Estimasi baca: 5 menit.
Kuba bukan negara komunis pertama yang
dikunjungi Hans Rosling dalam pengalamannya sebagai sukarelawan kesehatan
global. Ia pernah tinggal dan bekerja di Mozambik juga, sehingga ia pergi ke
Kuba dengan rasa ingin tahu besar tapi tanpa gagasan romantis apa pun, dan
tidak akan mengembangkannya selama meski pernah ketemu presiden Fidel Castro
beberapa kali di sana. Tujuan utama Rosling adalah meneliti epidemi misterius
yang meneror masyarakat setempat.
Satu tahun setelah purna tugasnya, ia pun
diundang ke Havana untuk memaparkan di depan Kementrian Kesehatan tentang “Kesehatan
Kuba dalam perspektif global”. Pemerintah Kuba saat itu, dengan bantuan
pemerintah Venezuela, mendapatkan kembali kemampuan menyediakan bahan pangan
bagi rakyat Kuba. Hans Rosling lantas memaparkan data dengan warna-warni
menarik beserta gelembung-gelembung yang dapat dengan mudah dimengerti awam
sekalipun.
Kuba memiliki angka kemampuan bertahan
hidup anak yang sama tingginya dengan Amerika Serikat, sedangkan untuk
pendapatan hanya seperempatnya saja. Menteri Kesehatan langsung mendatangi Hans
Rosling begitu ia menyelesaikan pemaparannya lantas sekonyong-konyong
menyimpulkan: “Berarti kami bangsa Kuba adalah bangsa paling sehat di antara
bangsa-bangsa miskin,” katanya, tanpa ekspresi risi sama sekali. Semua yang
hadir bertepuk tangan dan seperti itulah akhir sesi tersebut.
Namun tidak hanya itu pesan yang ditangkap
oleh semua orang dari presentasi Hans Rosling. Ketika menuju ruang istirahatnya,
sesosok anak muda dengan sopan memegang lengannya untuk pelan-pelan mengajak ia
menjauh dari rombongan, sembari menerangkan kalau ia ikut menyusun statistik
kesehatan. Kemudian ia mendekatkan kepalanya lantas berbisik, “Data Anda benar,
tetapi kesimpulan Pak Menteri salah besar.” Ia memandangi Rosling seolah-olah
itu sebuah pertanyaan, tetapi setelah itu ia menjawab pertanyaannya sendiri.
“Kami bukan yang paling sehat di antara negara-negara miskin, kami paling
miskin di antara negara-negara yang sehat.”
Hans Rosling mengetengahkan cerita
tersebut ketika mengemukakan naluri manusia akan perspektif tunggal. Kita suka
mengambil kesimpulan dari perspektif yang menguntungkan kita saja. Lebih lanjut
dari itu, Rosling hendak menyatakan kalau kita mesti menguji selalu
gagasan-gagasan yang tertanam dalam kepala kita, menyadari keahlian kita yang
terbatas, menyadari bahwa kita adalah anak yang memiliki palu yang melihat
segalanya seperti paku sebagaimana ujar Mark Twain, mengevaluasi kembali
penilaian intuitif kita terhadap angka-angka, dan senantiasa berhati-hati
dengan gagasan-gagasan sederhana dan solusi-solusi sederhana.
Untuk yang terakhir itu, Nassim Taleb
barangkali akan sangat bersepakat. Keinginan mesin penalaran kita yang mau
segalanya cepat-cepat dan serba intuitif, membuat kesimpulan bisa menjadi
gegabah di hadapan kebenaran. Dalam Black Swan, Taleb hendak memunggah
irasionalitas kita, ia pun memberi pernyataan: “hampir semua teroris adalah
muslim” dengan “hampir semua muslim adalah teroris” yang identik tapi
sebenarnya berbeda. Andaikan pernyataan pertama benar, bahwa 99 persen teroris
adalah muslim, ini akan mengandung arti bahwa hanya sekitar 0,001 persen muslim
adalah teroris. Sebab jumlah muslim lebih dari satu miliar dan teroris yang ada
katakanlah hanya sepuluh ribuan orang, jadi satu dalam seratus ribu orang.
