franz-marc-the-bewitched-mill-1913-oil-on-canvas-art-institute-of-E64W4F


Estimasi membaca: 5 menit.

Sudah dua tahun saya rutin menulis. Mulanya saya dengar W bicara soal kaizen dan flow, dua konsep tentang melakukan apa yang kita mau dan membikin bahagia. Saya tidak menemukan banyak contoh tentang kegemaran itu selain dari menulis. Menulis seperti upaya merapikan kembali rak-rak kesadaran, melegakan hati, dan meluruskan benang-benang pikiran yang semrawut dalam kepala.

 

Saya kagum dengan mereka yang mempertaruhkan modal waktu yang tak akan kembali itu untuk menulis. J. D. Salinger mendedikasikan keterasingannya semata untuk menulis, Raditya Dika menulis satu halaman setiap harinya, Ryan Holiday menulis lima ratus kata per hari, Stephen King menulis seribu kata setiap hari, Haruki Murakami menjadikan menulis menjadi ritual kedua setelah marathon pagi hari.

 

Menulis, kata teman dekat saya, adalah kerja-kerja peradaban. Bila bajak adalah perpanjangan otot, teleskop adalah perpanjangan mata, maka tulisan, menurut Borges, merupakan perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Peradaban dibangun dan mengalami akselarasi dari sana. Dengan itu, kadang saya melihat rak-rak buku di perpustakaan seperti taman pemakaman yang berusaha mengekalkan sukma ingatan manusia-manusia yang telah (dan kelak bakal) tiada jasadnya.

 

Bagi saya menulis seperti meditasi. Ia kerja sunyi. Bila pikiran saya adalah perempatan Simpang Dago yang riuh, dan emosi seperti badai hujan yang membikin panel surya kehilangan energi serta lampu perempatan kacau balau warnanya, maka menulis bekerja seumpama polisi lalu lintas yang turun tangan menertibkan kekacauan jalanan yang rawan kecelakaan pikiran itu. Hidup yang damai dan tenang bagi saya seperti petualangan dari satu kertas putih ke kertas putih lain yang telah terisi kata-kata.

 

Dua tahun belakangan, saya kerap ketemu dengan situasa di mana berdiri tembok raksasa dalam kepala yang mengahalangi jemari dengan ide yang hendak dituangkan. Orang-orang menyebut ini writerblock. Saya sepakat dengan Seth Godin, itu hanya mitos. Setelah saya pikir-pikir, kita sebenarnya tidak mengalami writerblock, kita hanya takut aktivitas menulis tidak seseru yang pernah kita alami atau ketakutan kalau tulisan bakal tidak disukai.

 

Soal terakhir itu, saya mengalaminya baru-baru ini. Sejak awal bulan, saya mengikuti tantangan tiga puluh hari menulis dari Andina Dwifatma, dosen komunikasi di UAJ. Sejak tulisan pertama saya bagikan ke twitter, seorang teman sudah mengingatkan kalau ada risiko berhenti di tengah jalan. Dua puluh hari pertama, semua berjalan dengan baik. Saya bisa menikmati aktivitas menulis. Menulis adalah aktivitas pertama saya setelah bangun tidur. Tapi ritme itu berantakan ketika tiba hari ke-21: tema yang mesti ditulis berkenaan dengan cinta. Saya kesulitan menulis tentangnya. Itu tema yang terlalu besar bagi saya, dan saya tidak tega untuk mengkonversi topik sesakral itu hanya untuk satu hari, saya enggan menulis tentang itu tanpa melalui proses pengendapan maupun refleksi berlarut-larut. Saya tidak mau menjadi satu dari banyak orang yang membicarakannya dengan murah dan tanpa penghormatan.

 

Demikianlah tantangan menulis itu terputus. Keasyikan dua puluh hari pertama berhenti setelah terbentur oleh cinta. Tak dinyana, benturan itu berlangsung secara kontinyu, tantangan hari ke-22, 23, 24, dan 25, pun terbengkalai. Dan itu hanya terjadi karena ada ritme kebiasaan yang terputus di tengah jalan. Saya tentu berusaha menulis, tapi saya merasakan kembali sensasi writerblock itu. Saya mulai bertanya-tanya: masih perlukah saya melanjutkan tulisan yang sudah terpotong di tengah jalan ini? Apakah saya tidak punya komitmen yang kuat? Ataukah saya terlalu perfeksionis?

