Man-And-Woman-Contemplating-The-Moon-C.-1824 Caspar Friedrich

 

Makhluk misterius itu bernama ingatan. Entah kapan ia pertama kali muncul dalam otak. Ia seperti kelinci yang sekonyong-konyong keluar dari topi topper pesulap. Saya tidak tahu siapa pesulap itu. Konon ia pesulap sama yang memantrai jagad raya. Abrakadabra! Kun fayakun! Lalu langit dan bumi bercerai, organisme-organisme berkembang biak, bapak-ibu saya dijodohkan takdir, dan saya lahir bersama makhluk misterius bernama Ingatan yang entah sejak kapan muncul dalam otak saya.

 

Salah satu cara menerka usia Ingatan adalah mencari tahu apa pengalaman pertama yang bisa ia reka bersama saya. Sayangnya, tidak banyak jawaban soal itu, dan biasanya bersifat samar-samar saja. Beberapa pengalaman yang dapat direka, adalah ketika saya mengikat serbet meja di leher, memakai kolor di luar celana, berkacak pinggang, naik ke atas punggung sofa, dan berlagak seperti Superman. Saat itu saya merasa paling jagoan di seluruh dunia yang batas teritorialnya sesempit rumah kami di Mogolaing dulu. Saya versi jagoan kecil lalu berputar-putar di seisi ruang tamu lalu tak sengaja ujung ibu jari kaki kanan terjedot kaki meja. Sekejap, jagoan dalam diri saya menangis seraung-raungnya. Jagoan itu lantas pulang ke dekapan ibu sebelum menyelamatkan dunia.

 

Demikianlah Ingatan bercerita kepada saya dengan terbahak-bahak, pipi saya jadi merah karenanya. Ketika saya tanya pengalaman lain, Ingatan agak ragu. Ia lalu menyebut beberapa: soal kedatangan Bapak yang tiba-tiba rambutnya menjadi hitam padahal sebelumnya putih total, bermain pedang warna-warni bersama kedua kakak yang menyebabkan saya dipanggil Tyo, juga kebiasan kakak pertama yang suka tidur dengan gaya cicak bernama Freza di film Dragon Ball. Kebanyakan peristiwa yang bisa direka ulang berasal dari rumah nenek di Mogolaing, tempat tinggal bapak ibu sebelum bisa membeli rumah baru.

 

Kadang-kadang Ingatan bisa menjadi sangat tak tertebak. Ia bisa menjadi tumpukan kartu yang sudah terkocok sehingga kita tidak tahu cerita apa yang akan muncul di sana. Ia bekerja dengan cara yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Bila meninjau masa lalu, Ingatan tiba-tiba sampai ke Bolangitang tempat saya melalui masa TK. Di depan rumah, saya tampak menggali tanah. Lalu adegan yang direka Ingatan berpindah ke depan rumah kakek di Motongkad, lalu adegan bergeser ke ulang tahun saya entah ke berapa di mana saya memakai celana pendek warna hijau fern.

 

Ada saat-saat di mana Ingatan sangat sedih. Ia menjadi sangat tertutup kepada saya. Acap saya hendak menepuk bahunya, tangannya melerai. Lalu sekilas saya melihat segaris luka di tubuhnya. Ingatan lalu menjadi asing bagi saya. Sifat tertutup itu beberapa kali tiba pukul dua malam yang tak hujan. Pernah saya menatap mata Ingatan: warnanya temaram, sedikit lindap. Satu-satunya bahasa yang bisa Ingatan pahami dalam saat-saat begitu cuma air mata. Ada keinginan dalam diri saya untuk mendekap Ingatan, lalu berkata tepat di matanya: “Laki-laki jauh lebih kuat dari air mata.” Tapi setelah berpikir singkat, saya urungkan niat itu. Dalam satu titimangsa petualangan hidup, barangkali kita memang perlu merayakan kesedihan dengan cara sejujur-jujurnya. Dan itu tidak apa-apa. Sama sekali tidak apa-apa.

 

Belakangan ini, Ingatan sudah baik-baik saja. Keramahan di pipinya sudah kembali. Ia seolah-olah dialhirkan kembali, menjadi makhluk yang sama sekali baru. Tapi kutahu, dia masih Ingatan yang sama yang kukenal. Di satu malam pukul dua di mana hujan tidak turun, saya memberanikan diri bicara.

 

“Aku senang, kau sudah baik-baik saja sekarang. Pasti sulit melupakan hal-hal yang bahkan tak dapat kau bicarakan itu.”

 

“Memang sulit untuk menjadi baik-baik saja seperti sekarang,” Ingatan membalas tanpa menengok saya sama sekali. “Tapi lebih sulit untuk melupakan.”

 

Lalu saya tercenung. Masih tidak mengerti apa maksudnya. Beberapa detik kemudian, Ingatan mengangkat wajahnya, menatap mata saya dengan mata seterang bulan. “Lupa adalah luka.” Saya mengulang kalimatnya dalam benak: “Lupa adalah luka bagi Ingatan.” Suasana kemudian menjadi bisu kembali. Pelan-pelan, suara loteng berderap kecil. Hujan akhirnya turun dan percakapan singkat tadi seolah-olah ikut menguap bersama aroma tanah yang bangkit pada jam dua malam yang rintik-rintik ini. Sekilas, di tengah orkestrasi hujan dan denting loteng di luar kamar, saya lihat ada senyum tipis yang sedikit mekar di pipi Ingatan. Saya masih tidak mengerti dia. Ingatan adalah makhluk yang misterius. Dan itu tidak apa-apa. Sama sekali tidak apa-apa.