Sumber: https://reasonandsciencesociety.wordpress.com/2012/10/15/review-of-free-will-and-neuroscience-talk/

 

Estimasi membaca: 7 menit.

Saya selalu teringat dengan salah satu episode Spongebob di mana Plankton menyusup ke dalam kepala Spongebob yang mirip keju itu. Plankton menancapkan dua tuas ke otak Spongebob, lantas menggerakkan Spongebob sesuka hati sebagaimana anak kecil memegang joystick sedang memainkan karakter dalam sebuah permainan. Menurut saya, episode kartun itu bisa jadi ilustrasi komikal untuk mitos “homunculus”, manusia kerdil yang dipercaya bersemayam di dalam otak manusia, yang bertanggung jawab atas setiap keputusan yang menggerakkan tubuh kita.

 

Konon homunculus bersemayam dalam otak kita sebagai buruh yang mengkonstruksi segala pementasan teatrikal dalam kepala. Ia mengubah vibrasi menjadi suara, cahaya menjadi warna, tekstur menjadi halus/kasar, rasa menjadi manis/pahit, dan aroma menjadi harum/amis. Ia seperti pekerja yang berada di balik layar, yang mengolah sumber-sumber informasi di realitas objektif di luar inderawi kita menjadi kenyataan audio-visual yang bahkan bisa kita saksikan ketika mata tertutup.

 

Daniel Dennett, salah seorang filsuf kontemporer, lantas bertanya kepada kita perihal ilusi optik atau ilusi visual (illusory motion). Kita barangkali pernah melihat sebuah gambar yang memiliki beberapa titik-titik hitam yang dikelilingi spiral yang berwarna hijau, biru, dan sebagainya di sampingnya. Ketika kita fokus hanya pada satu di antara beberapa titik di gambar itu, dan merasa beberapa spiral yang ada di luar titik fokus mata kita terasa berputar-putar. Padahal gambar itu statis saja, tapi fokus kita membuat gerak paradoks yang memberi kesan kalau spiral itu berutar. Toh tidak ada gerakan pula di otak kita, tidak ada rotasi yang terjadi di otak kita. Otak kita tidak berputar-putar seperti gasing ketika fokus kita menyebabkan spiral itu terkesan bergerak.

 

Daniel Dennett memberi contoh lain. Ia memakai lukisan Bernardo Belotto yang menangkap panorama Dresden dari arah samping. Di jembatan memasuki kota, dari jarak yang amat jauh, kita bisa melihat siluet orang-orang berbondong-bondong memasuki polis berarsitekur era Victoria. Tapi Dennett memakai kaca pembesarnya, membesarkan objek-objek kecil yang mulanya kita kira orang-orang yang lagi berjalan itu. Ia mendapati kalau objek-objek yang kita orang, ternyata hanya bintik-bintik kecil berwarna hitam bila dilihat dari jarak sangat dekat sekali. Tapi dari jarak jauh, bulatan-bulatan itu tampak sebagai orang, yang merupakan sugesti yang diambil otak, otak lantas membentuk seperangkat ekspektasi dari bulatan-bulatan itu, dan ekspektasi yang jamak muncul adalah kerumunan orang yang berjalan.

 

Ilusi visual-audial yang sering kita jumpai bertebaran di media sosial adalah warna sepatu yang bisa dilihat seperti warna abu-abu atau merah muda, juga ada gaun yang bisa berwaran biru bisa berwarna putih keemasan, juga gelombang suara yang bisa terdengar berbeda di banyak kuping. Upaya menjawab fenomena itu lantas membangkitkan asumsi bahwa terdapat homunculus, Plankton, dalam kepala kita; bahwa kepala kita memiliki teater internal yang merekonstruksi berbagi informasi di luar realitas mental dan menyusun ekspektasi atas informasi-informasi tersebut.

 

Persoalannya adalah, umat manusia, lewat kemajuan di bidang medis, ilmu pengetahuan, dan perkembangan eksponensial teknologi, tidak pernah menemukan ada manusia kerdil di dalam kepala kita, tidak pernah ditemukan panggung teater dengan tirai mereka dalam pembedahan otak, apalagi sehelai benda hijau yang diidentifikasi sebagai sehelai plankton. Neurosaintis telah berkembang sedemikian rupa untuk mencari homunculus, dan mereka tidak dapat menemukannya kecuali hanya dalam kartun Spongebob.

 

Topik homunculus ini tentu bersinggungan dengan Descartes. Descartes dipuji oleh Bertrand Russel sebagai orang yang membuka tirai baru dalam teater perang pemikiran antara Aristoteles & Plato (Russel berkata kalau perang filsafat tak lebih dari perang antar Aristoteles & Plato), Descartes membawa wacana baru dalam pentas ini. Dalam konteks homunculus dan teater mental, Descartes adalah orang pertama yang membicarakan relasi antara kesadaran & otak.

 

Mode dualisme Cartesian dapat dijelaskan dengan cara begini: mata menerima informasi yang kemudian informasi itu diteruskan ke pineal gland yang mengirimkan sinyal immaterial ke jiwa. Dengan guyon Dennett mengibaratkan pineal gland seperti Bluetooth atau infrared untuk jiwa. Pineal gland lantas mengirimi feedback ke tubuh untuk memerintahkan tubuh bergerak.

 

Doktrin cogitans Cartesian telah memberi pemahaman baru tentang subjektifitas manusia. Manusia dianggap sebagai entitas, dua unsur yang menyatu sebagai satu kesatuan: jiwa-raga, roh-tubuh, kesadaran-otak, dan lain sebagainya. Dan yang pertama, kerap diandaikan lebih tinggi ketimbang yang kedua, terutama dalam doktrin agama. Kita bisa lihat dari proposisi-proposisi seperti: “di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”, seolah jiwa adalah inti (core) dan tubuh hanya bagian kulit luar (periphery).

