Estimasi membaca: 1 jam


DARI IDEOLOGI KE POLITIK IDENTITAS:

SEBUAH INVESTIGASI PSIKOLOGIS

 

Wanderer Above the Sea of Fog (1818) - Caspar David Friedrich

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Di bawah pemerintahan orang-orang yang

benar-benar mulia, pena akan menjadi lebih perkasa

daripada pedang.”

(Lord Lytton)

 

 

“Lidah, hanya untuk menyampaikan kata-kata.

Sedangkan kebenaran, bisa disampaikan

dengan berbagai cara ….”

(Faisal Oddang)


Abad ke-21 adalah ruang pengap, gigil oleh embusan AC, dan temaram dengan satu buah lampu artifisial bergoyang bagai pendulum di atas satu-satunya meja di ruang kecil itu. Di sana lagi duduk seorang tersangka yang bertanggung jawab atas segala kekisruhan yang menimpa umat manusia di belakang jejak zaman. Namanya: “ideologi”. Di paragraf pertama ini, kita telah terlebih dahulu memborgolnya dengan “teks”; menempatkan ideologi di bawah sorot mata suryakanta yang dibikin Conan Doyle. Lalu kita masuk, sebagai detektif yang siap menelusuri intensi tersembunyi tersangka kita, menyingkap kabut yang menyerupai tirai kelabu di wajah rahasianya, mencari celah di mana dosa ideologi bisa kita ungkap lantas kita antarkan ke depan meja pengadilan sejarah sebagai satu-satunya hakim yang sanggup mengadilinya. Ini bukan langkah yang sederhana. Sebab ideologi adalah ahlinya manipulasi pikiran, ia punya kemampuan menggoda imajinasi terliar kita dengan fantasinya, pun dapat menciptakan kesetiaan segera setelah kita tunduk termakan oleh rayuan yang ia sodorkan.

 

Detektif kita, yang bernama “psikologi”, memang bisa diragukan soal kapasitasnya memblejeti ideologi. Sebab psikologi mulanya merupakan disiplin ilmiah yang fokus kepada persoalan mikroskopik, yakni individual saja. Sedangkan ideologi beserta antek-anteknya, yaitu politik identitas, senantiasa bermain di arena sosial. Ini tantangan pertama kita, bagaimana kiranya psikologi sebagai ilmu yang individual membongkar problematika ideologi serta politik identitas sebagai fenomena sosial yang makroskopik?

 

Namun kita melihat peluang itu dari Gustave Le Bon, bersama karyanya, Psikologi Revolusi, yang terbit pada 1895 dengan ketat membedah mentalitas massa dalam kecamuk revolusi Perancis.[1] Ia mengamati bagaimana perilaku sosial bisa berjangkit dari satu orang ke orang lain seperti infeksi yang dapat melenyapkan individualitas lantas menimbulkan irasionalitas massal. Le Bon barangkali sedikit di antara satu dua gelintir psikolog klasik yang membuat kemungkinan yang terang benderang atas bertemunya psikologi dan fenomena sosial ketemu di ruang diskursus yang sama.

 

Masyarakat ilmiah kita pun kiwari ini telah menyadari bahwa suatu disiplin ilmu tidak bisa dipisahkan dengan ilmu lain. Lambat laun, pada titik tertentu, satu gagasan akan melebur bersama gagasan lain. Upaya interdisipliner ini muncul sebagai kontra-hegemoni atas postulat bahwa kita harus memecah dunia ini menjadi komponen-komponen kecil agar dapat dipahami. Kira-kira seperti dengan memahami batu bata kita bisa memahami berbagai bentuk rumah: dari bagian ke keseluruhan.[2] Inilah pandangan yang disebut “reduksionistik” atau “atomistik” khas paradigma Cartesian-Newtonian. Hari-hari ini, pandangan semacam itu ditumbangkan oleh temuan para tokoh “quantum” yang ketika menganalisis hingga level sub-atomik, ternyata yang ditemukan bukanlah “materi” dalam arti “partikel”, melainkan semacam gelombang—lebih tepatnya “kemungkinan-kemungkinan interkoneksi”. Dalam ungkapan Heissenberg (salah satu tokohnya): “Dunia ternyata tampil bagai jaringan peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan.” Seumpama komposisi musik Beethoven yang apabila kita pecah-pecah menjadi nada-nada tunggal dari keseluruhan maka keindahan magisnya akan raib. Dengan kata lain, keseluruhan atau totalitas menentukan arti bagian-bagiannya, bukan malah sebaliknya.

 

Demi memahami segala kompleksitas dunia ini, kita tak bisa hanya menggunakan satu kotak disiplin ilmiah saja. Pada titik tertentu, batas antara satu ilmu dan lain akan semakin terhubung demi menguak pemahaman yang lebih holistik. Di sinilah peluang psikologi dan humaniora dapat bekerja sama, dan psikolog akhirnya bisa menembus sekat yang membatasi dirinya dengan ranah sosial yang lebih luas dari individu. Sebagaimana ujar Le Bon: “Manusia sebagai bagian dari orang banyak adalah makhluk yang sangat berbeda dari manusia sebagai individu yang terisolasi.” Sebab pada titimangsa ekstrem tertentu, lanjut Le Bon, “Kesadaran individualitasnya lenyap dalam kepribadian alam bawah sadar kelompok.”[3]

 

Sebelum masuk ke jantung pembahasan, ŽIžek memiliki sesuatu yang menarik ketika menyampaikan kuliah tentang kekerasan di Google. Pertama ia menjabarkan tipologi kesadaran pengetahuan: tahu bahwa kita tidak tahu, tahu bahwa kita tahu, tidak tahu bahwa kita tidak tahu, dan tidak tahu bahwa kita tahu. Yang pertama terjadi di alam paling sadar, subjek yang mengalaminya harus bersyukur karena ia telah sesuai dengan kriteria Sokrates tentang orang bijaksana. Yang terakhir, terjadi di alam bawah sadar, dan inilah cara kerja ideologi. ŽIžek mencontohkan jenis yang terakhir itu dengan struktur toilet demi menjelaskan pengaruh ideologi sampai ke ruang paling privat umat manusia.

 

Terdapat tiga tipikal dasar toilet: model Perancis, model Jerman, dan model Anglo-Saxon. Pada Perancis, lobang toilet berada di belakang toilet, maka tinja akan langsung raib secara ajaib; lobang di toilet Jerman berada di depan sehingga mereka bisa lihat tinja itu hilang; Anglo-Saxon tidak peduli di mana lubangnya, karena toiletnya penuh dengan air sehingga tinja bebas mengambang di sana. Mengobservasi ini, ŽIžek pernah bertanya pada kawannya yang seorang arsitek yang kemudian menjawabnya dengan cara utilitarianistik: Jerman akan berkata, bukankah alami untuk menginspeksi kotoranmu?; Perancis akan berkata, bila kotoran aromanya bau, mari kita musnahkan ia!; Anglo-Saxon bakal bilang, hidup begitu praktis. Karena ada air di toilet kami maka ia tak beraroma langu. ŽIžek kemudian beranjak ke Hegel yang bicara soal trinitas Eropa (Anglo-Saxon, Jerman, dan Perancis), kemudian menafsirkan secara jenaka fenomena ideologis itu: revolusi perancis disertai semangat untuk menghilangkan sampah secepat mungkin; Anglo-Saxon agak pragmatis: biarkan ia mengambang, mari kita lihat bagaimana pencapaian utilitarian sampai terhisap lobang; Jerman karena dipenuhi dengan penyair dan ahli metafisik, gemar merefleksikan kotorannya sendiri, dan kemudian mengonsumsinya.

 

 

Ideologi dan Kebenaran Palsu

 

Jembel itu bernama John Nada. Terlunta-lunta di tengah masyarakat urban tanpa pekerjaan. Ia kemudian terdampar di pemukiman tempat para pekerja konstruksi istirah. Tanpa diduga, terjadi kejadian aneh di gereja dekat tempat mereka tinggal. Rupanya gereja tersebut adalah markas organisasi rahasia yang mau mengungkap konspirasi global. Polisi lalu menggrebek tempat itu. John lantas memasuki gereja tersebut lalu menemukan kotak mencurigakan disembunyikan di balik dinding gereja. Kotak itu berisi tumpukan kaca mata hitam. Kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang pantas disebut harta karun, Nada berlalu begitu saja seraya mengambil kaca mata. Justru saat itu, kejadian-kejadian ganjil berturut-turut menimpa Nada.

 

Kaca mata itu memang bisa membuat sekujur kota tampak hitam-putih seperti warna di film bisu, tapi yang mengejutkan adalah, ia juga bisa mengubah gambar yang mampang di papan reklame menjadi kata-kata perintah imperatif. Seperti iklan yang menjajakan barang kemudian berubah menjadi “patuhilah”, iklan destinasi wisata menjadi “bersenggamalah”, isi majalah menjadi tumpukan kata-kata sampah yang tak memberi insentif pada cara berpikir manusia, wanita-wanita di salon kecantikan menjadi mayat hidup, gambar uang menjadi “inilah Tuhanmu”, dan seorang bertuksedo seperti pekerja Wall Street mukanya berubah jadi tumpukan daging dan tulang belulang. Dunia tidak lagi sama bila dilihat dari kaca mata aneh itu.

 

Film itu, They Live (1988), menjadi metafora bagi masyarakat pascamodern yang mabuk konsumerisme. Setiap papan iklan adalah tempat kita melarikan diri ke dalam impian, dalam sekali waktu, kita meloncat ke tengah-tengah perangkap ideologi. Ideologi, senantiasa menyamarkan pesan mereka melalui simbol-simbol. Metode ini disebut dengan disimulasi (dissimulation), ideologi menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang lain dari yang sebenarnya.[4] Bagi Žižek, kaca mata yang dipakai John Nada dalam film itu menggambarkan bagaimana cara ideologi bekerja, yakni dengan menelanjangi benteng yang membatasi makna asli yang disembunyikan ideologi.

 

Film They Live menjadi metafora bahwa sejarah ideologi tidak bedanya dengan episode-episode yang tiap titik terpancang tiang dengan papan reklame besar dengan visual dan teks yang gombal. Fasisme dengan iklan “jadilah bagian dari ras tersuperior dunia!”; kapitalisme dengan “hidup miskin membuatmu menderita? Jadilah kaya dengan kami. Penawaran terakhir!”; komunisme dengan “bosan hidup tertindas? Bergabunglah bersama kami menciptakan kesetaraan nasib. Orang-orang malang, bersatulah!”; feminisme dengan “bosan jadi kelamin kelas dua? Bergabunglah, buktikan bahwa perempuan tidak selemah laki-laki pikirkan! Tunggu apa lagi jeung?”; nasionalisme dengan “jadilah bangsa terbaik di atas planet bumi!”; ideologi agama dengan “tidak ingin dijilat api neraka? Mari berteduh dalam keselamatan kami!”

