Estimasi membaca: 7 menit.
Saya selalu teringat dengan salah satu
episode Spongebob di mana Plankton menyusup ke dalam kepala Spongebob yang mirip
keju itu. Plankton menancapkan dua tuas ke otak Spongebob, lantas menggerakkan
Spongebob sesuka hati sebagaimana anak kecil memegang joystick sedang memainkan karakter dalam sebuah permainan. Menurut
saya, episode kartun itu bisa jadi ilustrasi komikal untuk mitos “homunculus”,
manusia kerdil yang dipercaya bersemayam di dalam otak manusia, yang
bertanggung jawab atas setiap keputusan yang menggerakkan tubuh kita.
Konon homunculus bersemayam dalam otak
kita sebagai buruh yang mengkonstruksi segala pementasan teatrikal dalam
kepala. Ia mengubah vibrasi menjadi suara, cahaya menjadi warna, tekstur
menjadi halus/kasar, rasa menjadi manis/pahit, dan aroma menjadi harum/amis. Ia
seperti pekerja yang berada di balik layar, yang mengolah sumber-sumber
informasi di realitas objektif di luar inderawi kita menjadi kenyataan
audio-visual yang bahkan bisa kita saksikan ketika mata tertutup.
Daniel Dennett, salah seorang filsuf
kontemporer, lantas bertanya kepada kita perihal ilusi optik atau ilusi visual
(illusory motion). Kita barangkali
pernah melihat sebuah gambar yang memiliki beberapa titik-titik hitam yang
dikelilingi spiral yang berwarna hijau, biru, dan sebagainya di sampingnya.
Ketika kita fokus hanya pada satu di antara beberapa titik di gambar itu, dan
merasa beberapa spiral yang ada di luar titik fokus mata kita terasa
berputar-putar. Padahal gambar itu statis saja, tapi fokus kita membuat gerak
paradoks yang memberi kesan kalau spiral itu berutar. Toh tidak ada gerakan
pula di otak kita, tidak ada rotasi yang terjadi di otak kita. Otak kita tidak
berputar-putar seperti gasing ketika fokus kita menyebabkan spiral itu terkesan
bergerak.
Daniel Dennett memberi contoh lain. Ia
memakai lukisan Bernardo Belotto yang menangkap panorama Dresden dari arah
samping. Di jembatan memasuki kota, dari jarak yang amat jauh, kita bisa
melihat siluet orang-orang berbondong-bondong memasuki polis berarsitekur era
Victoria. Tapi Dennett memakai kaca pembesarnya, membesarkan objek-objek kecil
yang mulanya kita kira orang-orang yang lagi berjalan itu. Ia mendapati kalau
objek-objek yang kita orang, ternyata hanya bintik-bintik kecil berwarna hitam
bila dilihat dari jarak sangat dekat sekali. Tapi dari jarak jauh,
bulatan-bulatan itu tampak sebagai orang, yang merupakan sugesti yang diambil
otak, otak lantas membentuk seperangkat ekspektasi dari bulatan-bulatan itu,
dan ekspektasi yang jamak muncul adalah kerumunan orang yang berjalan.
Ilusi visual-audial yang sering kita
jumpai bertebaran di media sosial adalah warna sepatu yang bisa dilihat seperti
warna abu-abu atau merah muda, juga ada gaun yang bisa berwaran biru bisa
berwarna putih keemasan, juga gelombang suara yang bisa terdengar berbeda di
banyak kuping. Upaya menjawab fenomena itu lantas membangkitkan asumsi bahwa
terdapat homunculus, Plankton, dalam kepala kita; bahwa kepala kita memiliki
teater internal yang merekonstruksi berbagi informasi di luar realitas mental
dan menyusun ekspektasi atas informasi-informasi tersebut.
