Expectation--1905-09-large Gustav Klimt

Estimasi baca: 5 menit.

Kuba bukan negara komunis pertama yang dikunjungi Hans Rosling dalam pengalamannya sebagai sukarelawan kesehatan global. Ia pernah tinggal dan bekerja di Mozambik juga, sehingga ia pergi ke Kuba dengan rasa ingin tahu besar tapi tanpa gagasan romantis apa pun, dan tidak akan mengembangkannya selama meski pernah ketemu presiden Fidel Castro beberapa kali di sana. Tujuan utama Rosling adalah meneliti epidemi misterius yang meneror masyarakat setempat.

 

Satu tahun setelah purna tugasnya, ia pun diundang ke Havana untuk memaparkan di depan Kementrian Kesehatan tentang “Kesehatan Kuba dalam perspektif global”. Pemerintah Kuba saat itu, dengan bantuan pemerintah Venezuela, mendapatkan kembali kemampuan menyediakan bahan pangan bagi rakyat Kuba. Hans Rosling lantas memaparkan data dengan warna-warni menarik beserta gelembung-gelembung yang dapat dengan mudah dimengerti awam sekalipun.

 

Kuba memiliki angka kemampuan bertahan hidup anak yang sama tingginya dengan Amerika Serikat, sedangkan untuk pendapatan hanya seperempatnya saja. Menteri Kesehatan langsung mendatangi Hans Rosling begitu ia menyelesaikan pemaparannya lantas sekonyong-konyong menyimpulkan: “Berarti kami bangsa Kuba adalah bangsa paling sehat di antara bangsa-bangsa miskin,” katanya, tanpa ekspresi risi sama sekali. Semua yang hadir bertepuk tangan dan seperti itulah akhir sesi tersebut.

 

Namun tidak hanya itu pesan yang ditangkap oleh semua orang dari presentasi Hans Rosling. Ketika menuju ruang istirahatnya, sesosok anak muda dengan sopan memegang lengannya untuk pelan-pelan mengajak ia menjauh dari rombongan, sembari menerangkan kalau ia ikut menyusun statistik kesehatan. Kemudian ia mendekatkan kepalanya lantas berbisik, “Data Anda benar, tetapi kesimpulan Pak Menteri salah besar.” Ia memandangi Rosling seolah-olah itu sebuah pertanyaan, tetapi setelah itu ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Kami bukan yang paling sehat di antara negara-negara miskin, kami paling miskin di antara negara-negara yang sehat.”

 

Hans Rosling mengetengahkan cerita tersebut ketika mengemukakan naluri manusia akan perspektif tunggal. Kita suka mengambil kesimpulan dari perspektif yang menguntungkan kita saja. Lebih lanjut dari itu, Rosling hendak menyatakan kalau kita mesti menguji selalu gagasan-gagasan yang tertanam dalam kepala kita, menyadari keahlian kita yang terbatas, menyadari bahwa kita adalah anak yang memiliki palu yang melihat segalanya seperti paku sebagaimana ujar Mark Twain, mengevaluasi kembali penilaian intuitif kita terhadap angka-angka, dan senantiasa berhati-hati dengan gagasan-gagasan sederhana dan solusi-solusi sederhana.

 

Untuk yang terakhir itu, Nassim Taleb barangkali akan sangat bersepakat. Keinginan mesin penalaran kita yang mau segalanya cepat-cepat dan serba intuitif, membuat kesimpulan bisa menjadi gegabah di hadapan kebenaran. Dalam Black Swan, Taleb hendak memunggah irasionalitas kita, ia pun memberi pernyataan: “hampir semua teroris adalah muslim” dengan “hampir semua muslim adalah teroris” yang identik tapi sebenarnya berbeda. Andaikan pernyataan pertama benar, bahwa 99 persen teroris adalah muslim, ini akan mengandung arti bahwa hanya sekitar 0,001 persen muslim adalah teroris. Sebab jumlah muslim lebih dari satu miliar dan teroris yang ada katakanlah hanya sepuluh ribuan orang, jadi satu dalam seratus ribu orang. Maka, kesalahan nalar menyebabkan kita (secara tidak sadar) membuat taksiran berlebihan atas kemungkinan acak seorang muslim (dalam kelompok usia, katakanlah, 15 hingga 50 tahun) menjadi teroris sampai mendekati 50 ribu kali angka sesungguhnya!

 

Ini kekeliruan yang disebut Taleb sebagai round-trip fallacy (kekeliruan putar-balik atau kata orang Sulawesi Utara, putar bale). Ketidakmampuan membedakan dua proposisi yang terkesan mirip namun mengandung makna yang berlainan sama sekali, bakal menyeret kita ke banyak kekeliruan. Salah satu kekeliruan paling berpengaruh yang menghantam dunia naturalisme barangkali adalah asumsi lama kalau angsa hitam itu tidak ada. Ilmuwan-ilmuwan zaman silam memang tidak pernah menemukan bukti bahwa angsa hitam itu eksis, dan dengan terburu-buru mereka menarik konklusi: “berarti angsa hitum itu tidak ada!” Abad ke-17, angsa hitam pun ditemukan, dan masyarakat ilmiah menelan pil pahit dari kesembronoan mereka. Taleb pun mengingatkan kita soal putar bale yang pernah diidap ilmuwan zaman silam: “ketiadaan bukti” bukan berarti “bukti ketiadaan”—terkesan identik tapi sama sekali tak sama.

 

Dalam konteks Han Rosling yang ia bicarakan dalam Factfulness itu, adalah Kuba bukan bangsa paling sehat di antara bangsa-bangsa miskin namun bangsa paling miskin di antara bangsa-bangsa sehat. Dua hal itu terkesan identik, namun sebenarnya mengandung polemik yang berbeda drastis gagasan abstraknya satu sama lain. Pernyataan menteri Kuba tentu terkesan heroik dan yang terakhir terkesan malang sekali, sehingga, dengan memanfaatkan bias kognitif manusia, politisi pun bekerja dengan mengambil pernyataan yang menguntungkan secara emosional meski tidak rasional.

 

Ini akan menjadi tricky ketika kita berhadapan dengan data kalau AS merupakan bangsa paling sakit dari semua negara-negara kaya. Apabila dibandingkan dengan Kuba yang oleh Menteri Kesehatan disebut negara paling sehat dari negara-negara miskin, maka kita barangkali bakal didesak oleh pertanyaan ideologis yang sarat jebakan bias kognitif maupun kekeliruan logika: mau tinggal di negara kaya tapi sakit-sakitan, atau tinggal di negara miskin tapi sehat-sehat saja? Secara intuitif, saya sejujurnya mau menjawab di Kuba saja.

 

Lalu mari kita balik proposisi tadi: Kuba merupakan negara paling miskin di antara negara-negara kaya vis-à-vis AS yang merupakan negara paling kaya dari negara-negara tidak sehat. Manakah yang akan kita pilih?

 

Dalam sebuah jajak pendapat di buku Big Lies oleh Stephen Davidowitz, ia bertanya perihal apakah yang membuat umur panjang suatu masyarakat (longevity)? Apakah kebijakan sosial pemerintah setempat, atau kebersihan lingkungan, atau iklim religiusitas wilayah itu, atau persebaran kemakmuran suatu tempat? Jawaban yang paling tidak terduga adalah jawaban terakhir yang merupakan jawaban paling tepat dari pertanyaan tersebut berdasarkan data yang tersedia. Kalau kita merasa miskin dan tidak punya masa depan, tapi pengin umur panjang, carilah tempat tinggal di negara-negara kaya, bukan negara-negara miskin—toh sakit bukan berarti tidak umur panjang.