First Landing Jump (1961) - Robert Rauschenberg

 

September dibuka oleh Ibu dan ditutup oleh Bapak. Saya dan kedua kakak saya, hanya anak-anak yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah bulan itu.

 

Ibu adalah sosok yang misterius. Ia tidak tahu kapan pertama kali muncul di bumi. Dinas kependudukan zaman dulu keliru mencetak tanggal lahirnya. Di akta justru tercantum tanggal lahir adiknya, Ma Wira. Maka untuk beberapa tahun, ibu tidak merayakan ulang tahun. Barangkali karena Ibu melihat Nenek baik-baik saja tanpa tanggal lahir. Nenek bahkan tidak tahu berapa umurnya sekarang. Kata Nenek juga, ibu memang anak gadis yang pendiam yang tidak banyak menyukai keriuhan. Ia lebih senang melukis dan menggambar dalam ruang imajinasinya. Salah tanggal ulang tahun tentu bukan perkara yang perlu dikhawatirkan.

 

Sampai suatu waktu, entah kenapa Ibu tiba-tiba memutuskan kalau ulang tahunnya tanggal 1 September. Alasannya juga tidak terlalu jelas. Kenapa dari tiga ratus enam puluh lima hari ia memilih tanggal itu? Analisis terbaik saya: Ibu ingin berada di satu halaman kalender yang sama dengan Bapak.

 

Bapak sendiri lahir tepat pada tanggal yang diperingati sebagai sejarah berdarah Indonesia, sering dijuluki hari G30SPKI. Meskipun kelahirannya ditandai dengan langkah-langkah awal tegaknya otoritarianisme Orde Baru, tapi Bapak justru orang paling demokratis yang saya kenal. Ia mengajari saya banyak hal tentang kebebasan dan harga yang harus ditebus demi menikmati dan mencari kebebasan itu. Ia mengajari saya egalitarianisme dalam rumah. Alih-alih memanggil saya Nak, ia justru panggil saya Bro dengan gaya sok asyik Baby Boomer. Saya banyak memahami konsep kebebasan dan tanggungjawab darinya.

 

September dibuka oleh lapang hati Ibu. September seceria nyanyian Vina Panduwinata. Keceriaan yang membius, yang mengirim kangen dalam diri saya untuk pulang ke tempat tidur pertama, ke rahim Ibu. Saya ingin tidur dengan mimpi paling ceria di sana, di tempat di mana jantung dan jari jemari saya lagi dibentuk oleh kehidupan. Saya ingin tidur panjang dalam rahim September itu, sampai Green Day menghenyakkan saya ketika September hendak berakhir kepada tanggal Bapak.

 

Kadang kala benak saya menanyakan sesuatu yang ingin pura-pura tidak saya tahu, “Bagaimana bila nanti Ibu-Bapak tidak lagi ada selamanya? Sudah siapkah saya menanggung rindu yang tak mungkin terbalas? Sudah siapkah saya meminta maaf tanpa satu pun jawaban di ujung nisan itu?” Butuh nyali yang tidak sedikit untuk membayangkan skenario itu. Mungkin karena itu, diam-diam saya ingin memberi makna yang tidak sedikit kepada September. Seolah-olah di masa depan di mana Ibu-Bapak tidak ada lagi selamanya, saya bisa menjadikan September sebagai upacara ingatan untuk mereka. Saya mungkin akan menceritakan kisah mereka membesarkan saya di hadapan anak-anak setelah makan di malam yang dingin. Saya bakal mengenang pertukaran tawa mereka berdua di meja makan karena masakan ibu yang tidak enak-enak amat tapi selalu lahap disantap bapak. Lalu saya menyadari, bahwa mereka sebenarnya tidak benar-benar tiada.

 

Barangkali memang, rahasia keabadian adalah merawat ingatan. Dan kita harus menabung ia sebanyak-banyaknya dalam rahim waktu.