Saya anak ketiga dari tiga bersaudara.
Tidak ada perempuan. Salah satu ingatan terjauh yang bisa saya jangkau, saya
sering dijahili mereka berdua. Mungkin saat itu usia saya empat tahun. Di rumah
Mogolaing, saya sering ditakut-takuti dengan hantu. Kalau kami bertiga pergi ke
Paris, saya selalu ditinggal. Di Bolangitang, saya sering sekali dijitak dan
diasingkan. Setiap kali kejadian seperti itu, satu-satunya kekuatan saya cuma menangis
sampai akhirnya bapak ibu datang membela saya dengan menjerkah kedua kakak
seperti polisi india. Beranjak dewasa saya baru tahu kalau kedua kakak saya
cemburu karena cinta orang tua harus dibagi menjadi tiga, dan karena saya anak
bungsu, cinta itu banyak dialokasikan ke saya.
Waktu kecil, saya kesal sekali dengan film
Kera Sakti. Saya tidak suka urutan kakak pertama, kedua, dan ketiga. Saya anak
ketiga dan kamu mungkin tidak asing lagi siapa kakak ketiga itu.
Meskipun begitu, kedua orang itu saya
kagumi. Sebagai anak bungsu yang masih kecil sekali, satu-satunya sumber
belajar saya hanya kedua kakak. Mereka sekolah pertama saya. Apa yang mereka
suka akan saya ikuti. Mereka suka nonton kartun, saya ikutan. Mereka suka
Dragon Ball, Satria Baja Hitam, sampai Final Fantasy, saya juga ikut. Mereka
sekolah di SMP 1, saya ikut juga. Saya berhenti mengikuti jejak mereka ketika
beranjak SMA. Mereka berdua melanjutkan SMA di suatu pesantren Gorontalo, dan
karena saya tidak mau kekangan, saya gugurkan kesempatan ke tempat yang sama.
Kakak yang sulung, sebut saja W, adalah
orang yang lihai matematika. Ia lebih suka bahasa yang tuhan pakai sewaktu
mencipta semesta, barangkali menurutnya, bahasa manusia sudah berlumur
prasangka dan dusta. Memang menurut seorang psikolog yang saya lupa namanya,
bahasa diciptakan supaya kita bisa berbohong. W bukan tidak ingin mencari
kebohongan-kebohongan itu dalam perjalanannya, ia tetap setia pada matematika
sebagaimana ia ingin setia pada kebenaran.
Karena kedekatannya dengan matematika, ia
menjadi orang yang sangat teliti. Saya pernah melihat ia membikin Excel untuk
mendaftar pakaian-pakainnya. Dalam soal menjaga kerapian barang-barangnya, W
sudah tidak diragukan lagi. Ia barangkali seperti pemeran Death Note yang tahu
persis letak semua debu di kamarnya.
Saya tahu Dota dari dia. Dan dia juga
nyaris kena DO dari Institut Teologi Bandung gara-gara keasyikan main Dota.
Saya bersyukur tidak ikut-ikutan menyukai Dota karena sudah dipastikan saya
pasti akan ketagihan karena butuh waktu lama untuk menguasai kompleksitas
permainan itu.
Bila W menyukai film serial, Z sendiri,
kakak kedua saya, lebih suka kartun. Sejak kecil ia senang dengan Dragon Ball.
Ia bahkan pernah membeli gantungan kunci berupa tujuh buah naga yang setelah
dia pikir-pikir ternyata buang-buang uang saja. Kegemaran pada Dragon Ball menginspirasi
ia untuk menggambar, sebuah bakat yang diturunkan secara genetis dari Ibu.
Waktu kecil ia pernah membuat komik. Z dan W berbagi tugas: Z bertugas
menggambar kartun dan W dengan ketelitiannya yang minta ampun memperbaiki
objek-objek kecil seperti pegunungan, awan gemawan, dan bagan-bagan komik.
Mereka pun menjual hasil karya itu di sekolah. Tugas saya sendiri apa?
Mengamati mereka dengan kekaguman yang asing dengan mulut yang dimerotkan.
Z kuliah di universitas yang sama dengan
W. W memilih jadi junior Soekarno di teknik sipil, sedangkan Z berbekal membuat
komik sewaktu kanak-kanak, memilih arsitek sebagai junior Ridwan Kamil. Arsitek
membantu mata Z untuk lebih teliti dan presisi melatih bakat menggambarnya. Ia
pun berujung sebagai tukang desain gambar alih-alih mempraktikkan ijazahnya.
Dalam soal spritualitas, kedua orang itu
aneh sekali. W pernah kerasukan karena mempraktikkan meditasi. Fokusnya adalah
membuka chakra mahkota. Saya baru tahu dari dia kalau meditasi itu bisa
dilakukan di mana saja kapan pun kita mau. Selama ini saya kira meditasi harus
dilakukan di satu tempat dalam ruang gelap dengan jari jemari berakrobat
membentuk simbol-simbol aneh. Pada prinsipnya, kata W, meditasi bisa dilakukan
di mana saja selama kita bisa mengosongkan pikiran. Ketika lagi berjalan sambil
mengosongkan pikiran, ia pernah dihipnotis orang dan kerasukan kuntilanak dari
suatu pohon di Bandung. Kebiasaan ketemu makhluk astral seperti itu masih
berlanjut di Bolaang Mongondow.
Z sendiri pernah hampir gagal lulus karena
mengambil dua mata kuliah agama sekaligus, Islam dan Buddha. Ia memang agak
mirip dengan Frithjof Chapra, suka kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno yang
menurut saya sudah terlalu kuno untuk disebut kebenaran. Meskipun begitu,
sangat menenangkan sebagai laku hidup. Pernah waktu saya SD atau SMP saya bertanya
kenapa dia jarang salat, dengan mata yang tajam ia menjawab: “Saya tidak akan
salat kalau tidak fokus. Bagi saya, salat yang khusyuk lebih baik daripada
salat tapi pikiran tidak konsentrasi.” Argumen itu pun sering saya pakai sebagai
pembenaran kalau saya lagi bosan beribadah.
0 Komentar