 

Manusia sebagai dua unsur terpisah yang saling berhubungan adalah doktrin yang kini kita kenal dengan dualisme Cartesian. Dalam perkara tubuh dan kesadaran tentang ke-aku-an, kita kerap menganggap kalau tubuh dan “saya” adalah dua hal terpisah, sebagaimana yang diutarakan Dennett dalam The Kinds of Minds. Bahwa “saya”/”aku”, adalah hal yang terpisah dari tubuh, bahwa “aku”, justru adalah pemilik tubuh, bahwa “aku” bukanlah tubuh. Dalam mitologi homunculus, “aku” itu kita kenal sebagai plankton, dan tubuh adalah Spongebob. Descartes mungkin mau bilang, manusia adalah entitas yang terdiri dari Plankton dan Spongebob. Spongebob atau tubuh berperan melakukan interaksi dengan dunia luar, dan informasi dari interaksi itu diekstrak lantas dikirim ke Plankton dengan perantara pineal gland, dan Plankton (kesadaran, atau jiwa, atau roh, atau “ke-aku-an”), lantas membuat keputusan dengan tuasnya.

 

Yang menjadi persoalan adalah, sekali lagi, tidak ada satu pun ilmuwan otak yang menemukan homunculus, plankton, kesadaran, jiwa, atau apa pun namanya di dalam otak. Neurosaintis memang menemukan pineal gland, dan kalau Descartes berkata kalau pineal gland adalah tempat bersemayamnya jiwa, toh pineal gland tetap saja merupakan bagian dari otak, dan otak merupakan bagian dari tubuh. Maka, sesuatu yang dikira Descartes sebagai tempat jiwa bersemayam, terbatalkan; dualisme Cartesian adalah konsep yang ruai. Dan argumentasi ini dipegang oleh mereka yang mendaku mahzab fisikalisme dalam filsafat pikiran—musuh bebuyutan mahzab dualisme Cartesian.

 

Salah satu yang kesohor adalah Antonio Damasio. Ia penulis buku Descartes Error. Dalam bukunya, ia penasaran kepada Phineas Gage. Phineas Gage adalah seorang pekerja yang mengalami kejadian naas di situs konstruksi di mana ia bekerja, yang membuat kepalanya ditembusi sebuah tongkat besi yang melobangi otaknya. Ajaibnya, nyawa Gage terselamatkan. Tongkat besi itu sudah cepol, tapi insiden itu membuat perangai Phineas Gage berubah ekstrem. Ia yang awalnya ramah, menjadi gampang marah, emosional, dan acap berantem dengan rekan kerjanya. Fenomena Gage lantas menjadi sorotan di dunia keilmuan saat itu (sekitar akhir abad 20 sampai awal abad 21). Damasio sendiri sedih, karena jasad Gage sudah tidak memungkinkan untuk dijadikan objek penelitian Damasio, sehingga Damasio hanya bisa menelusuri sisa-sisa jejak Gage dari penelitian, wawancara, dan berita pada zaman itu.

 

Kemudian peruntungan tiba kepada Damasio, ia ketemu dengan seorang mantan pengusaha cemerlang bernama Elliot. Pada mulanya Elliot memiliki hidup yang sangat baik sebagaimana impian masyarakat kelas menengah yang stabil dan tak terusik, lalu kepalanya ditumbuhi tumor sebesar bola bisbol. Operasi pengangkatan tumor itu rupanya membuat kepribadian Elliot berubah seratus persen. Hidupnya seperti meloncat dari puncak bukit kesuksesan ke dasar jurang gelap kegagalan: pekerjaannya hancur, keluarganya berantakan, dan yang lebih parah dari itu semua, ia sama sekali tidak peduli. Ini kasus yang sangat mirip dengan Phineas Gage seabad lalu, pikir Damasio, dan perubahan ekstrem itu terjadi gara-gara perubahan struktur otak: Gage menjadi temperamental setelah otaknya berubah oleh tombak besi, dan Elliot karena otaknya ditumbuhi tumor.

 

Antonio Damasio menyadari, bahwa ada suatu wilayah otak yang bertanggungjawab dalam pengelolaan emosi dan keawasan dalam mengambil keputusan yang mengalami kerusakan. Ia mengamati hal itu dari Elliot, yang membuat Elliot tak bisa lagi mengelola kemampuan emosional dan empatik tapi kemampuan bernalarnya sama sekali tidak terganggu.

 

Antonio Damasio, lewat Descartes Error, barangkali mau bilang kalau kita tidak butuh unsur yang disebut jiwa, ruh, atau kesadaran yang non-fisik itu. Segala keputusan, pertimbangan rasio maupun emosional, bisa dikerjakan oleh bagian-bagian otak kita, dan karena itu, otak tidak butuh plankton yang tak kasat mata untuk menentukan apa-apa yang diputuskan dalam hidup. Kalau otak beserta segala modul mental serta perannya sudah cukup untuk menjalani hidup, untuk apa lagi diperlukan kesadaran? Asumsi kalau saya adalah pemilik tubuh tentu tidak lagi perlu dipakai. Sebab saya adalah otak, dan otak adalah tubuh, maka saya adalah tubuh saya—yang membuat saya penasaran untuk mengeksplorasi Marleu Ponty di sini.

 

Segala sesuatu yang non-materi yang diujarkan Descartes dalam khotbah dualismenya dapat direduksi menjadi materi: jiwa bisa direduksi menjadi raga, roh bisa direduksi menjadi tubuh, dan kesadaran bisa menjadi otak. Dengan begitu, mazhab fisikalisme menutup perdebatan dengan kemenangan telak (yang kelak akan diganggu oleh Mary dalam eksperimen soal qualia).