September dibuka oleh Ibu dan ditutup oleh Bapak. Saya dan kedua kakak
saya, hanya anak-anak yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah bulan itu.
Ibu adalah sosok yang misterius. Ia tidak
tahu kapan pertama kali muncul di bumi. Dinas kependudukan zaman dulu keliru mencetak tanggal
lahirnya. Di akta justru tercantum tanggal lahir adiknya, Ma Wira.
Maka untuk beberapa tahun, ibu tidak merayakan ulang tahun. Barangkali karena
Ibu melihat Nenek baik-baik saja tanpa tanggal lahir. Nenek bahkan tidak tahu
berapa umurnya sekarang. Kata Nenek juga, ibu memang anak gadis yang pendiam
yang tidak banyak menyukai keriuhan. Ia lebih senang melukis dan menggambar
dalam ruang imajinasinya. Salah tanggal ulang tahun tentu bukan perkara yang
perlu dikhawatirkan.
Sampai suatu waktu, entah kenapa Ibu
tiba-tiba memutuskan kalau ulang tahunnya tanggal 1 September. Alasannya juga
tidak terlalu jelas. Kenapa dari tiga ratus enam puluh lima hari ia memilih
tanggal itu? Analisis terbaik saya: Ibu ingin berada di satu halaman kalender
yang sama dengan Bapak.
Bapak sendiri lahir tepat pada tanggal
yang diperingati sebagai sejarah berdarah Indonesia, sering dijuluki hari
G30SPKI. Meskipun kelahirannya ditandai dengan langkah-langkah awal tegaknya
otoritarianisme Orde Baru, tapi Bapak justru orang paling demokratis yang saya
kenal. Ia mengajari saya banyak hal tentang kebebasan dan harga yang harus
ditebus demi menikmati dan mencari kebebasan itu. Ia mengajari saya egalitarianisme
dalam rumah. Alih-alih memanggil saya Nak, ia justru panggil saya Bro dengan
gaya sok asyik Baby Boomer. Saya banyak memahami konsep kebebasan dan
tanggungjawab darinya.
September dibuka oleh lapang hati Ibu.
September seceria nyanyian Vina Panduwinata. Keceriaan yang membius, yang
mengirim kangen dalam diri saya untuk pulang ke tempat tidur pertama, ke rahim
Ibu. Saya ingin tidur dengan mimpi paling ceria di sana, di tempat di mana
jantung dan jari jemari saya lagi dibentuk oleh kehidupan. Saya ingin tidur panjang
dalam rahim September itu, sampai Green Day menghenyakkan saya ketika September
hendak berakhir kepada tanggal Bapak.
Kadang kala benak saya menanyakan sesuatu
yang ingin pura-pura tidak saya tahu, “Bagaimana bila nanti Ibu-Bapak tidak
lagi ada selamanya? Sudah siapkah saya menanggung rindu yang tak mungkin
terbalas? Sudah siapkah saya meminta maaf tanpa satu pun jawaban di ujung nisan
itu?” Butuh nyali yang tidak sedikit untuk membayangkan skenario itu. Mungkin karena
itu, diam-diam saya ingin memberi makna yang tidak sedikit kepada September.
Seolah-olah di masa depan di mana Ibu-Bapak tidak ada lagi selamanya, saya bisa
menjadikan September sebagai upacara ingatan untuk mereka. Saya mungkin akan
menceritakan kisah mereka membesarkan saya di hadapan anak-anak setelah makan
di malam yang dingin. Saya bakal mengenang pertukaran tawa mereka berdua di
meja makan karena masakan ibu yang tidak enak-enak amat tapi selalu lahap disantap
bapak. Lalu saya menyadari, bahwa mereka sebenarnya tidak benar-benar tiada.
Barangkali memang, rahasia keabadian
adalah merawat ingatan. Dan kita harus menabung ia sebanyak-banyaknya dalam
rahim waktu.
0 Komentar