Winged of Victory Samothrace

 

Museum Louvre, Prancis. Saya ingin mencecah tanah yang sama di mana tempat itu didirikan. Tempat itu berkelabat cepat di otak saya acap kali soal tentang destinasi favorit ditanyakan. Bila dragon ball ada di dunia nyata, saya akan berlutut di depan naga ajaib itu dan hanya akan meminta diizinkan pelesir ke Prancis. Dalam fantasi saya, Prancis seperti Mekkah dan Louvre tak ubahnya Kakbah. Saya tidak masalah tidak pernah digelari “haji” kalau gelar itu bisa ditukar dengan kesempatan ke sana.

 

Saya bayangkan ketibaan saya disambut Lamassu, makhluk serupa Sphinx yang hidup sekitar tahun 3000-an SM di peradaban kuno Assyria. Dua artefak Lamassu berdiri di kiri kanan koridor. Di tengah koridor, sebelum kaki mencapai ruang lain, saya diam-diam berharap Lamassu menyapa saya dengan suara berat dan berwibawa, atau mengajak saya bermain teka-teki seperti dalam perjumpaan Oedipus dan Sphynx,

 

Benda pertama yang ingin saya lihat langsung tanpa perantara internet sama sekali, adalah lukisan Monalisa, karya misterius Leonardo da Vinci yang kesohor itu. Lukisan itu dijaga ketat oleh pengawal serta dilapisi kaca anti peluru. Pernah dicuri meskipun akhirnya dikembalikan lagi dua tahun kemudian, membuat manajemen museum meperketat penjagaan. Tapi saya berusaha mendekati senyum Monalisa dengan jarak terdekat yang saya bisa. Senyum tipis yang tidak tampak tulus. Ketidaktulusan itu bisa dibaca lewat mikro ekspresi Monalisa yang tak menunjukkan kerutan di ujung garis mata. Kontradiksi antara senyum dan ekspresi mata menciptakan kesan enigmatik yang meliputi mitos Monalisa. Sosok dalam lukisan itu pun mulai dikelilingi gosip-gosip aneh. Beberapa berkata bahwa ia hanya sosok fiksi, ada yang bilang ia tokoh nyata, yang paling aneh adalah tudingan kalau Monalisa merupakan proyeksi homoseksualitas Leonardo da Vinci.

 

Monalisa memang santer sebagai pemeran utama Louvre; ia pemenang perhatian di antara 7.500 lukisan yang menghuni dinding museum itu. Tapi ia bukan satu-satunya yang menarik. Lukisan lain yang menagih rasa penasaran adalah mahakarya Eugéne Delacroix, La Liberté Guidant le Peuple (Kebebasan yang Menuntun Rakyat). Lukisan itu lahir pada abad Romantis, periode sejarah paling puitis di Eropa, diciptakan demi mengekalkan barikade perlawanan dalam Revolusi Juli 1830 (dalam lukisan itu kita bisa melihat sang pelukis mengenakan setelan hitam dan topi tinggi di samping kiri perempuan). Lukisan lain yang terlalu penting buat dilewatkan ada Wedding at Cana, ilustrasi dari sebuah kisah dalam Injil, juga La Grande Odalisque yang kontroversial, dan The Raft of Medussa.

 

Eugène_Delacroix --- Le_28_Juillet._La_Liberté_guidant_le_peuple


Memang sebelum memasuki Louvre, saya sudah mempersiapkan rencana tentang lukisan dan benda bersejarah apa saja yang harus saya datangi. Konon katanya, butuh waktu seratus hari untuk bisa melihat segala harta karun di museum itu. Dan saya tidak punya banyak waktu.

