https://photo-collage.net/



Denial of Death – Ernest Becker (1973)

 

Hidup adalah perjalanan panjang menyangkal ajal. Di hadapan ajal, manusia mendambakan kehidupan yang heroik, impian akan kekekalan pun didirikan di atas kelemahan-kelamahan yang tak bisa dihindari. Manusia menciptakan konsep eskatologis agar kematian tidak semisterius dahulu. Impian, harapan, monumen, tokoh-tokoh besar sejarah, pekerjaan, cinta, adalah hal-hal yang sengaja kita biarkan mengisi hidup agar pikiran teralihkan dari sang ajal. Ditulis dengan gaya prosais yang indah, kita tidak akan menatap kematian dengan kemurungan yang sama setelahnya. 

https://open.spotify.com/episode/4jwNEDFvo9Duvl02ViyRY3?si=eib_jSIDSjire-TippPFpg

 

Man Search for Meaning – Victor Frankl

 

Memoar indah dan penuh asa dari psikiater yang tersekap di neraka bernama Auschwitz. Di sana kengerian merupakan rutinitas sehari-hari. Kamp konsenstrasi membuat ia melihat sisi paling gelap dari manusia yang tak bakal diperlihatkan di hari-hari damai. Ia melihat mereka yang lebih memilih bunuh diri di pagar listrik daripada menanti mati kelelahan, ia melihat apati menjadi mekanisme pertahanan diri, ia melihat orang-orang mimpi buruk yang dibiarkan terus bermimpi karena kenyataan lebih pahit. Di tempat seneraka itu, sebagian dari diri Frankl menangis, sampai air mata menjadi saksi: di Auschwitz, yang lebih mematikan adalah kehilangan harapan dan keberanian.

 

Righteous Mind – Jonathan Haidt

 

Nalar lebih persis sebagai pengacara ketimbang ilmuwan, selantip apa pun seseorang, ia akan selalu dipengaruhi intusi moralnya terlebih dahulu. Haidt hendak meruntuhkan mitos kalau rasionalitas adalah majikan emosi. Ia pun mengkritik gaya politik Demokrat yang tidak bisa memanfaatkan matriks moral manusia sepiawai Republik. Manusia bukanlah makhluk monodimensional dalam diskursus moral; kita diibaratkan makhluk dengan enam reseptor perasa: keadilan, kepedulian, otoritas, loyalitas, kesucian, dan kebebasan (Demokrat hanya unggul untuk dua pertama, Republik sendiri mampu memainkan keenam-enamnya). Buku ini juga berusaha menemukan alternatif jawaban untuk debat altruisme vs egoisme. Tesis ketiga Haidt dalam Righteous Mind atau “pikiran sadik” adalah manusia merupakan 90 persen simpanse (egois) dan 10 persen lebah (altruis atau bersifat sosial).

https://open.spotify.com/episode/6nQTNz9otU62UqBXPRwq7O?si=QIVmFqjgT-SfcAwJkS-KJA 


Power of Bad – Roy Baumesteir & John Tierney

 

Kehilangan seratus dolar bisa berdampak berkali-kali lipat secara mental ketimbang memperoleh seratus dolar. Itu umum dalam ekonomi perilaku. Musababnya, manusia terpengaruhi hal-hal negatif ketimbang positif. Contoh paling akrab barangkali, fakta kalau perempuan lebih termotivasi diet karena takut menerima body shaming ketimbang demi tampak kurus. Otak memang lebih peka terhadap stimulus negatif daripada positif, dan demi menanggulangi itu, Roy Baumesteir dan John Tierney berkolaborasi memahami dan memanfaatkan naluri negativitas ini untuk tujuan-tujuan positif. Buku ini menyadarkan kita bahwa negative thinking bahkan bisa digunakan untuk mendorong manusia ke potensi-potensi terbaik yang kita miliki.