 

Sekali kita terjebak dalam perangkap rayuan gombal ideologi itu, sulit kita lepas dari bius opium yang dijanjikan. Tampaknya kita perlu merevisi adagium Marx itu: “Ideologi adalah candu masyarakat.” Penjelasan dengan baik disampaikan Jean Baudrillard dalam konsep simulasi dan seduksi. Cara kerja ideologi sepersis iklan real estate di TV: menyeduksi kita bahwa rumah itulah rumah impian, bahwa hidup akan sempurna tanpa kekurangan apapun bila tinggal di sana, dan betapa tidak beruntungnya bila saya tidak punya uang untuk tinggal di sana. Dalam simulasi ini, apa “yang tampak nyata” seolah-olah lebih nyata daripada “yang nyata”; “yang tampak benar” seolah-olah lebih benar dari “kebenaran” per se; fiksi lebih fakta daripada fakta. Atau dengan kata lain, disimulasi.

 

Kesadaran pun disandra. Setiap manusia dianggap bak kuda pacu yang liar, dan satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mengontrol keliaran kuda pacu, adalah dengan menutup matanya. Disimulasi ini kemudian membuat mangsa-mangsanya menggenggam kebenaran palsu—yang dalam terminologi Baudrillard, kita mengimani apa yang “tampak benar” daripada “kebenaran” itu sendiri. Dalam terminologi Marxisme, ini disebut dengan “kesadaran palsu” (false consciousness).

 

Kesadaran palsu menurut George Lucàcs lewat kaca mata Marxisme,[5] terjadi tatkala kelas pekerja salah memahami posisinya di masyarakat karena dominasi dari kelas lain; kesadaran palsu merupakan hasil dominasi dari kelas yang memiliki faktor-faktor produksi. Craib mengonfirmasi ini, dan berkata bahwa dominasi ini membuat kelas pekerja menganggap mereka diberi upah dengan adil, yang sesungguhnya—bila kita memakai kacamata John Nada dalam konteks Marxian—tidak lebih dari sekadar hubungan eksploitasi yang tersamarkan. Untuk mengetahui eksploitasi ini, lanjut Craib, kita harus menggunakan analisis ekonomi sebagai pisau bedah realitas yang mana kapitalisme bekerja.[6]

 

Penjelasan Lucàcs dan Craib itu menempatkan seolah-olah Marxisme adalah juru selamat yang melepaskan belenggu kesadaran palsu kelas pekerja, seolah-olah dengan memakai kaca mata Marxian, kita bisa memahami realitas yang sesungguhnya. Tapi apakah Marxisme—yang justru tidak dianut oleh Marx sendiri—beserta turunannya yakni sosialisme dan komunisme (entah komunisme Lenin atau Trotsky), menawarkan realitas kebenaran bukannya “yang seperti kebenaran”? Apakah yang umumnya dikenal sebagai ideologi kiri itu pun tak membuat pengikutnya terperangkap ke “kesadaran palsu” yang lain?

 

Sayangnya, upaya kaum “kekiri-kirian” itu tidak lebih dari keluar dari kandang macan ke kandang singa; dari satu kebenaran palsu ke kebenaran palsu yang berbeda. Sejak pertama kali dikumandangkan lewat manifesto komunis, berturut-turut kontradiksi mematahkan ideologi pengikut Marx di tengah jantungnya sendiri. Nubuat meletusnya revolusi sosialis di Jerman meleset, Uni Soviet justru merupakan negara pertama yang mengadopsi tawaran Marx.

 

Marxisme sendiri adalah teori historis murni, yang bertujuan memprediksi jalannya perkembangan-perkembangan ekonomi dan politik kekuasaan masa depan dan khususnya tentang jalannya revolusi. Dengan demikian, Marxisme tidak memberikan basis kebijakan bagi Partai Komunis Rusia. Segera Lenin menyadari bahwa Marxisme tidak sanggup membantu dalam lapangan ekonomi praktis. “Saya tidak pernah menemukan seorang sosialis pun yang berurusan dengan persoalan-persoalan macam ini,” ujar Lenin.[7] Slogan “Bersatulah kaum buruh seluruh dunia!" pun tampaknya tidak bisa diadopsi total Lenin yang lebih menggemborkan slogannya sendiri,: “Sosialisme adalah kediktatoran proletariat, ditambah dengan pengenalan mesin listrik yang termodern dan terluas.”[8] Slogan ini kemudian menjelmakan diri ke institusi politik-ekonomi ekstraktif yang justru mensubtitusi peran eksploitator dari pemilik modal ke negara.[9] Sampai hari ini pun, melihat Rusia artinya menatap negara denga korupsi endemik, layanan tak berfungsi, tidak ada aturan hukum, dan ketidaksetaraan yang mencengangkan. Menurut beberapa ukuran, Rusia adalah salah satu negara paling tidak setara di dunia, dengan 87 persen kekayaan terkonsentrasi di tangan 10 persen orang terkaya.[10] Sebuah paradoks mengingat Rusia dikenal sebagai negara komunis yang (harusnya) menjunjung kesetaraan sosial.

 

Dari Utara ke Timur, kita tahu Cina hari ini tidak lebih komunis dari setengah abad silam. Pasca wafatnya Mao, Deng Xiaoping akhirnya bisa melahirkan kebijakan yang agak liberal di negaranya dengan membuat zona perdagangan bebas (Free Trade Area) di beberapa provinsi.[11] Ekonomi yang liberal itu tidak bisa diaplikasikan secara utuh karena beberapa loyalis Mao masih berada di struktur pemerintahan Cina. Meskipun begitu, toh aktivitas ekonomi Cina di konstalasi global menunjukan bahwa mereka berkultur kapitalis. Beberapa intelektual tanpa segan menyebut negara itu “kapitalisme otoriter”—kapitalis secara eksternal tapi otoriter di internal.

 

Marx memang terlalu menggeneralisasi (over generalization) sejarah sebagaimana ideolog lain. Pemahaman bahwa sejarah berlaku singular ternyata lebih terbukti linier. Plot sejarah Marx yang memastikan bahwa setiap episode bakal terlewati secara pasti untuk kembali ke zaman semua “sama rata” tidak terwujud setelah dua abad berlalu. Revolusi misalnya, tidak melulu digerakkan sebagai perjuangan kelas.[12] Di Indonesia, revolusi justru digerakkan oleh ide nasionalisme. Di negara-negara mantan sosialis, orang digerakkan oleh kesadaran. Etnisitas juga merupakan kekuatan, misalnya gerakan revolusi petani Banten yang didokumentasikan Clifford Geertz. Dengan satire Kuntowijoyo bilang, “Mungkin kaum Marxis akan menganggap bahwa semua yang tidak digerakkan oleh perjuangan kelas mempunyai kesadaran palsu.”[13] Pun periodisasi sejarah dari feodalisme ke kapitalisme lalu ke masyarakat komunis ternyata tidak berlaku di Cina. Mao malah membuat loncatan dari feodalistik ke komunistik. Di Jerman sendiri, alih-alih bersekutu melawan kapitalis, Engels—karib intelektual Marx—justru melihat bahwa buruh mengalami borjuisasi. “Kelas buruh Inggris secara aktual menjadi semakin borjuis,” papar Engels. Para buruh tidak menjadi lebih sengsara seperti yang ia duga. Proletar borjuis malah tampak runtang-runtung dengan mesra bersama borjuasi.[14]

 

Ketika cucu Marx lahir, ia pernah menulis sepucuk surat: “Tidak enak menjadi seorang tua di masa ini, karena seorang tua hanya bisa melihat ke masa depan, dan tidak dapat menyaksikannya.” Syahdan, di masa depan itu, nyatanya satu per satu nubuat Marx patah di tengah jalan, impiannya seolah mengibaskan tangan sebagai tanda perpisahan yang sedih. Sebab cita-cita Marx menciptakan masyarakat tanpa kelas tak ada beda dengan upaya Thomas Moore membuat karya “Utopia”: keduanya hanya eksis di atas lembaran kertas. Cita-cita itu sampai sekarang tidak pernah tercapai. Beberapa orang menyebut impian Karl Marx itu hanya utopia yang enak dipakai buat bermimpi. Meskipun begitu, Popper—salah seorang pengkritik Marx yang paling pedas—pun memberi apresiasi: “Marxisme ‘saintifik’[15] sudah mati. Namun perasaan tanggung jawab sosialnya dan kecintaannya pada kemerdekaan harus tetap hidup.”[16]

 

Upaya kaum Marxis beserta varian-variannya untuk menyibak hubungan eksploitasi tidak lebih dari upaya mengganti satu kebenaran palsu dengan kebenaran palsu lain. Alih-alih memberi kaca mata “kritik ideologi”, Marxisme hanya menyuruh para proletar menoleh dari satu papan reklame ke reklame lain.

 

Psikoanalisa sebagai salah satu cabang psikologi, menawarkan kaca mata untuk menginvestigasi relasi antara ideologi dan psikologi. Dalam diskursus psikoanalisa, terdapat jenis kebenaran palsu yang disebut kondisi neurotik. Seperangkat keyakinan, sikap, dan asumsi diadopsi secara keliru dan realitas yang sebenarnya tidak dapat dirasakan oleh seseorang yang neurotik. Singkatnya, seseorang yang neurotik bisa saja percaya bahwa laba-laba adalah makhluk jahat dan berbahaya, ia pun bertindak berdasarkan keyakinan demikian. Kepercayaan ini didorong oleh kekuasaan tak sadar, sebagai misal, tekanan teror yang timbul dari fantasi Oedipus complex, sebagai ancaman timbal balik dari orangtua yang protektif dan berkuasa. Maka, dengan fungsi neurotik pikiran, beberapa konten mental disembunyikan dengan menyubtitusi kesadaran: laba-laba ialah makhluk mematikan. Laba-laba adalah subtitusi dari sosok ibu predator. Pemahaman itu tentu saja tidak tepat; laba-laba tidak mematikan—setidaknya laba-laba di negeri ini. Pun tidak ada seorang ibu yang merupakan laba-laba sungguhan.[17]

 

Penderita neurosis memang tidak dapat mengendalikan ilusi mental yang tersamarkan tersebut. Perilaku hidup mereka kemudian terdistorsi. Penderita neurosis melumpuhkan kemampuan berpikir dan belajar mereka—dalam konteksi ini—akan laba-laba. Maka, neurosis menyedian kebenaran palsu bagi pengidapnya sebagaimana sebuah kelompok sosial mengalami kesadaran palsu yang mereka anggap benar meskipun keliru dalam perspektif yang lain. Kebenaran palsu di level individual disebut dengan neurosis; di level kelompok atau kolektif, ia disebut ideologi.

 

Ideologi dan Titik Buta Kognitif

 

Haringga, remaja yang masih berusia muda itu sudah memakai seragam merah favoritnya. Setelah bercermin memeriksa apakah sudah necis, ia berjalan mencari ibunda. “Ari izin keluar ya, Ma. Ada kerjaan bersama teman.” Ari, panggilan akrab Haringga, kemudian memipit tangan sang ibu lantas menicumnya. “Doain Ari ya, Ma.” Ia pun pergi, lenyap di balik pintu. Ibunya tak menyadari bahwa sang anak berniat pergi ke Bandung dari Jakarta. Ari memang seorang Jakmania (julukan untuk penggemar Persija) militan. Jarak bukan halangan untuk menyaksikan tim sepak bola kegemaran berlaga. Dengan niat tulus menyemangati idola, tibalah Ari di luar stadion Gelora Bandung Lautan Api. Tapi Ari tidak menyangka bahwa ia tidak datang pada saat yang tepat.