 

Tulisan yang dibuat Aan Mansyur untuk Bernard Batubara muncul dalam pikiran saya. Penyair dari Makassar itu menasihati Bernard Batubara yang terlalu produktif. Produktifitas, kata Aan, dapat mengikis daya gugah tulisan. Saya merasakan betul. Hari-hari pertama menyelesaikan tantangan menulis, saya merasa energi yang berlimpah ruah seperti ada matahari dalam dada saya. Mendekati hari-hari ke-20, energi terserap banyak. Repetisi memang baik buat kerja produktif, tapi tulisan yang butuh pendekatan dan upaya main-main yang berbeda, butuh kekacauan aturan dan kenakalan-kenakalan dalam memperlakukan aturan. Dua puluh hari pertama saya masih merasa bisa bertahan, hari ke-21 seperti sebalok zenga yang mengusik keseimbangan balok-balok yang tersusun rapi di bawahnya. Tantangan itu pun ambrol.

 

Untuk lima hari, saya merasa kehilangan tenaga, merasa tidak lagi punya alasan untuk menyelesaikan tantangan 30 hari menulis ini. Saya memikirkan banyak hal. Saya merasa marah karena menulis hanya untuk memenuhi suatu tantangan, saya teralihkan dari motivasi awal menulis: buat berbahagia semata-mata, tanpa syarat yang muluk-muluk. Selama lima hari yang singkat tapi terasa nyaris selamanya itu, setiap paragraf awal yang tertulis hanya membuat saya menggerutu kepada diri sendiri karena tidak menyukai yang saya tulis. Saya lupa, kalau tujuan saya memang hanya menulis. Saya hanya ingin menulis, dan saya mestinya tidak peduli baik atau buruknya tulisan itu. Kemudian terasa ada duri yang tercabut dari sesuatu dalam diri saya yang entah apa; saya memutuskan melanjutkan tantangan tersebut.

 

Ini adalah tulisan terakhir untuk tantangan 30 hari menulis itu. Temanya sederhana, tentang bagaimana saya menulis. Dan dengan berbekal energi bawah sadar, saya menulis pengalmaan saya tentang menulis tantangan 30 hari menulis ini serta beberapa fragmen pemikiran saya soal menulis. Tantangan-tantangan seperti ini baik untuk melatih sudut pandang kita menyusun narasi dan bangunan logika. Bagi saya pribadi, pengalaman ini menolong saya untuk mempertanyakan kembali alasan menulis dan pentingnya menyukai anak-anak rohani (sebutan Pram terhadap tulisan-tulisannya) kita apa adanya, mencintai seluruh kelemahan pun kelebihan yang meliputi tulisan kita. Saya tidak bisa menyelesaikan tantangan 30 hari ini dengan ekspektasi awal. Tapi setidaknya, saya merasa perlu menyelesaikannya dengan baik daripada mengacir begitu saja.

 

Oh ia, sepanjang proses penulisan ini, saya menyadari betapa pentingnya waktu. Kata teman baik saya, itu aset yang tak akan pernah kembali. Saya juga mahfum kalau hidup terlalu pendek dan manusia selalu punya perhatian yang terbatas. Sebagai bentuk penghargaan terhadap waktu yang lebih dari kata mahal itu, saya mulai membiasakan diri memakai prakiraan waktu yang diperlukan untuk membaca. Saya memakai situs https://niram.org/read/ untuk mengakumulasi estimasi membaca itu.

 

Untuk yang mau mengunjungi kolom jenis ini, saya pribadi berterima kasih karena sudah mau menukar waktu berharga Anda dengan tulisan ini. Saya berusaha sebaik-baiknya menulis ini dengan personal, agar kelak bila kita ketemu, saya harap kita sudah memangkas waktu berbasa-basi dengan topeng sosial kita masing-masing. Bila kita dikaruniai umur panjang dan kesehatan yang nikmat, semoga di depan secangkir kopi atau teh, saya diberi kesempatan untuk menyimak cerita-cerita Anda. Terima kasih banyak!