 

Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya – Dea Anugrah

 

Merupakan bunga rampai nonfiksi pertamanya. Berisi 19 esai yang ia tulis ketika masih di Tirto dan satu yang pernah dimuat oleh Pindai. Pertama kali saya kenal Dea lewat kumcer Bakat Menggonggong yang pernah diulas Tocoburuan di Bandung. Latar belakang sebagai penulis fiksi (cerpen & sains) terasa di buku ini. Penulis menangkap peristiwa-peristiwa di sekitarnya dengan reflektif dan dituangkan dengan narasi yang membawa kita ke level perenungan dan penafsiran yang sama.

 

Yang Fana adalah Waktu – Sapardi Djoko Damono

 

Kemangkatan Eyang Sapardi membuat saya terperenyak. Saya ingat mau menyelesaikan buku terakhir trilogi beliau. Saya membacanya dengan khidmat, dengan aroma petrikor yang bangkit dari tanah pada bulan Juli. Pemilihan kata dan pembangunan dialog dalam novel ini begitu lembut, seolah ditulis dengan keheningan khusyuk. Di epilog, terselip kumpulan puisi Sarwono, tokoh fiksi novel tersebut (sebuah permainan metafiksi, mengingatkan saya kepada Soekram yang pernah menggugat Sapardi sebagai pengarang). Buku itu saya selesaikan dalam kerinduan yang tak terjelaskan kepada penyair yang tak pernah saya temui secara fisik, tapi terasa akrab sekali, seraya membaca judul buku tersebut dalam dada: “yang fana adalah waktu, Sapardi, abadi….”

 

Black Swan – Nassim Nicholas Taleb

 

“Ketiadaan bukti bukan berarti bukti ketiadaan,” ujar Taleb, mengingatkan kita pada penemuan angsa hitam yang mengubah tatanan naturalisme abad ke-17 secara fundamental. Tapi angsa hitam bukan sekadar unggas, ia juga peristiwa yang tak bisa diprediksi dan bisa menyebabkan dampak yang berkali-kali lipat, semisal insiden 9/11, krisis ekonomi 2008, kesuksesan Google, dan lain-lain. Buku ini mengajak kita untuk lebih tangguh di hadapan ketidakpastian yang kerap mengecoh para pakar.

https://open.spotify.com/episode/2C0Ttahsi6acg5ToZbtr9b?si=OESGDVx1QQmgTMIjcZszBA 


Never Let Me Go – Kazuo Ishigiro

 

Bagaimana bila kloning dilegalkan? Bisakah HAM berlaku kepada mereka? Ataukah mereka bakal menjadi manusia kelas dua? Apakah organ-organ mereka bakal diperjualbelikan karena donor organ vital butuh waktu lama untuk memenuhi permintaan pasien pemohon? Novel ini membawa saya menjelajahi kemungkinan masa depan yang tampak distopian itu dengan pertanyaan-pertanyaan moral di kepala, ditulis oleh pemenang nobel sastra yang judulnya ia petik dari lagu Judy Bridgewater.

 

Dusta – Sam Harris

 

Buku tipis yang menyoal perkara filosofis yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari: dusta. Sepertinya, salah satu Penunggang Kuda Kiamat ini berangkat dari kegelisahan keluarganya yang pernah kehilangan momen-momen penting yang bisa diisi oleh cinta kasih tapi tercuri oleh dusta—meskipun dusta putih sekalipun. Buku tipis terbitan Circa ini dibuka dengan kutipan menawan: “Sebuah gurun malu dan pergolakan sosial bisa dihindari dengan rapi bila kita mengikuti satu-satunya aturan tunggal dalam hidup: jangan berbohong!”

https://www.instagram.com/tv/CGfF3v0lmbG/?utm_source=ig_web_copy_link 


Why Men Dont Listen & Women Cant Read Maps – Allan & Barbara Pease

 

Ditulis sepasang sejoli yang banyak menerbitkan karya tentang relasi laki-laki dan perempuan, buku ini membuka lapisan-lapisan ketidaktahuan soal perbedaan antar jenis kelamin. Dari pasangan Pease saya menerima kalau biologi tidak seksis hanya karena membuktikan kalau laki-laki dan perempuan memang tidak setara. Di sini saya paham seberapa penting testoteron mempengaruhi perbedaan jenis kelamin yang bisa berdampak pada banyaknya laki-laki di penjara, kompetisi, serta sedikitnya perempuan yang memilih berkarir di luar rumah. Dengan memahami kecenderungan biologis pun psikologis masing-masing, kita bisa lebih mengerti dunia dan banyak menerima kekurangan masing-masing.