 

Pada Minggu siang, 23 September 2018, di luar stadion itu, Haringga Sirla, terkapar bersimbah darah. “Korban yang dikejar sempat meminta tolong pada tukang bakso namun kerumunan mengeroyok korban dengan balok kayu, piring, botol, dan benda-benda lainnya sampai korban meninggal dunia,” ujar kepolisian setempat.

 

Sang ibu pun tidak menyadari, bahwa hari itu merupakan percakapan terakhirnya dengan anak yang lahir dari rahimnya yang rapuh.

 

Haringga bukan korban pertama dari berhala sepak bola tanah air. Merujuk pada data yang dirilis oleh lembaga Save Our Soccer (lembaga swadaya yang memantau isu sepak bola nasional), Haringga merupakan supporter ke-70 yang kehilangan nyawa akibat sepak bola atau korban ke-7 karena rivalitas Persija dan Persib. Tragedi itu menambah daftar panjang kepiluan di tengah situasi olahraga kita yang menunjung sportifitas. Mereka yang berada di luar gelanggang itu memang tidak bisa memahami kenapa kiranya kekejaman semacan itu terjadi. Tapi bagi para pelaku, sesaat sebelum tangan mereka mencabut nyawa, mereka merasa lagi melunasi sesuatu yang dianggap benar. Dan kebenaran macam itu dijustifikasi hanya karena perbedaan preferensi sepak bola, perbedaan warna kostum kebanggan.

 

Haringga dan tragedi sepak bola lainnya adalah contoh ekstrem dari bias kategorisasi sosial (social categorization biases). Bias ini membuat kita menempatkan mereka yang berbeda preferensi sebagai kelompok luar (out-group) dan yang memiliki kesamaan preferensi sebagai bagian dari kelompok (in-group).[18] Pada level ringan, mereka yang berada di kelompok luar bisa saja dikucilkan secara sosial. Pada level politik, outgroup bisa saja dijadikan alamat kebencian. Pada level ideologis, outgroup bahkan menjadi sasaran genosida. Dan semua bisa dibenarkan atas dasar keabidan ideologi.

 

Rivalitas para suporter sepak bola adalah analogi favorit psikologi sosial untuk menjelaskan pertengkaran antar ideologi. Setiap klub sepak bola selalu punya satu tujuan: memasukan bola ke jarring lawan sebanyak-banyaknya; kemenangan mutlak. Suporter sepak bola sendiri, adalah orang-orang yang menjadikan klub favoritnya sebagai pemberi makna akan eksistensinya yang terasa tawar. Semakin besar kebutuhan untuk percaya kepada kemenangan klub favorit, semakin besar agresi yang potensial dimunculkan oleh suporter. Hal yang sama berlaku kepada ideologi dan agama yang terideologisasi.

 

Semakin kental pemujaan terhadap klub favorit, semakin ia terbuka bagi anggota in-group dan semakin defensif ia di hadapan anggota out-group. Bias kategorisasi sosial ini, menurut Robin Rosenberg, akan memisahkan dunia menjadi “kami”[19] vis-à-vis “mereka”. Mereka atau out-group biasanya dilabeli negatif dan diatribusikan sifat yang tak diinginkan. Kami atau in-group secara umum dinilai positif dan cenderung membuat sesama anggota saling membantu, saling percaya, dapat bekerja sama. Maka kita cenderung akan mewajari ketika melihat Bobotoh (julukan suporter Persib) saling membantu meski tidak saling mengenal satu sama lain di jalanan dan seorang suporter Persija dihabisi nyawanya oleh suporter Persib. Dalam arena politik, puritanisme kelompok dalam situasi yang memanas, fenomena “kami” vs “mereka” bisa sepersis konsep politik Carl Schmitt.[20] “Distingsi politik yang paling spesifik adalah antara kawan dan musuh,” ujar Carl Schmitt. Out-group bukan hanya dianggap sebagai orang yang berada di luar “kami”, bahkan ia dilabeli sebagai musuh. Dan musuh ini, bagi Schmitt, bukan sekadar jahat secara moral, atau jelek secara estetika, tetapi mereka harus dilawan karena mereka musuh.

 

Mereka yang tergabung dalam in-group ketika membicarakan keyakinannya, akan cenderung mengalami bias konfirmasi (confirmation biases) dalam pertukaran ide. Sedangkan keyakinan yang dianut oleh out-group cenderung ditanggapi secara bias diskonfirmasi (disconfirmation biases). Chris Mooney membuat artikel menarik soal ini. Baginya, refleks kelahi-atau-lari (fight-or-flight reflexes) tidak hanya berlaku ketika kita berhadapan dengan predator, namun juga terhadap informasi. Dalam artikel bertajuk “The Science of Why We Don’t Believe Science[21], Mooney mengutip Jonathan Haidt seorang psikolog sosial: “Kita mengira diri kita sebagai seorang saintis, tetapi sesungguhnya kita seorang pengacara.” Maksudnya kita senang menghakimi, kita tidak bernalar, melainkan melakukan pembenaran. Penalaran kita justru didorong oleh bias kognitif: bias konfirmasi bekerja dengan membuat kita mengindahkan bukti yang mendukung keyakinan dan bias diskonfirmasi bekerja dengan menghilangkan prasangka kepada pandangan yang tidak sesuai dengan sistem keyakinan kita.

 

Lebih lanjut dari Chris Mooney,:Data sains (bahkan) sangat berisiko misinterpretasi. Memberi data yang relevan dengan keyakinan seseorang, akan melepaskan penalaran yang termotivasi yang sama saja dengan memberi permen kepada mereka.” Sedangkan memberi data saintifik yang berbeda dengan keyakinan seseorang terutama di abad-abad pertengahan nyaris sama halnya dengan menawarkan nyawa untuk dipancung, semisal nasib Copernicus. Eksperimen psikologi klasik pada 1979 adalah bukti empiris akan hal ini. Para psikolog mengumpulkan beberapa relawan untuk memperdebatkan hukuman mati. Relawan dibagi ke dalam dua kelompok yang terdiri sebagai tim pro dan tim kontra. Hasilnya sangat jelas: tiap pihak bersikap lebih kritis kepada lawan debat ketimbang mempertanyakan bias kognitif yang lagi menjalari dirinya sendiri.

 

Eksperimen lain juga menunjukan hal serupa. Seorang subjek, otaknya dipindai dengan MRI lalu subjek diberikan argumentasi yang bertentangan dengan sistem keyakinan yang subjek anut. Seketika lewat layar monitor, salah satu bagian otak warisan nenek moyang, yakni amygdala, bereaksi. Menandakan bahwa stimulus “kelahi-atau-lari” sedang bekerja. Sejurus kemudian, sang subjek melakukan mekanisme pertahanan diri klasik (denial menurut terminologi Sigmun Freud); sang subjek mengalami bias diskonfirmasi. Sebab, tatkala suatu fakta eviden bertentangan dan mematahkan keyakinan seseorang, mereka kemudian akan mengkonfrontasi fakta tersebut—mereka mungkin akan mempertahankan pandangan keliru mereka dengan lebih gigih daripada sebelumnya. Pada kasus yang lebih ekstrem, penentangan itu bisa menjelma jadi perkelahian secara harfiah, dan nyawa Haringga yang raib, merupakan salah satu korba yang tragis.

 

Mereka yang bersekutu dalam in-group yang terinstitusikan lewat proses ideologisasi kemudian mengalami narsisme secara internal. Narsisme, tidak hanya berada di level individual sahaja, ia pun bisa berada di level organisasional. Mereka tak ubahnya dengan Narcissus yang bercermin di kaki sungai Helicon. Mereka akan memuja sistem keyakinan mereka sendiri dengan gigih. Seperti Narcissus yang mati dalam keadaan bercermin di bening sungai, mereka pun rela mati sebagai syahid atau martir dalam perang ideologi yang meledak di abad ke-20 kemarin.[22] Semakin kuat ideologi mereka, semakin tidak lebih istimewa harga dari nyawa. Bahkan, bila para pengeroyok Haringga kalah dan yang meregang nyawa justru suporter Persib, barangkali mereka akan merasa baru saja melunasi tugas luhur dan pergi dengan keadaan tersenyum.

 

Narsisme di level institusi ini juga dapat kita investigasi lewat cara pandang mereka atas perkembangan kultural umat manusia. Kita bisa melihat contoh paling dekat dalam upaya kolonialisasi di era merkantilisme. Para penjelajah dari barat, dengan narsisme mereka, menganggap bahwa budaya milik mereka lebih manusiawi dan lebih beradab daripada kelompok nativis pribumi dan masyarakat adat (indigineous people) yang dicap barbar. Kolonialisme ini kemudian menempatkan pribumi sebagai inferior. Frantz Fanon sendiri menyebut laku tersebut sebagai dehumanisasi. Proses kolonialisasi dianggap proses untuk membentuk makhluk binatang (pribumi) menjadi manusia tulen dengan menerima bahasa baru dan humanisme baru yang diimport dari peradaban barat. Dengan kata lain: narsisme ideologi barat membuat mereka merasa lebih manusia daripada yang non-barat.

 

Di seberang timur peta, kita lalu temukan jazirah tandus di mana Muhammad ‘Abid Al-Jȃbiri katakan bahwa “… apabila bangsa Arab dianggap sebagai ‘materi Islam’, maka Islam adalah ruh bangsa Arab.”[23] Ia mau bilang bahwa sebenarnya sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Arab, begitupun sebalikmya. Dalam dialognya itu, Hasan Hanafi tentu saja berseberangan, sebab Hanafi lebih moderat dan sekuler daripada Jȃbiri. Tetapi yang menarik, toh Hanafi tetap saja mempopulerkan konsep oksidentalisme sebagai anti-tesis orientalisme. Apabila orientalisme menempatkan barat sebagai subjek dan timur sebagai objek, maka oksidentalisme sebaliknya, barat adalah objek dan timur sebagai subjek. Bahkan, Hasan Hanafi menyatakan bahwa orientalisme hanyalah kolonialisme berkedok antropologi. Peradaban timur sesungguhnya juga mau merasa istimewa, sebab planet ini tidak melulu tentang peradaban barat. Oleh Mark Manson, pandangan ini disebut dengan “tirani keistimewaan”.

 

Setiap orang senantiasa merasa istimewa entah dalam hal sekecil apapun. Kita ingin percaya bahwa kita istimewa untuk sesuatu di dunia ini. Narsisme ideologis yang merasuk sampai ke sumsum kelompok identitas lalu mengklaim bahwa golongan mereka memiliki "kelebihan” daripada golongan lain. Hanya karena kebetulan Einstein adalah seorang Yahudi, teori relativitas tidak akan secara ajaib menjadi “fisika Yahudi”. Hanya karena Charles Darwin seorang Kristen, bukan berarti biologi dimiliki oleh Kristen.[24] Dan hanya karena Al-Khawarizmi menginspirasi terbitnya aljabar, bukan berarti ada matematika Islam. Kita cenderung suka mengglorifikasi keberhasilan mereka yang berada dalam keanggotaan ktia (in-group), narsisme ini benar-benar membuat kebenaran palsu menjadikan kita seperti orang buta.

