Estimasi membaca: 5 menit.
Sudah dua tahun saya rutin menulis.
Mulanya saya dengar W bicara soal kaizen dan flow, dua konsep tentang melakukan
apa yang kita mau dan membikin bahagia. Saya tidak menemukan banyak contoh
tentang kegemaran itu selain dari menulis. Menulis seperti upaya merapikan
kembali rak-rak kesadaran, melegakan hati, dan meluruskan benang-benang pikiran
yang semrawut dalam kepala.
Saya kagum dengan mereka yang mempertaruhkan
modal waktu yang tak akan kembali itu untuk menulis. J. D. Salinger mendedikasikan
keterasingannya semata untuk menulis, Raditya Dika menulis satu halaman setiap
harinya, Ryan Holiday menulis lima ratus kata per hari, Stephen King menulis
seribu kata setiap hari, Haruki Murakami menjadikan menulis menjadi ritual
kedua setelah marathon pagi hari.
Menulis, kata teman dekat saya, adalah
kerja-kerja peradaban. Bila bajak adalah perpanjangan otot, teleskop adalah
perpanjangan mata, maka tulisan, menurut Borges, merupakan perpanjangan ingatan
dan imajinasi manusia. Peradaban dibangun dan mengalami akselarasi dari sana.
Dengan itu, kadang saya melihat rak-rak buku di perpustakaan seperti taman
pemakaman yang berusaha mengekalkan sukma ingatan manusia-manusia yang telah (dan
kelak bakal) tiada jasadnya.
Bagi saya menulis seperti meditasi. Ia
kerja sunyi. Bila pikiran saya adalah perempatan Simpang Dago yang riuh, dan
emosi seperti badai hujan yang membikin panel surya kehilangan energi serta
lampu perempatan kacau balau warnanya, maka menulis bekerja seumpama polisi
lalu lintas yang turun tangan menertibkan kekacauan jalanan yang rawan
kecelakaan pikiran itu. Hidup yang damai dan tenang bagi saya seperti
petualangan dari satu kertas putih ke kertas putih lain yang telah terisi
kata-kata.
Dua tahun belakangan, saya kerap ketemu
dengan situasa di mana berdiri tembok raksasa dalam kepala yang mengahalangi
jemari dengan ide yang hendak dituangkan. Orang-orang menyebut ini writerblock. Saya sepakat dengan Seth
Godin, itu hanya mitos. Setelah saya pikir-pikir, kita sebenarnya tidak
mengalami writerblock, kita hanya
takut aktivitas menulis tidak seseru yang pernah kita alami atau ketakutan
kalau tulisan bakal tidak disukai.
Soal terakhir itu, saya mengalaminya
baru-baru ini. Sejak awal bulan, saya mengikuti tantangan tiga puluh hari
menulis dari Andina Dwifatma, dosen komunikasi di UAJ. Sejak tulisan pertama
saya bagikan ke twitter, seorang teman sudah mengingatkan kalau ada risiko
berhenti di tengah jalan. Dua puluh hari pertama, semua berjalan dengan baik.
Saya bisa menikmati aktivitas menulis. Menulis adalah aktivitas pertama saya
setelah bangun tidur. Tapi ritme itu berantakan ketika tiba hari ke-21: tema
yang mesti ditulis berkenaan dengan cinta. Saya kesulitan menulis tentangnya.
Itu tema yang terlalu besar bagi saya, dan saya tidak tega untuk mengkonversi topik
sesakral itu hanya untuk satu hari, saya enggan menulis tentang itu tanpa
melalui proses pengendapan maupun refleksi berlarut-larut. Saya tidak mau
menjadi satu dari banyak orang yang membicarakannya dengan murah dan tanpa
penghormatan.
Demikianlah tantangan menulis itu
terputus. Keasyikan dua puluh hari pertama berhenti setelah terbentur oleh
cinta. Tak dinyana, benturan itu berlangsung secara kontinyu, tantangan hari
ke-22, 23, 24, dan 25, pun terbengkalai. Dan itu hanya terjadi karena ada ritme
kebiasaan yang terputus di tengah jalan. Saya tentu berusaha menulis, tapi saya
merasakan kembali sensasi writerblock itu.