https://open.spotify.com/episode/1wBD2G6XTKXha2DE14bj8T?si=qSa66vh6S6ypwp-9jQTeqQ

 

Factfulness – Hans Rosling

 

Penulis favorit Bill Gates. Hans Rosling terkenal dengan presentasinya yang penuh keseruan, dengan bantuan anak-anaknya, ia menyulap data-data kering menjadi narasi yang kaya akan warna dan gelembung yang disampaikan dengan atraktif seperti pertunjukan akrobatik. Rosling hendak melawan bias-bias kognitif dan naluri berpikir irasional dengan data. Meski kerap disebut seorang optimis, Rosling berkata kalau masa depan bukan berarti terhindar dari hal-hal tak diinginkan, dengan itu, ia menyebut diri sendiri probabilis.

 

Seven Good Years – Etgar Keret

 

Saya sedikit kecewa meletakkan buku ini di daftar tunggu yang lama. Ditulis dengan sangat personal; tujuh tahun adalah usia perjalanan Keret membesarkan anak laki-lakinya. Tak seperti memoar yang penuh maskulinitas heroik seperti tulisan ayah lain, Keret justru memunculkan ironi, satire, pandangan politik, alegori, komedi, tragedi ke dalam satu wajan yang sama, yang dimasak dengan sempurna. Esai paling saya suka adalah esai pertamanya, yang rasanya mau saya baca berpuluh-puluh kali.

 

Why We Sleep – Mathew Walker

 

Apa yang disebut dengan ritme circadian? Kenapa harga dari mengingat adalah melupakan? Kenapa mimpi begitu penting untuk kreatifitas kita? Apa hubungan kekurangan tidur dengan bunuh diri? Bagaimana bila kita tidak tidur selama enam bulan? Apakah tidur bisa dijadikan hak asasi manusia? Dan bagaimana supaya kita bisa tidur dengan kualitas dan kuantitas yang baik? Direkomendasikan oleh Bill Gates pada penghujung 2019 silam, saya langsung memasukan karya Mathew Walker ini ke waiting list bacaan 2020. Saya akhirnya melihat tidur dengan tatapan baru yang tak lagi dihantui stigma kemalasan dan non-produktif.

https://open.spotify.com/episode/42awGBKpopZRMqvDWMIUTa?si=LI2X6cMRR9u26RQe3xUppg 


Selfish Gene – Richard Dawkins

 

Manusia pada dasarnya egois, karena itu kebaikan hati harus diajarkan sejak dini. Meski mengenakan kata “egois” di judul bukunya, Dawkins pada akhirnya menekankan betapa penting kebaikan hati. Ia bukan hal yang alamiah memang, seperti halnya konsep negara dan bendera, altruisme harus diciptakan. Dan barangkali inilah keunikan manusia, kitalah satu-satunya spesies yang bisa memberontak dari program dasar kita. Dengan buku ini pula saya akhirnya mahfum, bahwa bukanlah manusia, melainkan gen yang merupakan diraja dalam rantai evolusioner kita.

https://open.spotify.com/episode/0kkYUCyhKmMoZJLiccVkWg?si=E8DVRwVNSEi6gsev3tU2CQ

 

New Power – Jeremy Heimans & Henry Timms

 

Jeremy Heimans & Henry Timms bekerja sama memahami bagaimana kekuasaan bekerja di dunia yang saling terkoneksi dan bagaimana menjinakannya. Penelusuran itu diringkas dengan topik disebut “New Power” yang membedakan diri dengan “Old Power”. Bila kekuasaan gaya lama selalu berasal dari elite kecil untuk mendominasi mereka yang banyak, maka di era media sosial, kekuasaan justru berasal dari mereka yang banyak dan para elite perlu mencari-cari cara beradaptasi dengan kehendak yang banyak itu. Revolusi serta mobilisasi sosial besar yang apinya berpercik dari lini masa sosial media membuktikan kalau kita tidak boleh meremehkan orang-orang lemah tatkala mereka terkumpul dalam jumlah kolosal.