 

Pada narsisme kolektif yang akut, penilaian terhadap identitas akan menjadi teramat muluk. Pada level individual, ini disebut dengan dunning-krueger effect. Pada 1999, David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University meneliti perampok bank yang melumuri mukanya dengan jus lemon untuk menyamar. Perampok pintar itu bernama McArthur Wheeler. Dalam logika Wheeler, karena jus lemon mengandung zat yang sama dengan yang terdapat dalam tinta bening, maka menggunakannya di wajah akan membuat dia tak terlihat CCTV. Dengan kejeniusan itu Wheeler akhirnya membantu polisi menangkap dirinya sendiri.

 

Fenomena psikologi yang dialami McArthur Wheeler disebut Dunning-Kruger Effect, yakni bias kognitif yang menjadikan Wheeler keliru menilai kemampuan dirinya sendiri. Wheeler merasa ide briliannya tak mungkin salah. Efek ini bisa beragam untuk banyak jenis orang, ada yang merasa lebih alim, lebih cantik, lebih pintar, lebih spesial, lebih harum, lebih gaul, lebih kaya, dan kelebihan-kelebihan yang dianggap tidak dimiliki manusia lain. Dunning-Kruger membuat orang menilai diri terlalu tinggi dari kenyataan; ekspektasi lebih muluk dari pengetahuan—sampai titik yang mana imajinasi sudah merajam-rajam realitas yang diam-diam mencibir akal sehat.

 

Pada skala ideologi, dunning-krueger effect menjelma sebagai utopia. Keyakinan bahwa cita-cita muluk yang jauh itu bakal tercapai, dan ideologi yang mereka anut merupakan satu-satunya pemegang otoritas yang dapat menjelaskan kebenaran, adalah semacam tirani keistimewaan. Setiap orang yang menganut ideologi tertentu, merasa bahwa ia adalah satu dari manusia beruntung yang terpilih mengemban misi suci. Setiap anggota in-group dalam kelompok ideologis akan mengganggap sistem keyakinan mereka lebih istimewa daripada mereka yang out-group. Fasisme percaya bahwa ras Arya lebih superior tinimbang ras lain, komunisme percaya bahwa kelak bakal tercipta masyarakat tanpa kelas di atas dunia, feminisme percaya suatu saat nanti laki-laki dan perempuan menjadi setara dalam arti harfiah, kapitalisme percaya bahwa kebebasan sudah merupakan hal final yang tak dapat diganggu gugat, ideologi apokaliptik percaya bahwa mereka akan menerima tiket VIP ke surga dengan meninggalkan bencana di bumi.

 

Setiap sistem keyakinan ideologis kemudian memanifestasikan aspirasinya lewat personifikasi manusia ideal. Walter Benjamin mengatakan dalam teologi historisnya bahwa kelak bakal tiba seorang messiah sang juru selamat yang merampungkan tugas malaikat sejarah. Nubuat kuno Jawa mengenal nama Satrio Pinggit yang kelak membumikan keadilan di ujung zaman edan. Islamisme percaya Imam Mahdi bakal menampakkan diri dalam ledakan armagedon pra-kiamat. Fasisme         Italia melalui Mussolini mengakui bahwa mereka berniat menciptakan prototipe manusia ϋbermensch demi hadirnya individu yang paling agung dan sebuah kehendak nasional untuk berkuasa. Boshevisme dan Stalinisme, sebagaimana yang banyak didokumentasikan sejarawan Bernice Glatzer Rosenthal, berupaya mengadaptasi model ϋbermensch Nietzche ke sosok New Soviet Man.[25] Nasionalisme memunculkan konsep patriotisme sebagai model warga negara bangsa yang baik. Indonesia pada Orde Baru, ketika propaganda Pancasila dipakai untuk menutup kritik, muncul konsep “Manusia Pancasila”. Aspirasi tersebut kemudian menjadi norma yang harus mempedomani seorang individu untuk menjadi utuh.

 

Personifikasi nilai-nilai itu disebut dengan ego-ideal dalam terminology psikoanalisa. Ego atau individu, senantiasa terhubung dengan ego-ideal sebagai aspirasi yang mungkin menyebabkan rasa puas atau penderitaan berdasarkan sejauh mana individu itu hidup sejalan dengan aspirasi nilai yang ia yakini. Normalnya, ego (aku yang apa adanya) terseparasi dengan ego-ideal (aku yang seharusnya). Ketika separasi itu hilang, individu merasakan pengalaman yang membangkitkan kegairahan, sebab ia merasa menjadi versi terbaik dari dirinya. Freud menulis, “Selalu terdapat perasaan kejayaan ketika sesuatu dalam ego selaras dengan aspirasi ego-ideal.”[26]

 

Tatkala seseorang memasrahkan ego atau individualitasnya demi keinginan ideologi, maka saat itu ia melebur dalam kolektifitas. Kieerargard menyebut ini dengan massifikasi. Dalam kolektifitas tersebut, terjadi homogenisasi, setiap orang kehilangan individualitasnya, mereka berubah menjadi angka dan statistik. Kompensasi dari kehilangan individualitas ini ialah gairah, dan kenikmatan karena telah mematuhi kehendak nilai ideologi.[27] Tidak ada lagi keinginan individu, melainkan keinginan ideologis. Mungkin bila menggunakan perpsektif Žižek, ini bermakna bahwa keinginan individu telah dikondisikan oleh keinginan Big Other atau yang-lain Besar (le Grand Autre),[28] yang bila kita pelesetkan, akan sangat dekat dengan tema Orwellian sebagai the Big Brother yang selalu mengawasi pengikutnya.

 

Namun benarkan nubuat ideologi berkenaan dengan kedatangan sang juru selamat akan terjadi? Akankah tatanan dunia baru yang dielu-elukan bakal tumbuh di atas tanah planet ktia? Dalam Open Society, Karl Popper menyebut ini sebagai paham historisisme.[29] Pemahaman ini tumbuh subur abad ke-18 yang dikenal dengan abad Romantik yang saat itu kerap mengangkat tema tentang manusia besar seprerti diusung Nietzche, Thomas Carlyle, penyair Baron, Hegel, dan lain sebagainya. Historisime dalam paham Hegelian adalah finalitas Roh Absolut yang mencapai kesempurnaan di Jerman. Historisisme pseudo-saintifik Marxisme menganggap bahwa fase sejarah secara pasti akan berakhir pada tatanan tanpa kelas—yang telah kita kupas sebelumnya. Dalam rasialisme, orang-orang terpilih menggantikan ras terpilih (pilihan Gobineau) sebagai instrumen takdir yang mewarisi dunia. Sedangkan filsafat historis Marx mengganti orang terpilih ini dengan kelas terpilih, sebagai instrumen pembentuk masayarakat tanpa kelas yang bakal menjadi pewaris dunia.

 

Salah satu juru bicara kapitalisme modern, Francis Fukuyama, dengan percaya diri mendaulat akhir sejarah dengan argumentasi Hegeliannya sebagai euforia kemenangan demokrasi liberal abad silam, ironisnya, ia harus menunda finalitas klaimnya tatkala melihat populisme lagi menggejala sejak tahun 2008. Superioritas ras Arya pun akhirnya runtuh bersamaan dengan keruntuhan fasisme. Sosialisme sendiri masih tetap hidup, bukan karena cita-cita utopisnya tercapai, tetapi karena sanggup mengaduk emosi massa yang selalu butuh alamat kekesalan atas nasib yang mereka anggap malang. Kekuatan ramalan, memang selalu menggoda. Dan inilah kekuatan ideologi menurut Mark Manson: karena ia memberi kita harapan.[30] Sayangnya harapan yang tak terukur secara rasional tak lebih dari sikap Panglossianisme semata. Gagalnya ramalan-ramalan besar ideologis ini, oleh Phillip Tetlock, disebut dengan forecaster illusion.

 

John Kenneth Galbairth, seorang pakar ekonomi Harvard, dengan satire-jenaka berkata: “Ada dua jenis peramal: mereka yang tidak tahu dan mereka yang tidak tahu kalau mereka tidak tahu apa-apa.[31]” Soal kekeliruan meramalkan masa depan ini, Phillip Tetlock adalah nama yang tak boleh dilewatkan. Dalam bukunya “Superforecasting[32], ia berkata bahwa para peramal itu tidak lebih akurat ketimbang simpanse yang melempar panah ke papan dart. Tetlock mengumpulkan 300 pakar untuk menjawab sekitar 80.000 prediksi. Hasilnya, nyaris semua prediksi itu keliru. Setiap demokrat akan bilang bahwa prediksi mereka selalu tepat. Setiap republikan akan membidas dengan berkata puak mereka lebih lihai. Sayangnya, kedua kubu politik tersebut tergolong dari sekian kelompok yang kalah telak melempar panah melawan simpanse.

 

Sebab prediksi yang belandaskan keyakinan ideologis cepat atau lambat akan retak di tengah jalan. Phillip Tetlock mengatakan, untuk menjadi seorang peramal ulung (superforecaster), kita harus menjadi seorang moderat, bukannya seorang yang memiliki afinitas politik-ideologis tertentu. Kunci dari memprediksi masa depan dengan lebih mendekati akurasi adalah keterbukaan pikiran dan keterbukaan pengalaman dan keterbukaan atas kekeliruan; keterbukaaan adalah prasyarat menggusah bias dalam kognisi manusia. Sayangnya, ideologi tidak pernah benar-benar membantu kita berpikiran seterbuka itu. Terutama ideologi yang menjelmakan diri dalam rezim totaliter, sebagaimana ujar Popper, senantiasa menghadirkan model masyarakat tertutup (closed society) alih-alih terbuka. Dan para peramal yang melakukan yang terburuk, kata Steven Pinker, adalah yang memiliki gagasan besar—sayap-kiri atau sayap-kanan, optimistis, atau pesimistis—yang mereka genggam dengan keyakinan yang seakan-akan menginspirasi tapi salah arah.[33] Pinker juga mengutip Tetlock, bahwa biasanya orang-orang ini mengatakan hal seperti “mustahil”, “pasti”, atau “tunggu saja” dengan mata percaya diri yang lucu.

 

Mereka yang menang dalam kompetisi melempar panah ke papan dart adalah yang sangat berhitung, bukan dalam arti menjai jagoan matematika tetapi dalam arti nyaman berpikir dalam perkiraan waktu. Mereka memiliki ciri-ciri kepribadian yang oleh para psikolog disebut “keterbukaan terhadap pengalaman” atau “openness to experience” (keingintahuan intelektual dan selera akan variasi), “kebutuhan akan kognisi” atau “need for cognition” (kesenangan yang diambil dalam aktivitas intelektual), dan “kompleksitas integrative” atau “integrative complexity” (menghargai ketidapastian dan melihat dari banyak sisi).[34] Mereka menampilkan apa yang oleh psikolog Jonathan Baron disebut “pikiran terbuka aktif” atau “active open-mindedness”.[35] Ciri-ciri ini sulit kita dapati pada seorang ideolog. Kita bisa saja sekarang juga datang ke seorang fundamentalis agama dan berkata bahwa Dajjal tidak akan datang maka dengan cepat kita dilabeli ahli neraka, kita datang ke seorang yang dikenal patriot dan bilang bahwa bendera merah putih hanya benda mati yang bisa dijadikan kain pel maka kita akan dituduh anti-NKRI, dan masih banyak contoh lain yang mengikuti.