Saya mulai bertanya-tanya: masih perlukah saya melanjutkan tulisan yang sudah
terpotong di tengah jalan ini? Apakah saya tidak punya komitmen yang kuat?
Ataukah saya terlalu perfeksionis?
Tulisan yang dibuat Aan Mansyur untuk
Bernard Batubara muncul dalam pikiran saya. Penyair dari Makassar itu
menasihati Bernard Batubara yang terlalu produktif. Produktifitas, kata Aan,
dapat mengikis daya gugah tulisan. Saya merasakan betul. Hari-hari pertama
menyelesaikan tantangan menulis, saya merasa energi yang berlimpah ruah seperti
ada matahari dalam dada saya. Mendekati hari-hari ke-20, energi terserap
banyak. Repetisi memang baik buat kerja produktif, tapi tulisan yang butuh
pendekatan dan upaya main-main yang berbeda, butuh kekacauan aturan dan kenakalan-kenakalan
dalam memperlakukan aturan. Dua puluh hari pertama saya masih merasa bisa
bertahan, hari ke-21 seperti sebalok zenga yang mengusik keseimbangan
balok-balok yang tersusun rapi di bawahnya. Tantangan itu pun ambrol.
Untuk lima hari, saya merasa kehilangan
tenaga, merasa tidak lagi punya alasan untuk menyelesaikan tantangan 30 hari
menulis ini. Saya memikirkan banyak hal. Saya merasa marah karena menulis hanya
untuk memenuhi suatu tantangan, saya teralihkan dari motivasi awal menulis:
buat berbahagia semata-mata, tanpa syarat yang muluk-muluk. Selama lima hari
yang singkat tapi terasa nyaris selamanya itu, setiap paragraf awal yang
tertulis hanya membuat saya menggerutu kepada diri sendiri karena tidak
menyukai yang saya tulis. Saya lupa, kalau tujuan saya memang hanya menulis.
Saya hanya ingin menulis, dan saya mestinya tidak peduli baik atau buruknya
tulisan itu. Kemudian terasa ada duri yang tercabut dari sesuatu dalam diri
saya yang entah apa; saya memutuskan melanjutkan tantangan tersebut.
Ini adalah tulisan terakhir untuk tantangan
30 hari menulis itu. Temanya sederhana, tentang bagaimana saya menulis. Dan
dengan berbekal energi bawah sadar, saya menulis pengalmaan saya tentang
menulis tantangan 30 hari menulis ini serta beberapa fragmen pemikiran saya
soal menulis. Tantangan-tantangan seperti ini baik untuk melatih sudut pandang
kita menyusun narasi dan bangunan logika. Bagi saya pribadi, pengalaman ini
menolong saya untuk mempertanyakan kembali alasan menulis dan pentingnya
menyukai anak-anak rohani (sebutan Pram terhadap tulisan-tulisannya) kita apa
adanya, mencintai seluruh kelemahan pun kelebihan yang meliputi tulisan kita.
Saya tidak bisa menyelesaikan tantangan 30 hari ini dengan ekspektasi awal.
Tapi setidaknya, saya merasa perlu menyelesaikannya dengan baik daripada mengacir begitu saja.
Oh ia, sepanjang proses penulisan ini,
saya menyadari betapa pentingnya waktu. Kata teman baik saya, itu aset yang tak
akan pernah kembali. Saya juga mahfum kalau hidup terlalu pendek dan manusia
selalu punya perhatian yang terbatas. Sebagai bentuk penghargaan terhadap waktu
yang lebih dari kata mahal itu, saya mulai membiasakan diri memakai prakiraan
waktu yang diperlukan untuk membaca. Saya memakai situs https://niram.org/read/ untuk mengakumulasi
estimasi membaca itu.
Untuk yang mau mengunjungi kolom jenis
ini, saya pribadi berterima kasih karena sudah mau menukar waktu berharga Anda
dengan tulisan ini. Saya berusaha sebaik-baiknya menulis ini dengan personal,
agar kelak bila kita ketemu, saya harap kita sudah memangkas waktu berbasa-basi
dengan topeng sosial kita masing-masing. Bila kita dikaruniai umur panjang dan
kesehatan yang nikmat, semoga di depan secangkir kopi atau teh, saya diberi
kesempatan untuk menyimak cerita-cerita Anda. Terima kasih banyak!
0 Komentar