Ibu bukan ibu kebanyakan yang jago masak. Kadang-kadang kalau beruntung, bapak akan bercerita awal-awal pernikahan mereka. Bapak sering bilang di meja makan, “Ma, masakanmu enak. Tapi sepertinya kurang garam.” Itu cara bapak memotivasi ibu agar lebih giat belajar masak. Tapi kau tidak peduli ibu bisa masak atau tidak. Kau bukan tipikal orang yang suka mengomentari menu santapan seusai makan bersama kawan. Kau lebih peduli pecah tawa di udara setelah bapak bercerita keunikan masakan ibu, ibu hanya menahan tawa karena masih mengunyah. Kau suka melihat kedua orang tua itu berbagi tawa. Sekilas, ada sebersit masa remaja mereka melintas di antara gurat-gurat keriput itu. Lalu pada pagi yang paling sempurna itu kau bertanya: apa rahasia bahagia?

 

Kau kerap membunuh waktu dengan membaca buku. Membaca buku seperti menjadi turis yang menziarahi isi kepala orang lain, imajinasi mereka, tempat di mana mereka lahir, zaman di mana mereka berlari. Membaca membuat duniamu bergeser perlahan-lahan. Dalam kepalamu, sebuah panggung teater merekonstruksi kalimat demi kalimat menjadi peristiwa. Kau masih tidak habis pikir kenapa himpunan huruf yang berbaris bak prajurit itu bisa menjadi alasan besar tumbuhnya peradaban di atas tanah manusia. Kau juga masih terpukau, betapa usia seseorang bisa dipanjangkan lewat tulisan. Kata seorang penyair, membaca buku-buku lama seperti ritus misa arwah. Kita lagi berkomunikasi sesungguhnya dengan orang-orang yang telah lama tiada. Maka rak-rak perpustakaan yang dihuni buku, barangkali adalah taman pusara. Di sana waktu tak lagi punya kuasa atas keterbatasan manusia.

 

Pada hari yang sempurna itu, kau lagi-lagi bertanya: apa rahasia bahagia? Sebelum kau sempat menjawab, suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Gesekan ban dan kerikil diikuti oleh teriakan bocah berusia satu tahun delapan bulan. Itu suara keponakanmu. Tanpa berpikir panjang kau menyambut anak dari kakak pertamamu. Dia meloncat begitu saja dari pelukan ibunya. “Uncle … Uncle!” serunya seraya berlari menujumu. Kamu senang bermain dengan kurcaci itu. Anak kecil mengajari kamu banyak hal. Bermain dengannya, membantu bocah dalam jiwamu ikut melela, memberontak terhadap antagonisme orang-orang dewasa.


Pagi telah tergelincir ke sore. Di hari paling sempurna itu, kau mengajak Arif, keponakanmu, bermain di sekitar rumah. Kamu mengajaknya berbahasa burung. Di sekitar pohon mangga, kau dan Arif kompak menyeru: “Buruuung!” Tapi mereka justru terbang menjauh. Padahal di antara kalian tidak ada yang ingin merenggut kebebasan satu sama lain. Capek tidak ada burung yang mau bermain bersama kami. Arif pun memutuskan menembak matahari dengan bazooka imajinernya. Tangan kanannya merentang lurus ke arah barat, mata kirinya tertutup agar mata kanan fokus mengunci target, mulutnya termonyong-monyong meniru suara letusan bazooka yang lama kelamaan makin mirip dengan gatling gun. Kamu menemaninya sampai lembayung bergradasi sempurna jadi hitam di langit. Arif lalu menatap saya dengan mata lugunya yang berbinar-binar. “Hore. Menang, Uncle, Menang!” Kamu hanya senyum senyum sendiri melihat kurcaci ini. Lalu di ujung hari, kau teringat pertanyaan pertama yang hadir sejak pertama: apa rahasia bahagia?

 

Sejujurnya kau masih belum tahu. Tapi ada gerak hati yang menginginkan repetisi. Melihat bapak dan ibu bercanda di meja makan, tenggelam dalam buku, dan bermain bersama Arif: kau hanya ingin mengulanginya lagi dan lagi dengan harapan, besok, hari yang paling sempurna masih tersisa untukmu. Kalau ketiga hal itu adalah minatur surga bagi duniamu yang sangat sederhana, maka buat apa lagi kau membutuhkan jawaban dari rahasia menjadi manusia bahagia?