 

Berpikiran terbuka justru adalah ancaman bagi ideologi. Novel 1984 George Orwell dan Fahrenheit 451 karya Ray Bradburry merupakan ilustrasi menarik untuk hal ini. Negara-negara totaliter dalam sejarah kita punya pelbagai metode untuk meredam literasi publik, sebagaimana Bung Besar Orwellian membatasi vokabulari warganya agar godaan berpikir berkurang dan Fahrenheit Ray Bradburry yang gemar membakar buku sampai abunya pun harus dihangus-lenyapkan dalam lelatu. Para sultan Ottoman dan jajaran pemuka agama mencemaskan melek aksara warganya, maka mereka mengharamkan teknologi cetak Guttenberg.[36] Sejarah literasi dunia pun mengenal istilah bibliosida (seperti festival pembakaran buku di Jerman era Nazi),[37] karena kritisisme tidak aman untuk status quo ideologi.

 

Kritisisme dan ideologi sama-sama memiliki cadangan argumentasi masing-masing. Yang membuat keduanya berbeda dalam perspektif Johan Galtung adalah, kritisime merupakan hasil interaksi nilai dan data sedangkan ideologi merupakan hasil interaksi antara teori dan nilai.[38] (Pada gilirannya, interaksi yang menghasilkan ideologi bakal melahirkan konstruksionisme yang bakal menyeleksi terhadap nilai-nilai dengan teori[39] sebagaimana yang telah kita bahas dalam soal bias konfirmasi tadi.) Keduanya berlawanan sebab teori bersifat potensial sedangkan data bersifat aktual. Tak heran ideologi biasa memobilisasi massa dengan kemungkinan teoritis yang lebih mirip utopia lewat penyebaran histeria, dan data milik para kritisisme mementahkan mobilitas itu dalam satu hentakan statistik. Mark Manson dalam A Book About Hope dengan narasi jenaka dan nakal mengatakan, bila kau pengin membangun agamamu (Manson tidak membedakan agama dan ideologi, ideologi baginya adalah agama tingkat dua yang tingkat kesulitannya sedang-sedang saja), maka jangan biarkan mereka bersikap kritis pada khotbahmu.[40]

 

Pemberangusan buku dan penutupan akses atas mesin cetak akan membuat warga menjadi iliterat dan inumerat (ketidakcakapan melakukan kalkulasi matematis dan memperkirakan probabilitas). Pada era digital ini, penciptaan iliterat dan inumerat bisa dengan membatasi akses digital sebagaimana di Papua mendekati akhir tahun 2019. Penelitian yang berkenaan dengan kasus ini bisa diilustrasikan oleh satu majalah, sebagaimana dikutip Steven Pinker, sebagai “Penemuan Paling Menyedihkan Tentang Otak, Selamanya” dapat menjelaskan ini. Kahan merekrut seribu orang Amerika dari semua lapisan masyarakat, menilai pandangan politik dan kemampuan numerasi mereka dengan kuesioner standar. Responden yang tingkat numerasinya tinggi lebih banyak yang tak terjebak dalam bias kognitif daripada responden dengan tingkat numerasi rendah (inumerat) yang condong tergoda dengan angka-angka absolut.  Fakta lainnya yang dipanen dari penelitian ini adalah bahwa kelompok politik liberal ternyata lebih berprasangka daripada kelompok politik konservatif[41]—yang selama ini kita anggap justru sebaliknya. Dua majalah lain pun merangkum hasilnya: “Sainf Mengonfirmasi: Politik Menghancurkan Kemampuan Anda Mengerjakan Matematika” dan “Bagaimana Politik Membuat Kita Bodoh.”[42]

 

Pembahasan tersebut dengan cepat membuat kita berkonklusi bahwa musuh ideologi adalah nalar, dan demi mengkerangkeng nalar—yang susah payah dimerdekakan oleh pencerahan—, maka ideologi harus menjaga status quo dengan menjaga kebodohan, inumerat, iliterat, dan bias kognitif tetap bertahan. Pinker meringkasnya dalam satu kata: politisasi[43]—dan kata Pinker, gejala ini lagi meningkat dari hari ke hari. Sebab mayoritas manusia adalah makhluk yang cenderung mengandalkan otak perasaan daripada otak berpikir.[44] Otak perasaan, yang intuitif, punya kecondongan untuk berpikir cepat.[45] Dengan kecenderungan ini, para ideolog lantas memainkan dorongan otomatis psikologis semudah menekan tombol emosi, yang oleh Richard Thaler, disebut dalam teori dorongan (nudge theory) dengan metodenya yang bernama choice architecture (arsitektural keputusan), yakni memanfaatkan tendensi psikologis untuk memengaruhi keputusan massa.[46] Sebab mereka yang mengandalkan sirkuit berpikir cepat daripada lambat akan mungkin berlaku irasional bahkan sejak dari tatanan gagasan. Psikologi perilaku sebagai pendatang baru diskursus ekonomi-politik hendak membuktikan bahwa keputusan sehari-hari senantiasa didorong oleh irasionalitas ketimbang rasionalitas—yang bertentangan dengan teori ekonomi klasik.[47] Diskursus psikologi perilaku kemudian menunjukan bahwa perilaku kita bukan hanya bisa dikendalikan tapi juga diprediksi lewat irasionalitas tersebut.[48] Sejarah pada abad silam juga menunjukan bahwa kebangkitan Nazi disertai dengan semangat irasionalitas yang akut.[49]

 

Mereka yang memiliki kerentanan mental, terutama dalam suatu kolektifitas yang telah terhegemoni dengan baik, senantiasa dikondisikan agar fantasi mereka atas impian ideologi dapat terwujud. Žižek dalam film The Perverted Guide to Ideology, berkata bahwa fantasi adalah unsur elementer yang mengkonstitusikan ideologi. Dalam psikoanalisa, lanjut Žižek, fantasi itu pada dasarnya adalah kebohongan yang menutup inkonsistensi gagasan. Bahwa ketika segala sesuatu menjadi buram, kita tidak tahu persis apa yang lagi dihadapi. Fantasi, memberikan jawaban gampang untuk itu. Fenomena ini disebut juga dengan “Black Box”.[50] Dalam keadaan gelap, ketidaktahuan, dan ketidakpastian, kita akan menggenggam apapun yang kita harapkan bisa menyelamatkan kita dari rasa takut itu. Ketidaktahuan kita lantas kita ganti dengan iman. Modus fantasi kemudian bekerja, kata Žižek, dengan mengkonstruksi adegan, bukan adegan di mana “aku” memperoleh keinginanku, tetapi adegan di mana aku mengikuti keinginan liyan, atau dalam konteks ideologi ini, keinginan yang-lain besar (Le Grand Autre).

 

Sekali ideologi menyelamatkan orang-orang malang yang merasa makna hidupnya tawar dan tidak memiliki tujuan dalam dunia ini dan berkehendak hati lemah, akan sulit mereka berpaling dari sistem nilai itu. Dan inilah kemampuan ideologi, massa dimobilisasi bukan oleh rasionalitas, melainkan kemampuan afeksi; bukan oleh kekuatan logos, melainkan mitos. Lantas bagaimana ideologi dapat memainkan dadunya di atas meja judi raksasa kekuasaan politik-ekonomi? Kalndermans punya jawaban dalam “kerangka aksi kolektif”-nya[51], berkenaan dengan seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan seseorang bergerak apabila terpenuhi tiga komponen dasar: rasa ketidak-adilan, elemen identitas, dan faktor agensi. Pertama-tama, massa harus merasakan kemarahan, kemudian perasaan marah dan benci yang dirasakan bersama akan membangun empati lantas menyusun identitas, dengan gegabah mereka akan teriak “kami adalah korban!”, kemudian lahirlah faktor agensi, yakni keyakinan bahwa massa itu punya kekuatan merealisasikan kehendak ideologis. Di sinilah kita akan sadari bahwa politik identitas yang dimainkan oleh ideolog, tak lebih dari mata dadu di atas meja kekuasaan.

 

 

Asal-usul Identitas

 

Apakah yang membuat manusia menjadi spesies paling berkuasa—untuk tidak mengatakan di jagad raya ini—di planet ini? Harari dengan lugas menjawab: kemampuan mengelola fiksi, atau dalam terminologi Harari, realitas intersubjektif.[52] Kemampuan mengelola fiksi ini memampukan kita menyusun narasi dalam alam bawah sadar kita tentang siapa kita dan harus menjadi apa kita. Identitas kita dibangun oleh cerita. Kita mendengarnya dari orang tua, guru, atau tetangga, dan budaya umum jauh sebelum kita mengembangkan kemandirian intelektual dan emosional yang diperlukan untuk mempertanyakan dan memverifikasi cerita-cerita semacam itu. Pun, bukan hanya identitas pribadi kita tetapi juga institusi kolektif kita ternyata dibangun di atas cerita.[53] Karena itulah kita percaya kepada fiksi, kepada identitas yang tersusun oleh fiksi. Agak terdengar Cartesian, tapi barangkali memang benar, bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan tentang kita.

 

Tapi dari mana datangnya gagasan bahwa “kita adalah kita”? Gagasan itu selalu datang dari orang lain, dari eksternal, eksterioritas jiwa kita. Dalam perspektif Lacanian, persoalan identitas dapat dipadankan dengan stadium cermin (le stade du mirroir).[54] Pada fase ini, ego terkalang masalah identifikasi diri, ia masih berada di ranah sebelum ego mengerti bahasa. Fase ini terjadi ketika balita baru berusia enam bulan. Saat itu bayi belum bisa mendiferensiasikan dirinya dengan yang lain. Pengertian tentang diri kemudian didapat melalui citra (imago) dirinya di depan cermin. Cermin di sini tentu saja adalah metafora, ia bisa berupa bayangan diri kita di bening air atau refleksi-diri sang bayi di mata ibu. Dengan kata lain, identitas diri diperoleh melalui citra visual dari orang lain. Sebagaimana Sartre kecil yang merasa dirinya anak manis di hadapan sang ibu tetapi menjadi sejelek kodok di depan kakeknya.[55] Eksistensi lahir dari tatapan orang lain, ujar Sartre. Identitas kita yang pertama adalah pemberian orang lain, dan pengertian pertama tentang diri kita, adalah salah pengertian—dan inilah keterasingan pertama manusia.

 

Beranjak dewasa, kita pun mulai matang mendiferensiasi diri kita dengan orang lain. Kita kemudian menemukan jawaban dari soal “siapa kita” dengan cara-cara tradisional, dengan mengacu pada sesuatu yang dipandang paling bermakna bagi mereka. Orang-orang saling mengidentikkan diri melalui asal-usul (keturunan), agama, bahasa, sejarah, nilai-nilai, adat-kebiasaan, dan institusi-institusi. Orang-orang menggunakan politik tidak hanya demi kepentingan-kepentingan mereka semata, tetapi juga untuk menyatakan identitas. Kita hanya tahu siapa kita ketika kita mengetahui siapa “yang bukan kita” dan itu hanya dapat diketahui melalui “dengan siapa kita berhadapan”.[56] Kita tahu bahwa kita Islam ketika menyadari bahwa kita berhadapan dengan non-Islam, di waktu lain, kita tahu bahwa kita seorang Indonesia ketika dihadapkan dengan fakta bahwa ada negara Arab, kita tahu kita spesies manusia ketika berhadapan dengan ayam atau anjing.

