“Deskripsikan gayamu.” Ketika sampai ke
pertanyaan ini, kau perlu mencopot cermin persegi panjang di samping kirimu.
Melihat dekat-dekat seseorang yang dipantulkan kaca itu. Kau mulai
mempertanyakan diri sendiri apakah kau benar-benar pemilik tubuhmu sendiri
hanya karena kesulitan menjawab pertanyaan semacam tadi.
Selama ini kau selalu memberikan hak
perogratif untuk menilai dirimu kepada orang lain. Barangkali kau tidak mau
tampak semalang Narcissus yang bercermin di anak sungai Helicon. Pertanyaan “deskripsikan
gayamu” cukup mengusik. Kau lantas mencari-cari cara membicarakan gaya tanpa
terjebak sebagai Narcissus yang hendak kau hindari itu. Kau mungkin akan
membicarakan gaya bicara, gaya berjalan, gaya kepemimpinan, gaya renang, atau
mungkin gaya fisika alih-alih gaya berpakaian. Sebab untuk gaya yang terakhir
itu, sepengetahuanmu, engkau tidak pernah merencanakan ingin terlihat sebagai
seseorang dengan gaya tertentu di mata orang yang paling kau kenal sekalipun.
Gaya dalam ilmu fisika, didefinisikan
sebagai tarikan atau dorongan yang terjadi pada suatu benda. Gaya tersebut
menimbulkan perubahan posisi, gerak, atau perubahan bentuk benda. Tentu saja
kau pernah mengalami sensasi itu dalam selera bergaya. Memang kau pernah
melihat suatu jenis pakaian yang mempengaruhi posisimu berdiri, menggoda untuk
bergerak mendekat, lantas mengubah bentuk dirimu dalam ruang ganti. Tapi
tarikan dan dorongan itu terjadi sebagai dorongan alam bawah sadar. Preferensi dan pilihan itu muncul begitu saja
dari suatu memori yang bahkan tak kau ingat dengan sengaja.
Kau tidak punya setelan tertentu yang kau
istimewakan. Tidak pula mengikuti mode. Kau memang pernah tertarik dengan suatu
setelan tertentu, tapi itu bukan karena merk, jenis, atau karena lagi trendi;
kau memilih itu karena merasa identitasmu terwakili. Hanya sedikit pengalaman
unik di mana kau merasa ada gaya gravitasi kuat mengisapmu ke sebuah pakaian:
jaket kuning mustard, kemeja biru torquise, sesuatu berkain flanel, kaos polos
berwarna pale pink, kaos band kesayanganmu, sweater merah maroon, pakaian
bermotif tribal, serta baju yang bisa dipesan caption di dadanya.
Pernah juga kau memilih gaya berpakaian
sebagai bentuk pembelotan. Sengaja kau membeli kemeja pink yang cukup mencolok
buat lingkungan kampusmu yang sangat patriarkis. Saat itu, feminisme belum
semenjamur hari-hari ini. Beberapa kali teman-teman berkomentar sembari tertawa
kecil dengan nada usil: “hei cowo pink.”
Kau tidak ambil pusing dengan pendapat-pendapat itu. Bagimu, warna tidak punya
jenis kelamin. Dan diasosiasikan dengan sesuatu yang terlanjut berkonotasi
feminim tidak bakal menjadikanmu sebagai manusia kelas dua.
Bukannya kau tidak pernah terganggu dengan
sifat acuh tak acuhmu soal gaya. Kejadiannya sudah cukup lama sampai kau tidak
ingat itu tahun berapa. Tapi sebagai anak remaja yang masih belum bisa
mengendalikan diri di hadapan tekanan sosial, kau pernah merasa terbebani
dengan tradisi pumpun daerahmu, yakni
tradisi membeli pakaian baru buat lebaran. Kau pun disuruh orangtuamu membeli
beberapa barang buat rak baju kau yang banyak ruang kosongnya. Saat
berputar-putar di satu pusat perbelanjaan, kau sengaja mampir ke toko buku, dan
itu rupanya keputusan yang berpengaruh banyak dalam hidupmu. Matamu menyisir
satu per satu buku di etalase. Lalu dengan dorongan aneh yang barangkali kerap
bekerja dalam diri ibu-ibu di hadapan diskon Tupperware, dirimu kehilangan
kendali, keranjang belanja tiba-tiba dipenuhi buku, dan tanganmu liar mencomot
apa pun yang menyenangkan hati. Impulsifitas yang seru sekali. Kesadaranmu baru
saja kembali ketika transaksi selesai di kasir dengan napas yang tenat sekali.
“Tidak ada pumpun hari ini,” batinmu.
Uangmu terkuras habis.
Seusai itu, kau baru mahfum kalau
buku-buku yang kau beli dengan rakus sebenarnya belum penting dan belum
mendesak serta masih banyak tumpukan buku yang menanti terbaca di rak kayumu.
Bertahun-tahun berselang, beberapa buku yang kau beli saat kerasukan itu masih
belum terbaca juga, bahkan ada yang hilang dipinjam entah siapa. Acap kali menceritakan
hal ini kepada teman terdekat, kau memungkasi kecelakaan tersebut dengan
kalimat heroik: “… karena yang lebih penting dari pakaian raga, adalah pakaian
jiwa.” Namun kau tahu jauh di dasar lubuk jiwamu kau justru menyesal karena
baju dan celanamu mulai rombeng dan kekecilan di badan.
0 Komentar