https://open.spotify.com/episode/2e6cWxwnCVpZh0Z0yWBdlP?si=gveArBJOSnuXdmxsBgPM9A

 

Kain – José Saramago

 

Saramago hendak menafsirkan kembali hikayat Habel & Kain dengan gayanya sendiri. Dari sana, petualangan Kain dari satu kisah biblikal ke kisah biblikal lain terjalin. Buku fiksi ini akan provokatif bagi penganut iman karena terselip kritik personal terhadap Tuhan (yang membuat saya bingung, kenapa novel ini tidak seramai Satanic Verses-nya Rushdie). Ditulis dengan mengabaikan penggunaan tanda petik, Saramago sepertinya hendak menunjukkan bagaimana seorang anak petani Portugal melihat tata bahasa dan menggunakannya dalam keseharian.

 

Surti + Tiga Sawunggaling – GM

 

Novel perdana Goenawan Mohammad. Ditulis dengan puitis dan imajinatif. Yang menarik, dapat terasa sentuhan realisme magis yang memadukan dimensi khayali dan kisah historis di zaman perlawanan terhadap kolonialisme. GM pengin memperlihatkan sisi lain perlawanan, bahwa menjadi pribumi bukan selalu berada di pihak kawan. Novel tipis dengan tipogorafi khas puisi ini saya selesaikan dalm sekali duduk karena cukup tipis di kafe Leiden Yogya, tapi makna dan impresinya sangat tebal tersisa.

 

Perjamuan Khong Guan – Joko Pinurbo

 

Ketika aku tiba / di ambang pelukmu, / kudengar kumandang rindu / dan pekik petasan / dalam kaleng Khong Guan (2019). Buku ini ditulis untuk merayakan keragaman yang membuat Jokpin mengambil metafora Khong Guan yang isinya penuh dengan beragam kudapan: biskuit, peyek, keripik, ampiang, dan rengginang. Buku dibagi dalam tiga babak sebagaimana Khong Guan terdiri dari tiga kaleng. Kaleng ke dua adalah kaleng favorit saya, yang mengangkat kisah Minah dan kecintaannya pada literasi.

https://open.spotify.com/episode/6Xls4f1f3e4Z2DvMZ40S13?si=1cE46aKSRiSCyf6ETGL4eA

 

The Fall – Albert Camus

 

Novel terakhir Camus sebelum ia menerima nobel sastra dan dihadapkan dengan kematian. Novel ini berisi monolog seorang pengacara, yang membuat saya sebagai pembaca, merasa diri sebagai pendengar yang baik yang diajak ngobrol langsung oleh sang narator. Topiknya luas, penuh kegelisahan eksistensial, dari kematian, tuhan, hukuman, moralitas, politik, perempuan, dan lain-lain. Sartre menulis, “Barangkali inilah buku terindah dari seorang Albert Camus dan mungkin juga novelnya yang paling sulit untuk dimengerti.”

 

The Gene – Sidharta Mukherjee

 

Beberapa anggota keluarga Mukherjee mengalami masalah genetik yang membuat gen tidak sekadar misteri sains, tapi juga perkara personal baginya. Buku ini adalah upaya melacak hikayat gen dari masa ke masa: dari Yunani sampai rekayasa bioteknologi mutakhir. Buku ini juga menyoal bahwa perkembangan ilmu genetika tidak selalu berjalan lincir, pernah di suatu zaman, topik gen disalahgunakan demi ideologi tertentu, menjajah sains, & melahirkan genosida (di mana genosida kata dasarnya adalah “gen”). Ditulis dengan gaya yang indah, terkadang saya merasa membaca novel di tengah-tengah proses membaca.