 

Segala sesuatu bisa menjadi bagian dari diri kita. Kita barangkali pernah mendengar istilah “isi kamarmu adalah kau”, “apa yang kau pikirkan adalah kau”, “apa yang kau katakana adalah kau”, dan “apa yang kau makan adalah kau”. Dalam soal terakhir ini, Claude Fischler, antropolog Spanyol, merupakan salah satu tokohnya. Ia mengeluarkan teori yang disebut dengan inkorporasi atau peleburan antara si pemakan dan makanan. Relasi antara makanan dan subjek yang menyantapnya bahkan bisa menjelma jadi identitas kolektif. Manusia dinyatakan sebagai keanggotaan suatu bidang atau kelompok dengan menyertakan apa yang ia makan. Misal untuk bangsa Perancis, orang Italia adalah “macaronis” dan orang Inggris adalah “roastbeef” dan Beglia adalah “pemakan keripik”. Bagi bangsa Inggris, Perancis adalah “si kodok”. Amerika menyebut Jerman dengan “krauts”. Bahkan kita pun mengasosiasikan siapa diri kita dengan makanan apa yang menjadi makanan pokok bagi kultur kita.[57]

 

Penciptaan narasi atas “siapa kita” adalah hal yang tak tertampikkan. Bagi Jonathan Gottschall, manusia lebih sebagai homo victus ketimbang homo saphiens; manusia adalah binatang yang senang berkisah (storytelling animal).[58] Gottschall menggunakan animasi Heiden dan Simmel untuk membuktikan ini. Seratus dua puluh responden dikumpulkan untuk mengamati sebuah animasi. Hanya tiga yang menjawab dengan nalar, sisanya menafsirkan animasi tersebut dengan cerita cinta, komedi, atau petualangan, yang menjawab masuk akal menyatakan bahwa animasi tersebut tak lebih dari bentuk-bentuk geometri. Ini membuktikan bahwa ketika para responden melihat animasi itu, mereka bukan lagi mengonsumsi fiksi, melankan sedang menciptakan fiksi—dan ini adalah apa yang kita lakukan sehari-hari. Ini juga menjelaskan kenapa kita takut nonton film horor. Kita tahu bahwa hantu-hantu dalam film tidak nyata, tetapi perasaan takut itu hnyata, dalam hal ini ini, otak lebih berperan sebagai partisipan daripada penonton. Kita mengalami ini juga ketika nonton film Dilan. Ketika Dilan cemburu, otak kita ikut cemburu. Jika Milea sedih, otak kita ikut sedih. Karena itu, orang memperlakukan sesuatu yang palsu sebagai yang nyata. Dan perlakuan ini semakin mendesak pada waktu-waktu terpuruk dan terburuk.

 

Pencarian akan asal-usul, pengasosiasian diri dengan sesuatu yang dekat dengan kita, memberikan makna pada eksistensi yang tawar, memberikan tujuan, memberikan jawaban praktis atas segala kebingungan kita setelah terlempar dalam dunia asing ini. Orang-orang senantiasa mencari in-group mereka sendiri agar tidak merasa sendirian, jauh di dalam diri tiap orang, menjadi berbeda adalah keasingan yang harus dielakkan. Orang-orang ingin meneguhkan identitas mereka bukan karena itu benar-benar identitas mereka, melainkan karena mereka ingin percaya bahwa identitas itu adalah kebenaran. Kita ingin fiksi-fiksi yang indah adalah kenyataan yang senyata-nyatanya.

 

Namun pada waktu-waktu ini, identitas tidak lagi dipandang sekadar sebagai kekangenan pada asal-usul diri. Identitas justru tampil di panggung depan kita sebagai kecamuk pertengkaran. Setelah perang atas nama ideologi mendingin bersamaan dengan mencairnya tembok Berlin, kebutuhan bersengketa antara manusia diambil alih oleh perbedaan identitas atas nama klaim kemurnian, sentimentalitas identifikasi diri, dan perang “kami” lawan “mereka”. Pembagian antara Timur dan Barat, antara Islam dan non-Islam, antara Amerika dan non-Amerika, antara harapan dan kekecewaan mengemuka, memobilisasi kekuatan politik dari waktu ke waktu, menggelinding bagai bola salju yang siap meledak kapan saja. Para intelektual menyebut ini sebagai gejala populisme.

 

Dan atas maneuver populisme di pemilu Amerika serta Indonesia baru-baru ini, fenomena Brexit, dan kemenangan Bolsonaro di Brazil, politik identitas kemudian menerima labeling negatif pun destruktif. Tapi Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial, berkata bahwa politik identitas sebenarnya baik-baik saja. Ia menjadi eliksir atau racun secara relatif tergantung dari bagaimana ia digunakan. Ia mengambil contoh Amerika soal dua konteks itu. Politik identitas konstruktif terlihat dari gerakan hak-hak sipil yang dipimpin Marthin Luther King, yang menegaskan pada banyak orang dengan mengatakan banyak dari kita yang tidak punya kesetaraan akses, kesempatan, dan martabat, dan hal-hal itu patut diperjuangkan. Politik identitas destruktif digunakan dalam rangka memobilisasi permusuhan dengan menuduh bahwa “mereka” (out-group) adalah jahat, bahwa mereka penyebab masalah—dan ini berbahaya untuk masyarakat multi-entik.

 

Dengan demikian, baik atau buruknya politik identitas tergantung dari bagaimana ia digunakan di ruang publik.

 

 

 

Politik Identitas yang Regresif

 

Semua bermula sejak kehadiran manusia di muka bumi. Homo saphiens, atau manusia dalam arti modern, kita tahu bukanlah satu-satunya spesies hominid pertama di planet ini. Kita juga kenal homo Neanderthal, homo denisova, homo erectus, homo soloensis, dan jenis-jenis lain. Lantas ke manakah hominid lain? Kenapa kita, homo sapiens, adalah satu-satunya yang tersisa di sini? Salah satu teori mengerikan soal ini adalah, leluhur kitalah yang memusnahkan mererka.

 

Sisa-sisa jejak sejarah membuktikan bahwa kita tak lebih dari pengembara dari dataran Afrika. Kita berkelana ke berbagai penjuru dunia, mencari tempat menetap jauh sebelum gandum mendomestifikasi manusia. Dalam kelana itu, bisakah kita menyebut leluhur kita “makhluk yang bijaksana”? Temuan antropologis dan arkeologis mengungkap banyak fakta yang tidak mendukung kebijaksanaan kita. Sejak saphiens berekspansi dari Afrika Timur ribuan tahun silam, spesies kita telah banyak membawa kepunahan: 90% hewan besar Australia dan 75% mamalia besar Amerika yang bila ditotal sejumlah dengan 50% hewan di planet ini.[59] Hingga kini, tak terhitung berapa jenis fauna yang nyaris punah di ujung tombak keserakahan kita.

 

Tidak sampai di situ. Manusia juga merupakan makhluk yang dengan keji dan tega bisa menjadi pembantai spesiesnya sendiri. Secara gamblang Tinbergen berkata: “...di antara ribuan spesies yang suka berperang, manusia adalah satu-satunya yang cara berperangnya sangat merugikan… Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat menjadi pembunuh massal, satu-satunya yang canggung dalam komunitasnya sendiri. Mengapa begini?”[60] Kerugian yang dilakukan sesama manusia telah memakan banyak korban, dan peningkatan jumlah pertempuran terus menambah angka-angka itu. Q. Wright membuat riset untuk mengumpulkan data-data pertempuran dalam masing-masing negara sejak 1480.[61] Hasilnya mencengangkan kita, karena jumlah pertempuran di rentang waktu tahun 1900-1940 adalah 892, yang artinya sepuluh kali lipat lebih banyak tinimbang abad ke-16. Dalam empat abad, manusia telah mengembangkan dirinya menjadi makhluk paling berbahaya bagi spesiesnya sendiri.

 

Statistik itu barangkali merupakan afirmasi atas adagium Thomas Hobbes bahwa manusia adalah “serigala bagi manusia lain”. Meskipun metafora serigala itu begitu sopan, sebab serigala bahkan tidak memangsa sesama spesiesnya. Pada suatu seminar, seorang moderator berkata pada Harari untuk menegaskan ceramahnya, bahwa ini artinya manusia merupakan predator. Harari dengan gaya khasnya membalas, bahwa alih-alih predator, pembunuh berantai (serial killer) adalah sebutan yang lebih pas. Sampai sini, kita mungkin perlu merevisi adagium Hobbes itu: “manusia adalah ‘manusia’ bagi manusia dan spesies lain”—kata “manusia” dianggap sudah cukup mewakili kebuasan kita.

 

Tapi kita kemudian tergoda untuk bertanya: bila manusia memangsa spesies lain, itu adalah untuk bertahan hidup. Tapi bila manusia memangsa spesiesnya sendiri? Itu adalah tanda akan superioritas, yang didasari oleh fiksi. Perang suku misalnya, yang bila kita tengok ke Arab sebelum kedatangan Muhammad sang nabi, dianggap sebagai olahraga nasional. Merampok suku lain adalah tindakan mulia, justru merampok suku sendiri adalah laku biadab. Dan di sana terdapat aturan emas khas Hammurabi, yakni Vendetta atau Lex Tallionis, aturan yang melegitimasi balas dendam tanpa eufimisme sama sekali. Aku boleh membunuh sukumu, dan sebagai persamaan kau boleh balas membunuh salah seorang dari sukuku.[62] Kemudian lahirlah lingkaran setan balas dendam yang tak usai-usai. Fenomena “manusia memangsa manusia lain” tidak selesai sampai di level tribal saja, ia meningkat seiring dengan evolusi institusi sosial kita. Tatkala negara bangsa muncul dengan nasionalismenya, seknario “semua melawan semua” (bellum contra omnes) kembali terjadi dalam puncak kekuasaan ultra-nasionalisme Nazi yang memuja kemurnian identitas. Seperti De Javu yang tidak pernah berakhir. Kita pun belum menghitung soal perang agama, yang apabila kita buka teks sejarah soal ini, tak ayal lagi halaman demi halaman akan menyemburkan darah. Dan semua itu terjadi atas nama keyakinan.