Maka, kesalahan nalar menyebabkan kita (secara tidak sadar) membuat taksiran
berlebihan atas kemungkinan acak seorang muslim (dalam kelompok usia,
katakanlah, 15 hingga 50 tahun) menjadi teroris sampai mendekati 50 ribu kali
angka sesungguhnya!
Ini kekeliruan yang disebut Taleb sebagai round-trip fallacy (kekeliruan putar-balik
atau kata orang Sulawesi Utara, putar
bale). Ketidakmampuan membedakan dua proposisi yang terkesan mirip namun
mengandung makna yang berlainan sama sekali, bakal menyeret kita ke banyak
kekeliruan. Salah satu kekeliruan paling berpengaruh yang menghantam dunia naturalisme
barangkali adalah asumsi lama kalau angsa hitam itu tidak ada. Ilmuwan-ilmuwan
zaman silam memang tidak pernah menemukan bukti bahwa angsa hitam itu eksis,
dan dengan terburu-buru mereka menarik konklusi: “berarti angsa hitum itu tidak
ada!” Abad ke-17, angsa hitam pun ditemukan, dan masyarakat ilmiah menelan pil
pahit dari kesembronoan mereka. Taleb pun mengingatkan kita soal putar bale yang pernah diidap ilmuwan
zaman silam: “ketiadaan bukti” bukan berarti “bukti ketiadaan”—terkesan identik
tapi sama sekali tak sama.
Dalam konteks Han Rosling yang ia
bicarakan dalam Factfulness itu, adalah Kuba bukan bangsa paling sehat di
antara bangsa-bangsa miskin namun bangsa paling miskin di antara bangsa-bangsa
sehat. Dua hal itu terkesan identik, namun sebenarnya mengandung polemik yang
berbeda drastis gagasan abstraknya satu sama lain. Pernyataan menteri Kuba
tentu terkesan heroik dan yang terakhir terkesan malang sekali, sehingga,
dengan memanfaatkan bias kognitif manusia, politisi pun bekerja dengan mengambil
pernyataan yang menguntungkan secara emosional meski tidak rasional.
Ini akan menjadi tricky ketika kita berhadapan dengan data kalau AS merupakan bangsa
paling sakit dari semua negara-negara kaya. Apabila dibandingkan dengan Kuba
yang oleh Menteri Kesehatan disebut negara paling sehat dari negara-negara
miskin, maka kita barangkali bakal didesak oleh pertanyaan ideologis yang sarat
jebakan bias kognitif maupun kekeliruan logika: mau tinggal di negara kaya tapi
sakit-sakitan, atau tinggal di negara miskin tapi sehat-sehat saja? Secara
intuitif, saya sejujurnya mau menjawab di Kuba saja.
Lalu mari kita balik proposisi tadi: Kuba
merupakan negara paling miskin di antara negara-negara kaya vis-Ã -vis AS yang
merupakan negara paling kaya dari negara-negara tidak sehat. Manakah yang akan
kita pilih?
Dalam sebuah jajak pendapat di buku Big
Lies oleh Stephen Davidowitz, ia bertanya perihal apakah yang membuat umur
panjang suatu masyarakat (longevity)?
Apakah kebijakan sosial pemerintah setempat, atau kebersihan lingkungan, atau
iklim religiusitas wilayah itu, atau persebaran kemakmuran suatu tempat?
Jawaban yang paling tidak terduga adalah jawaban terakhir yang merupakan
jawaban paling tepat dari pertanyaan tersebut berdasarkan data yang tersedia. Kalau
kita merasa miskin dan tidak punya masa depan, tapi pengin umur panjang,
carilah tempat tinggal di negara-negara kaya, bukan negara-negara miskin—toh sakit
bukan berarti tidak umur panjang.
0 Komentar