Persoalannya adalah, umat manusia, lewat
kemajuan di bidang medis, ilmu pengetahuan, dan perkembangan eksponensial
teknologi, tidak pernah menemukan ada manusia kerdil di dalam kepala kita,
tidak pernah ditemukan panggung teater dengan tirai mereka dalam pembedahan
otak, apalagi sehelai benda hijau yang diidentifikasi sebagai sehelai plankton.
Neurosaintis telah berkembang sedemikian rupa untuk mencari homunculus, dan
mereka tidak dapat menemukannya kecuali hanya dalam kartun Spongebob.
Topik homunculus ini tentu bersinggungan
dengan Descartes. Descartes dipuji oleh Bertrand Russel sebagai orang yang
membuka tirai baru dalam teater perang pemikiran antara Aristoteles & Plato
(Russel berkata kalau perang filsafat tak lebih dari perang antar Aristoteles
& Plato), Descartes membawa wacana baru dalam pentas ini. Dalam konteks
homunculus dan teater mental, Descartes adalah orang pertama yang membicarakan
relasi antara kesadaran & otak.
Mode dualisme Cartesian dapat dijelaskan
dengan cara begini: mata menerima informasi yang kemudian informasi itu
diteruskan ke pineal gland yang mengirimkan sinyal immaterial ke jiwa. Dengan
guyon Dennett mengibaratkan pineal gland seperti Bluetooth atau infrared untuk
jiwa. Pineal gland lantas mengirimi feedback
ke tubuh untuk memerintahkan tubuh bergerak.
Doktrin cogitans Cartesian telah memberi
pemahaman baru tentang subjektifitas manusia. Manusia dianggap sebagai entitas,
dua unsur yang menyatu sebagai satu kesatuan: jiwa-raga, roh-tubuh,
kesadaran-otak, dan lain sebagainya. Dan yang pertama, kerap diandaikan lebih
tinggi ketimbang yang kedua, terutama dalam doktrin agama. Kita bisa lihat dari
proposisi-proposisi seperti: “di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang
sehat”, seolah jiwa adalah inti (core)
dan tubuh hanya bagian kulit luar (periphery).
Manusia sebagai dua unsur terpisah yang
saling berhubungan adalah doktrin yang kini kita kenal dengan dualisme
Cartesian. Dalam perkara tubuh dan kesadaran tentang ke-aku-an, kita kerap
menganggap kalau tubuh dan “saya” adalah dua hal terpisah, sebagaimana yang
diutarakan Dennett dalam The Kinds of
Minds. Bahwa “saya”/”aku”, adalah hal yang terpisah dari tubuh, bahwa
“aku”, justru adalah pemilik tubuh, bahwa “aku” bukanlah tubuh. Dalam mitologi
homunculus, “aku” itu kita kenal sebagai plankton, dan tubuh adalah Spongebob.
Descartes mungkin mau bilang, manusia adalah entitas yang terdiri dari Plankton
dan Spongebob. Spongebob atau tubuh berperan melakukan interaksi dengan dunia
luar, dan informasi dari interaksi itu diekstrak lantas dikirim ke Plankton
dengan perantara pineal gland, dan Plankton (kesadaran, atau jiwa, atau roh,
atau “ke-aku-an”), lantas membuat keputusan dengan tuasnya.
Yang menjadi persoalan adalah, sekali
lagi, tidak ada satu pun ilmuwan otak yang menemukan homunculus, plankton,
kesadaran, jiwa, atau apa pun namanya di dalam otak. Neurosaintis memang
menemukan pineal gland, dan kalau Descartes berkata kalau pineal gland adalah
tempat bersemayamnya jiwa, toh pineal gland tetap saja merupakan bagian dari
otak, dan otak merupakan bagian dari tubuh. Maka, sesuatu yang dikira Descartes
sebagai tempat jiwa bersemayam, terbatalkan; dualisme Cartesian adalah konsep
yang ruai. Dan argumentasi ini dipegang oleh mereka yang mendaku mahzab
fisikalisme dalam filsafat pikiran—musuh bebuyutan mahzab dualisme Cartesian.