 

Inilah politik identitas destruktif, upaya mengangkat identitas sebagai alasan bertempur. Yang paling berbahaya, apabila identitas ini diletakkan di ujung tombak demi tujuan kemurnian abadi. Dalam hal ini, segala sesuatu yang bukan tergolong dalam identitas kita adalah musuh. Bias kategorisasi sosial akhirnya didasarkan atas distingsi politik Carl Schmitt bahwa segala sesuatu di luar “kami” adalah musuh, bukan sekadar lawan. Kita sudah membahas soal dunning-krueger effect bahwa setiap identitas selalu merasa identitas mereka paling istimewa. Persoalannya, keistimewaan mereka dianggap terberikan agar dapat menumpas lawan. Sebagaimana politik bisa dijadikan sebagai dasar identitas, komunisme merasa istimewa atas dasar diktatorisme proletariat dengan musuh bersamanya: pemodal; kapitalisme yang mengistimewakan pemodal dan pasar bebas dengan musuh utamanya: otoritarianisme negara; fasisme dengan keistimewaan ras Arya dengan musuh bersama: Yahudi; nasionalisme dengan keistimewaan bangsa dengan musuh bersama: kolonialisme; feminism dengan keistimewaan perempuan dengan musuh bersama; misoginisime dan seksisme; dataisme dengan mengistemawakan algoritma dengan musuh bersama: tradisionalisme ala kaum Ludditte yang teknophobia; antroposen yang mengistimewakan manusia dengan musuh bersama: kosmos; Islamisme yang mengistimewakan umat (dalam arti ekslusif) dengan musuh bersama: kafir (dalam arti ekslusif); LGBTQ yang mengistimewakan cinta yang bebas dengan musuh bersama: seksime yang homophobia; dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Dan semakin dunia maju bersama roda modernisasi serta globalisasi, semakin dunia terlipat sebagaimana origami oleh teknologi informasi dan transportasi, bayang-bayang populisme identitas justru kian mengental di belakang jejak kita. Euforia kemenangan demokrasi liberal yang pernah dikumandangkan Francis Fukuyama pada akhir abad ke-20 kemarin kemudian ia revisi dalam wawancaranya dengan Washington Post pada awal 2017. Akhir sejarah (end of history) Fukuyama tertunda, dan ia berkata bahwa ada kemungkinan sistem ekonomi pasar bebas kita bakal kembali ke pasar ekonomi tradisional melihat krisis global 2008 dan membuncahnya kekecewaan besar kepada demokrasi liberal. Kata kunci soal politik identitas dalam soal ini adalah politik regresi, kerinduan berbahaya menuju masa lalu.

 

Kekecewaan ini dijabarkan dengan lengkap oleh Harari, bahwa kekosongan yang meruah karena krisis kepercayaan pada demokrasi liberal, kini mulai diisi diam-diam oleh fantasi nostalgia akan beberapa kejayaan lokal masa lalu. Donald Trump menggabungkan seruannya dengan isolasionisme Amerika di bawah janji “Make America Great Again”—seolah Amerika Serikat pada tahun 1980-an atau 1950-an adalah masyarakat sempurna yang seharusnya ditiru oleh orang Amerika pada abad ke-21. Kaum Brexiteers bermimpi menjadikan Inggris sebagai kekuatan independen, seola-olah mereka masih hidup di zaman Ratu Victoria dan seolah-olah “isolasi yang indah” merupakan kebijakan yang dapat dijalankan untuk era internet dan pemanasan global. Para elit Tiongkok telah menemukan legasi kekaisaran dan Konfusian asli mereka, sebagai suplemen atau bahkan menggantikan ideologi Marxis yang meragukan yang mereka impor dari Barat. Di Rusia, visi resmi Putin bukanlah membangun oligarki yang korup, melainkan membangkitkan kembali kekaisaran Tsar yang usang. Satu abad setelah Revolusi Bolshevik, Putin menjanjikan kembalinya kejayaan tsaris kuno melalui pemerintahan otokratis yang didukung oleh nasionalisme Rusia dan kesalehan ortodoks yang menyebarkan kekuatannya dari Baltik ke Kaukasus.[63]

 

Lebih lanjut oleh Harari, mimpi nostalgia serupa yang menggabungkan keterikatan nasionalis dengan tradisi agama mendukung rezim di India, Polandia, Turki, dan banyak negara lain. Tidak ada tempat di mana fantasi-fantasi ini lebih ekstrem selain di Timur Tengah, di mana para Islamis ingin menyalin sistem yang didirikan oleh Nabi Muhammad di Madinah 1.400 tahun silam, sementara kaum fundamentalis Yahudi di Israel melampaui kaum Islamis, dan bermimpi untuk mundur 2.500 tahun ke zaman Alkitab. Para anggota pemerintah Israel yang berkuasa berbicara secara terbuka tentang harapan mereka untuk memperluas perbatasan Israel modern agar lebih cocok dengan Israel Alkitab, untuk memulihkan hukum alkitabiah, dan bahkan membangun kembali kuil kuno Yahweh di Yerusalem di tempat masjid Al-Aqsha berdiri.[64]

 

Steven Pinker pun mengomentari akhir sejarah Fukuyama sebagai meme tak terkendali yang menyebabkan munculnya “akhir” alam, sains, iman, kemiskinan, nalar, uang, manusia, pengacara, penyakit, pasar bebas, dan seks. Walaupun di arus balik politik identitas ini, sepertinya yang benar-benar hadir adalah “The End of Fukuyama” itu sendiri.  Maka, Fukuyama pun menjadi karung tinju sebagai editorialis, mengomentari sedikit berita buruk terbaru, dengan gembira mengumumkan “kembalinya sejarah” dan munculnya alternatif terhadap demokrasi seperti teokrasi di dunia muslim dan kapitalisme otoriter di Cina. Demokrasi sendiri tampak mundur ke dalam otoritarianisme dengan kemenangan populis di Polandia dan Hongaria dan perebutan kekuasaan oleh Recep Erdogan di Turki dan Vladimir Putin di Rusia (kembalinya sang sultan dan tsar). Para pesimis sejarah, dengan kebiasaan tradisional mereka, mengumumkan bahwa gelombang ketiga demokratisasi telah memberi jalan kepada “arus bawah”, “resesi”, “erosi”, “kemunduran”, atau “kehancuran”. Demokratisasi kata mereka, adalah sebuah kesombongan orang barat yang memproyeksikan selera mereka ke seluruh dunia, sedangkan otoritarianisme tampaknya cocok untuk kebaikan sebagian besar umat manusia.[65]

 

Fenomena ini disebut Pinker sebagai kebangkitan populisme sebagia gerakan politik yang merusak pondasi pencerahan; populisme, atau lebih tepatnya populisme otoriter, adalah kontra-pencerahan. Populisme menyerukan kedaulatan langsung “rakyat” suatu negara (biasanya suatu kelompok etnis, kadang-kadang suatu kelas), yang diwujudkan dalam seorang pemimpin yang kuat yang secara langsung menyalurkan keutamaan dan pengalaman otentik mereka.[66]

 

Populisme otoriter dapat dilihat sebagai dorongan kembali dari sifat-sifat alami manusia—tribalisme, otoritarianisme, demonisasi, pemikiran zero-sum—terhadap institusi pencerahan yang dirancang untuk mematahkannya. Dengan berfokus pada suku daripada individu, ia tidak memiliki tempat untuk perlindungan hak-hak minoritas atau promosi kesejahteraan manusia di seluruh dunia. Dengan tidak mengakui bahwa pengetahuan yang dimenangkan dengan susah payah adalah kunci untuk perbaikan masyarakat, ia merendahkan “elit” dan “ahli” dan meremehkan pasar gagasan, termasuk kebebasan berbicara, keragaman berpenedapat, dan pengecekan fakta atas klaim yang mementingkan diri sendiri. Dengan menghargai pemimpin yang kuat, populisme mengabaikan pembatasan dalam sifat alami manusia, dan meremehkan institusi yang diatur oleh pemerintahan dan pemeriksaan konstitusional yang membatasi kekuatan aktor manusia yang cacat.[67]

 

Populisme bukan hanya datang dari politik sayap-kanan yang kita kenal dalam wajah agama dan tribalisme, ia pun bisa datang dari sayap-kiri yang mewakili kelas ekonomi tertentu yang merupakan residu dari sosialisme yang bergentayangan. Segala masalah kemudian dilihat bukan sebagai tantangan yang tak terhindarkan di alam semesta yang acuh tak acuh tetapi seabgai desain jahat elit berbahaya, minoritas, atau orang asing. Mengenai kemajuan, lupakan saja: populisme melihat ke belakang ke zaman di mana bangsa itu secara etnis homogen, nilai-nilai budaya dan agama ortodoks berlaku, dan ekonomi didukung oleh pertanian dan manufaktur, yang menghasilkan barang-barang nyata untuk konsumsi lokal dan untuk ekspor. [68]

 

Apa artinya segala kemajuan yang digembar-gemborkan Pinker apabila populisme otoriter nyatanya menarik mundur kereta pencerahan itu menuju belakang masa lalu? Populisme otoriter ini mengancam kemajuan humanisme yang memerdekakan nalar, sains, dan humanisme. Populisme menjadi lawan nalar dengan mengemukakan gerakan anti-nalar. Pertentangan ini lantas menggiring wacana hadirnya epistokrasi yang akan membawa kita kembali ke Plato, yang sayangnya, justru juga mendewakan politik regresif di balik intensinya atas Republik (bukan republik dalam artian filsuf-filsuf Romawi).[69] Selain itu, populisme banyak menafikan fakta-fakta saintifik semisal perubahan iklim yang dapat kita lihat lewat Trump yang menarik diri dari organisasi internasional yang memperjuangkan perubahan iklim.[70] Populisme otoriter juga memiliki genealogi moral berbeda dengan humanisme. Apabila moralitas sekuler humanisme melandaskan diri kepada etika utilitarianisme, populisme justru menyandarkan diri pada moralitas teistik dan moralitas romantik yang keudanya berdasarkan etika deontologis.

 

Filosof dan ahli saraf kognitif, Joshua Greene, berpendapat bahwa banyak keyakinan deontologis berakar pada intuisi primitif tribalisme, kemurnian, kejijikan, dan norma-norma sosial, sedangkan kesimpulan utilitarian muncul dari renungan atau kogitas rasional. (Dia bahkan telah menunjukan bahwa kedua jenis pemikiran moral itu melibatkan otak yang sangat emosional dan rasional—deontologis mewakili pertama, utilitarian mewakili yang kedua.) Paham deontologis menjadi landasan etis bagi moralitas teistik bahwa moralitas harus terdiri dari kepatuhan atas perintah Tuhan, yang ditegakkan oleh imbalan dan hukuman supranatural di dunia ini atau di akhirat. Yang kedua adalah heroisme romantik, bahwa moralitas terdiri dari kemurnian, keotentikan, dan kebesaran seseorang atau suatu bangsa. Meskipun heroisme romantik pertama kali diartikulasikan pada abad-19, ia dapat kita temukan dalam gerakan-gerakan populisme otoriter, neo-fasisme, neo-reaksioner, dan kanan-alternatif.[71]

 

Akar intelektual dari banyak varian populisme otoriter ini, bila kita boleh memilih yang paling mewakili kebalikan dari humanisme, tiada orang lain selain filolog Jerman yakni Friedrich Nietzche. Dengan jenaka Pinker menyindir suara-suara genosidal Nietzche yang seperti berasal dari remaja transgresif yang terlalu banyak mendengarkan musik death metal, atau parodi luas dari penjahat James Bond seperti Dr. Evil di Austin Power. Kita bisa melihat dengan jelas Nietzche membantu mengilhami militerisme romantik yang mengarah ke Perang Dunia I dan fasisme yang mengarah ke Perang Dunia II. Meskipun Nietzche sendiri bukan seorang nasionalis Jerman atau anti-Semit, bukan kebetulan bahwa kutipan-kutipannya melompat ke halaman Nazisme klasik: Nietzche secara anumerta menjadi filsuf istana Nazi. (Pada tahun pertamanya sebagai kanselir, Hitler berziarah ke Arsip Nietzche, yang dipimpin oleh Elisabeth Forster-Nietzche, saudari sang filsuf dan eksekutor sasta itu.) Mussolini mengadaptasi kehendak untuk berkuasa Nietzche menjadi kehendak nasional untuk berkuasa, dan Bolshevisme dan Stalinisme mengadopsi ȕbermansch menjadi New Soviet Man sebagai prototype manusia ideal dalam perspektif mereka.