https://open.spotify.com/episode/5SHQJWVUyMdMVQkTnb0Tsx?si=ra2FVq1MQHC2hoMX9CZL5A

 

O Amuk Kapak – Sutardji Calzoum Bachrie

 

Tidak diantar dengan semacam preambule, tapi kredo. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian … Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” GM dalam buku “Anti-puisi” pun melirik kredo Sutardji sebagai semangat membebaskan bahasa dari penjajahan makna. Dalam puisi-puisinya, Sutardji hendak membebaskan kata-kata dari beban ide, bahkan beban moral, di mana ia dengan terus terang memakai kata tertentu yang dianggap kotor (Obscene). Buku ini pernah saya baca ketika SMP, yang sampai hari ini membuat saya bertanya-tanya maksud dari satu puisi yang berjudul “Q” yang isinya penuh tanda seru dengan tipografi yang kacau seolah ditulis acak-acakan—atau memang sengaja demikian?

 

Babad Kopi Parahyangan – Evi Sri Rezeki

 

Buku ini membawa imaji saya ikut bertualang dengan ambisi Karim menuju sarang mutiara hitam, tanah Parahyangan yang merupakan tempat bersemayam para dewa. Teh Evi menurut saya berhasil menunjukkan kalau sejarah kopi juga adalah sejarah perlawanan kelas. Buku ini menguarkan aroma Max Havelar juga dihiasi dengan petatah-petitih Sunda yang membikin proses membaca lebih kaya dengan pengalaman historis-kultural. Saya ingin selalu merekomendasikan buku ini kepada teman-teman saya yang menggemari mutiara hitam.

 

Wealth of Nation – Adam Smith

 

Barangkali buku ini salah satu kitab suci liberalisme klasik. Buku paling tebal yang saya konsumsi tahun ini, dan paling lama saya selesaikan karena kendala konteks dan bahasa. Penerjemahannya sendiri, menurut sang translator, butuh waktu cukup lama dibandingkan buku-buku lain yang ia terjamahkan karena banyak kosa kata yang sudah arkais dan tak cocok dengan kaidah bahasa hari-hari ini. Membaca rujukan “bapak moyang kapitalisme” ini mengklarifikasi banyak su’udzon yang lama bersarang dalam benak saya. Bahwa Smith pun membela buruh dan apa yang kerap kita tuding kapitalis adalah merkantilisme yang juga dilawan Smith sendiri.

https://open.spotify.com/episode/7lg9ISW0Z5egM7YLce3m0B?si=2pyexLZpRMKcKetrzuOsMQ

 

Steal Like an Artist – Austin Kleon

 

Seniman yang jujur akan berkata kalau karyanya hasil tiruan, adapun yang dimaksud karya orisinal ialah karya yang kita lupa referensinya dari mana. Buku ini memberi kita banyak trik & tips “mencuri” tanpa memplagiat karya orang lain, selama kita tahu rumusnya dengan benar, namun di atas itu, yang lebih penting, adalah perasaan bosan dan kegelisahan yang intrusif sebagai energi untuk berpikir berbeda. Banyak nasihat Kleon yang saya terapkan karena praktisnya: membawa buku kecil ke mana pun, membedakan meja berpikir dan meja di mana tangan bekerja, dan menyimpan apresiasi sahabat-sahabat saya di satu rak digital khusus.

 

Demotivasi – Syarif Maulana

 

“Dari kecil saya selalu memotivasi dia. Tapi setelah besar, dia malah menyebarkan demotivasi," ujar bapak penulis. Pintu menuju kejujuran-kejujuran yang lucu adalah demotivasi. Buku “Demotivasi” Syarif Maulana ini membantu kita menetralisir over-motivasi yang menimpa masyarakat modern. Mengulas dari Buddha sampai Mario Teguh sampai Emil Cioran. Buku ini dibuka dengan sapaan yang amat bijaksana: “Selamat pagi, selamat menjalani hari yang itu-itu juga!”

https://open.spotify.com/episode/4YUSAfj2jCoT1xhRqgoiFP?si=6PgzyICuRhSlbwJPDA0eZA