Salah satu yang kesohor adalah Antonio
Damasio. Ia penulis buku Descartes Error.
Dalam bukunya, ia penasaran kepada Phineas Gage. Phineas Gage adalah
seorang pekerja yang mengalami kejadian naas di situs konstruksi di mana ia
bekerja, yang membuat kepalanya ditembusi sebuah tongkat besi yang melobangi
otaknya. Ajaibnya, nyawa Gage terselamatkan. Tongkat besi itu sudah cepol, tapi
insiden itu membuat perangai Phineas Gage berubah ekstrem. Ia yang awalnya
ramah, menjadi gampang marah, emosional, dan acap berantem dengan rekan
kerjanya. Fenomena Gage lantas menjadi sorotan di dunia keilmuan saat itu
(sekitar akhir abad 20 sampai awal abad 21). Damasio sendiri sedih, karena
jasad Gage sudah tidak memungkinkan untuk dijadikan objek penelitian Damasio,
sehingga Damasio hanya bisa menelusuri sisa-sisa jejak Gage dari penelitian,
wawancara, dan berita pada zaman itu.
Kemudian peruntungan tiba kepada Damasio,
ia ketemu dengan seorang mantan pengusaha cemerlang bernama Elliot. Pada
mulanya Elliot memiliki hidup yang sangat baik sebagaimana impian masyarakat
kelas menengah yang stabil dan tak terusik, lalu kepalanya ditumbuhi tumor
sebesar bola bisbol. Operasi pengangkatan tumor itu rupanya membuat kepribadian
Elliot berubah seratus persen. Hidupnya seperti meloncat dari puncak bukit
kesuksesan ke dasar jurang gelap kegagalan: pekerjaannya hancur, keluarganya
berantakan, dan yang lebih parah dari itu semua, ia sama sekali tidak peduli.
Ini kasus yang sangat mirip dengan Phineas Gage seabad lalu, pikir Damasio, dan
perubahan ekstrem itu terjadi gara-gara perubahan struktur otak: Gage menjadi
temperamental setelah otaknya berubah oleh tombak besi, dan Elliot karena
otaknya ditumbuhi tumor.
Antonio Damasio menyadari, bahwa ada suatu
wilayah otak yang bertanggungjawab dalam pengelolaan emosi dan keawasan dalam
mengambil keputusan yang mengalami kerusakan. Ia mengamati hal itu dari Elliot,
yang membuat Elliot tak bisa lagi mengelola kemampuan emosional dan empatik
tapi kemampuan bernalarnya sama sekali tidak terganggu.
Antonio Damasio, lewat Descartes Error,
barangkali mau bilang kalau kita tidak butuh unsur yang disebut jiwa, ruh, atau
kesadaran yang non-fisik itu. Segala keputusan, pertimbangan rasio maupun
emosional, bisa dikerjakan oleh bagian-bagian otak kita, dan karena itu, otak
tidak butuh plankton yang tak kasat mata untuk menentukan apa-apa yang
diputuskan dalam hidup. Kalau otak beserta segala modul mental serta perannya
sudah cukup untuk menjalani hidup, untuk apa lagi diperlukan kesadaran? Asumsi
kalau saya adalah pemilik tubuh tentu tidak lagi perlu dipakai. Sebab saya
adalah otak, dan otak adalah tubuh, maka saya adalah tubuh saya—yang membuat
saya penasaran untuk mengeksplorasi Marleu Ponty di sini.
Segala sesuatu yang non-materi yang
diujarkan Descartes dalam khotbah dualismenya dapat direduksi menjadi materi:
jiwa bisa direduksi menjadi raga, roh bisa direduksi menjadi tubuh, dan
kesadaran bisa menjadi otak. Dengan begitu, mazhab fisikalisme menutup
perdebatan dengan kemenangan telak (yang kelak akan diganggu oleh Mary dalam
eksperimen soal qualia).
0 Komentar