 

Di Louvre, aroma sejarah menebal. Sekelabat, ada bayang-bayang peperangan, seperti hantu yang menembus dinding demi dinding ruangan. Museum ini pada mulanya adalah benteng yang didirikan tahun 1190. Ada suara parit, orang-orang berseru dari menara pertahanan, dan penjara dijejali musuh-musuh kekuasaan. Benteng ini lantas menjelma jadi istana kerajaan lima ratus tahun lalu, kemudian pada 1793, kerajaan berpindah ke Versailes dan Louvre untuk pertama kali menjelma sebagai museum meski hanya memiliki 537 lukisan. Ketika Perang Dunia II meletus, museum itu menjadi tempat Nazi menyimpan benda seni curian.

 

Louvre seolah-olah ingin menjadi album ingatan sejarah manusia. Bukan hanya lukisan, banyak mural, patung, dan benda-benda historis yang tinggal di sana. Salah satu yang magis adalah The Winged Victory of Samothrace, patung marmer berbusana kemenangan dan sayap di punggungnya. Itu adalah patung berusia 2.200 tahun yang banyak mempengaruhi dunia seni Barat. Ada juga teks hukum Hammurabi (Hammurabi Code), kitab hukum tertulis pertama dalam sejarah, di mana harga nyawa masih sepantar dengan nyawa, mata masih sepadan dengan mata. Saya ingin meraba kontur kitab itu kalau bisa. Saya ingin mengepit satu saja halaman buku itu, mengkhidmati bahwa tangan saya lagi menyentuh sesuatu yang pernah disentuh jemari Hammurabi tiga ribu tahun lalu.

 

Saya bayangkan, kalau punya kesempatan, cukup hal-hal itu saja yang ingin saya ketemui di Louvre. Selebihnya, besok pun saya mati tidak apa-apa. Di luar, saya melambaikan tangan pada pyramid Pei, salah satu landmark ikonik kota Paris. Piramid itu juga pernah memicu polemik hanya karena arsiteknya bukan asli bangsa Prancis. Prancis memang bangsa yang suka membangga-banggakan diri dan suka ngomong hal-hal besar. Sikap yang agak Machiavelistis itu pernah dicibir Joseph Colucci atau Coluche: “Tahukah Anda mengapa orang Prancis memilih ayam jago sebagai simbol nasionalnya? C’est parce que c’est le seul oiseau qui arrive à chanter les pieds dans la merde! Karena ayam jago adalah satu-satunya unggas yang mampu bernyanyi pada saat kakinya terbenam tahu!” Lalu saya bayangkan mereka yang mengkritik pyramid Pei seperti orang-orang yang sibuk menghujat pada saat kaki mereka terbenam di tahi.

 

Setelahnya saya masih ingin jalan-jalan di Prancis. Masih banyak situs yang ingin saya datangi. Saya ingin nangkring di kafe tempat Camus, Sartre, dan Simone berdiskusi, berfoto di tempat yang muncul dalam film Before Sunset (2004), dan kalau waktunya tepat, saya ingin main ke festival Canes. Petang hari akan saya habiskan dengan khusyuk di di padang lavender di Provance, pedesaan yang digemari Picasso dan Matisse.

 

Saya tidak tahu sejak kapan saya mau ke Louvre khususnya dan Prancis umumnya. Tapi, fantasi itu sudah berurat akar dalam hasrat saya. Itu keinginan tertinggi saya untuk saat ini. Meskipun begitu, diam-diam saya takut bila suatu hari yang beruntung saya bisa mengambil kesempatan ke sana, saya akhirnya akan kehilangan fantasi itu selamanya. Saya tidak tahu dari siapa, tapi seseorang pernah bilang kalau sesuatu hanya tampak cantik bila dipandang dari jarak yang amat jauh. Saya tidak mau fantasi saya raib, saya masih ingin mengingat Prancis dan Louvre sebagai sesuatu yang asing dan magis dalam khayalan saya. Dan saya takut, kesempatan untuk mewujudkannya hanya bakal menghanguskan imaji saya, menyebabkan saya mengalami situasi kebatinan yang disebut Zĭzek sebagai kemiskinan hasrat—ketika kita menderita karena tidak lagi punya fantasi.