A Pair of Shoes (1886) - Vincent van Gogh
 
Estimasi waktu membaca: 3.30 menit

“Deskripsikan gayamu.” Ketika sampai ke pertanyaan ini, kau perlu mencopot cermin persegi panjang di samping kirimu. Melihat dekat-dekat seseorang yang dipantulkan kaca itu. Kau mulai mempertanyakan diri sendiri apakah kau benar-benar pemilik tubuhmu sendiri hanya karena kesulitan menjawab pertanyaan semacam tadi.

 

Selama ini kau selalu memberikan hak perogratif untuk menilai dirimu kepada orang lain. Barangkali kau tidak mau tampak semalang Narcissus yang bercermin di anak sungai Helicon. Pertanyaan “deskripsikan gayamu” cukup mengusik. Kau lantas mencari-cari cara membicarakan gaya tanpa terjebak sebagai Narcissus yang hendak kau hindari itu. Kau mungkin akan membicarakan gaya bicara, gaya berjalan, gaya kepemimpinan, gaya renang, atau mungkin gaya fisika alih-alih gaya berpakaian. Sebab untuk gaya yang terakhir itu, sepengetahuanmu, engkau tidak pernah merencanakan ingin terlihat sebagai seseorang dengan gaya tertentu di mata orang yang paling kau kenal sekalipun.

 

Gaya dalam ilmu fisika, didefinisikan sebagai tarikan atau dorongan yang terjadi pada suatu benda. Gaya tersebut menimbulkan perubahan posisi, gerak, atau perubahan bentuk benda. Tentu saja kau pernah mengalami sensasi itu dalam selera bergaya. Memang kau pernah melihat suatu jenis pakaian yang mempengaruhi posisimu berdiri, menggoda untuk bergerak mendekat, lantas mengubah bentuk dirimu dalam ruang ganti. Tapi tarikan dan dorongan itu terjadi sebagai dorongan alam bawah sadar.  Preferensi dan pilihan itu muncul begitu saja dari suatu memori yang bahkan tak kau ingat dengan sengaja.

 

Kau tidak punya setelan tertentu yang kau istimewakan. Tidak pula mengikuti mode. Kau memang pernah tertarik dengan suatu setelan tertentu, tapi itu bukan karena merk, jenis, atau karena lagi trendi; kau memilih itu karena merasa identitasmu terwakili. Hanya sedikit pengalaman unik di mana kau merasa ada gaya gravitasi kuat mengisapmu ke sebuah pakaian: jaket kuning mustard, kemeja biru torquise, sesuatu berkain flanel, kaos polos berwarna pale pink, kaos band kesayanganmu, sweater merah maroon, pakaian bermotif tribal, serta baju yang bisa dipesan caption di dadanya.

 

Pernah juga kau memilih gaya berpakaian sebagai bentuk pembelotan. Sengaja kau membeli kemeja pink yang cukup mencolok buat lingkungan kampusmu yang sangat patriarkis. Saat itu, feminisme belum semenjamur hari-hari ini. Beberapa kali teman-teman berkomentar sembari tertawa kecil dengan nada usil: “hei cowo pink.” Kau tidak ambil pusing dengan pendapat-pendapat itu. Bagimu, warna tidak punya jenis kelamin. Dan diasosiasikan dengan sesuatu yang terlanjut berkonotasi feminim tidak bakal menjadikanmu sebagai manusia kelas dua.

 

Bukannya kau tidak pernah terganggu dengan sifat acuh tak acuhmu soal gaya. Kejadiannya sudah cukup lama sampai kau tidak ingat itu tahun berapa. Tapi sebagai anak remaja yang masih belum bisa mengendalikan diri di hadapan tekanan sosial, kau pernah merasa terbebani dengan tradisi pumpun daerahmu, yakni tradisi membeli pakaian baru buat lebaran. Kau pun disuruh orangtuamu membeli beberapa barang buat rak baju kau yang banyak ruang kosongnya. Saat berputar-putar di satu pusat perbelanjaan, kau sengaja mampir ke toko buku, dan itu rupanya keputusan yang berpengaruh banyak dalam hidupmu. Matamu menyisir satu per satu buku di etalase. Lalu dengan dorongan aneh yang barangkali kerap bekerja dalam diri ibu-ibu di hadapan diskon Tupperware, dirimu kehilangan kendali, keranjang belanja tiba-tiba dipenuhi buku, dan tanganmu liar mencomot apa pun yang menyenangkan hati. Impulsifitas yang seru sekali. Kesadaranmu baru saja kembali ketika transaksi selesai di kasir dengan napas yang tenat sekali. “Tidak ada pumpun hari ini,” batinmu. Uangmu terkuras habis.

 

Seusai itu, kau baru mahfum kalau buku-buku yang kau beli dengan rakus sebenarnya belum penting dan belum mendesak serta masih banyak tumpukan buku yang menanti terbaca di rak kayumu. Bertahun-tahun berselang, beberapa buku yang kau beli saat kerasukan itu masih belum terbaca juga, bahkan ada yang hilang dipinjam entah siapa. Acap kali menceritakan hal ini kepada teman terdekat, kau memungkasi kecelakaan tersebut dengan kalimat heroik: “… karena yang lebih penting dari pakaian raga, adalah pakaian jiwa.” Namun kau tahu jauh di dasar lubuk jiwamu kau justru menyesal karena baju dan celanamu mulai rombeng dan kekecilan di badan.