 

Sebagaimana tirani keistimewaan yang menjangkiti ideologi sama halnya berlaku pada para pengikut identitas tertentu. Narsisme ini bisa kita lihat sebagai keyakinan terpanjang dan tertua sepanjang sejarah peradaban manusia kita. Semenjak munculnya peradaban-peradaban regional paling tua sekitar 4.500 tahun sebelumnya, planet bumi ini dianggap sebagai pusat alam semesta, dan setiap peradaban regional memiliki sebuah wilayah nasionalnya sendiri sebagai pusat bumi. Di mata orang-orang Asia Timur, Cina menjadi “Kerajaan Tengah”. Sementara itu, menurut orang-orang India, pusat bumi terletak di apa yang kini disebut dengan Uttar Pradesh dan Bihar. Kaum muslim memandang Mekkah sebagai pusat bumi, sedangkan Yahudi dan Kristen menunjuk Yerusalem sebagai pusatnya. Peradaban-peradaban yang telah punah sebelum 1400 juga memliki pusat-pusat bumi tersendiri. Bagi orang-orang Yunani Hellenik, pusat ekumene adalah Delphi; bagi orang-orang Mesir Firaun, pusatnya adalah delta Nil; bagi orang-orang Sumeria, pusatnya adalah Kota Nippur di Lembah Tigris-Eufrat bawah.[72]

 

Kau; Aku yang Lain

 

Sejarah manusia memang begitu panjang dan berliku. Telah jauh kita lari ke masa depan dan sampai saat ini usaha untuk mendefinisikan siapa diri kita, untuk apa kita di sini, dan tujuan apa yang kita emban di tempat asing ini, selalu merupakan pertanyaan yang menagih jawaban, yang selalu berujung dengan ketidakpuasan. Kita memang makhluk pemikir, binatang rasional. Untuk jutaan tahun, leluhur kita tinggal dalam gerombolah kecil berjumlah lusinan. Untuk sepuluh sampai seratus ribu tahun, leluhur tinggal dalam suku tribal yang terdiri dari ribuan orang. Ketika tulisan dan uang diciptakan sekitar lima ribu tahun silam, kita kemudian menyaksikan kerajaan, dinasti, dan nasion[73] berdiri megah mentereng di atas halaman sejarah kita yang usang.

 

Namun apakah sejarah evolusi peradaban manusia itu melulu tentang pertikaian yang bila kita lacak segala akar historisya tak lebih dari perang saudara semata? Semangat kesukuan dan kebangsaan yang kita temukan dalam nasionalisme, justru membuat kita lebih perhatian dan memperlakukan orang tak dikenal dengan cara baik. Manusia, kita tahu, tidak bisa menjalin relasi pertemanan yang ikrab lebih dari seratus lima puluh orang. Lebih dari itu, adalah semacam pertemanan yang sekadar lewat. [74] Dengan demikian, 99% populasi dunia adalah asing satu sama lain. Contohnya saya dari Sulawesi Utara. Tapi saya bahkan tidak mengenal 1% populasi Sulawesi Utara yang jumlahnya 4.5 juta, saya tak kenal 450 ribu orang itu. Daftar pertemanan FB saya saja tidak sampai lima ribu orang dan isinya tidak semua orang Sulawesi Utara. Saya bahkan tidak kenal 45 ribu orang yang ada di Sulawesi Utara (0.01% populasi Sulut). Tapi saya rupanya bisa bersikap ramah bila ketemu dengan orang Sulawesi Utara, bahkan membantu mereka dengan spontan dan penuh empati di tempat asing semisal bandara Soekarno Hatta.

 

Oleh Harari, identitas tidak melulu jadi alasan yang memisahkan orang-orang dengan garis demarkasi yang tajam dan kejam. Ia mengangkat contoh nasionalisme dalam sebuah seminarinya. Hal terbaik dalam nasionalisme moder, ungkap Harari, adalah mereka menemukan cara untuk membuat orang-orang mempedulikan hal-hal yang terjadi kepada orang-orang yang tak mereka kenal dan mempedulikan tempat-tempat yang mereka tak pernah pijaki. Ini hal yang unik. Dalam komunitas tribal, setiap orang punya potensi intimitas yang intens satu sama lain mengingat ruang lingkup yang lebih kecil. Tapi bangsa merupkan komunitas orang-orang tak saling mengenal, yang tak saling bertatap muka setiap hari. Soekarno ketika berteriak membela Papua agar tak jatuh dari cengkeraman kolonial rupanya tak pernah sama sekali menginjakkan kaki di ufuk timur Indonesia itu.[75] Dua orang perempuan yang ketemu di sebuah pemakaman bisa saling berpegangan tangan dan berpelukan meredakan nyeri hati mengetahui bahwa anak mereka meninggal dalam bencana tsunami.

 

Harari lantas membedakan antara foreigner (orang asing) dan stranger (orang tak dikenal) di mana foreigner adalah mereka yang bicara dengan bahasa berbeda, tampak berbeda, dan kultur berbeda. Sedangkan stranger adalah mereka yang tampak sama, kultur sama, tapi kita tidak kenal secara personal. Dalam konteks nasionalisme, pengakuan atas bahasa nasional merupakan salah satu aset krusial membangun persahabatan di antara jurang perbedaan. Dalam contoh Papua misalnya, yang ktia tahu terdiri dari pelbagai macam suku dan bahasa, justru, bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu di sana. Sekali lagi dalam konteks nasionalisme, tujuannya adalah untuk membuat setiap individu dapat bekerja sama dengan orang-orang tak dikenal. Politik identitas yang lebih luas, bila kita mencari genus alih-alih differentia (sifat pembeda)[76], semisal kelas spesies manusia, maka kita temukan bahwa humanisme tidak hanya menjembatani perbedaan antara orang tak dikenal, tetapi juga semua orang asing. Bila kita perluas lagi konotasinya, bahwa kita adalah bagian dari kosmos, kita akan menemukan bahwa kosmologi membantu kita menjembatani perbedaan antara pelbagai macam spesies dan makhluk di jagad raya ini.

 

Walaupun dalam genealogi DNA kita, tak dapat dipungkiri bahwa kita cuma anak cucu dari para pengembara yang berekspedisi dari Afrika Timur beberapa puluh ribu tahun silam. Kita tak lebih dari saudara jauh. Tak penting apakah Anda seorang penganut teologi kreasionisme atau biologi evolusioner, kita hanya imigran abadi yang berjalan terlalu jauh untuk menemui amnesia. Bila Anda seorang beriman, maka Anda tak lebih dari imigran surga lagi transit di planet hijau manis ini. Bila Anda pengikut Darwin, maka Anda hanyalah anak cucu pembunuh berantai yang menyulap ekosistem leluhur menjadi gedung-gedung besi sebesar Goliath. Para penduduk Amerika Timur ternyata adalah anak cucu Aasia yang bermigrasi melewati Alaska bersama Rusia 20.000 tahun lalu. Tes DNA dan perbandingan bahasa menunjukan relevansi yang menghubungkan antara populasi pribumi Amerika asli dan Asia Timur.[77] Harari juga berkata, bahwa paprika bukan asli Hongaria, tapi dari Mexico. Apakah Hongaria perlu memboikot sepak bola karena itu ciptaan Inggris? Apakah mereka harus berhenti membaca Tolstoy dan Harry Potter? Bila mereka melakukan itu, maka kitab suci juga harus dibakar hangus karena diciptakan oleh Timur Tengah dan dibawa kesana lewat imigran. Dalam satu ceramahnya, Goenawan Mohamad tak sepakat dengan tajuk Samuel Huntington yakni benturan antar peradaban, baginya, peradaban bukan saling berbenturan melainkan saling meminjam satu sama lain.[78] Nyatanya, bukan peradaban-peradaban yang bertikai, melainkan negara-negara yang saling mengisoloasi diri secara eksesif.[79] Sedangkan klaim ideologi dan agama, tak lebih dari faktor yang mengeskalasi intensitas konflik, segalanya hanya demi tujuan politik atau ekonomi.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUS(T)AKA

 

 

Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan dari: Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta: INSIST. 2001.

Ariely, Dan. Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decision. US: HarperCollin. 2008.

Armstrong, Karen. 1996. A Biography of the Prophet. London: Victor Gollancz, The Cassel Group. Wellington House.

Baez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2013.

Camus, Albert. 2015. Pemberontak, diterjemahkan dari The Rebel. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.

Craib, I. Classical Social Theory. Oxford: Oxford University Press. 1994.

Dobelli, Rolf. Art of Thinking Clearly. UK: Sceptre. 2013.

Freud, Sigmund. Group Psychology and the Analysis of  the Ego. London: Hoghart. 1921.

Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, diterjemahkan dari: The Anatomy of Human Destructiveness. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gottschall, Jonathan. 2012. The Storytelling Animal: How Stories Make Us Human. US: Houghton Mifflin Court.

Hanafi, Hasan & Muhammad ‘Abid al-Jȃbiri. Dialog Timur dan Barat, diterjemahkan dari: Jiwar al-Masyriq wa al-Maghrib: Talihi Silsilah al-Rudud wa al-Munaqasat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2015.

Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Adab untuk Abad ke-21, diterjemahkan dari 21 Lessons for 21 Century. Global Indo Kreatif: Manado.

Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: A Brief History of Tommorow. United States: HarperCollins.

Harari, Yuval Noah. 2017. Saphiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, diterjemahkan dari: Saphiens.. Jakarta: KPG.

Hassan, Fuad. Psikologi-Kita & Eksistensialisme: Berkenalan Dengan Psikologi Kita dan Kami. Jakarta: Komunitas Bambu. 2014.

Homer, Trevor. 2006. The Book of Origins: Discover the Amazing Origins of the Clothes we Wear, the Food Eat, the People We Know, the Languages We Speak, and The Things We Use. London: Potrait.

Huntington, Samuel P. 1996. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, diterjemahkan dari: Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Jakarta: Qalam.

Kahneman, Daniel. Thinking Fast and Slow. New York: Farrar, Straus, & Giroux. 2011.

Klandermans, B. Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial. Terjemahan oleh Helly P. Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

Krogerus, Mikael & Roman Tschappeler. The Decision Book: Fifty Model for Strategic Thinking. Switzerland: Kein & Aber AG Zurich. 2011.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1995.

Le Bon, Gustave. Psikologi Revolusi (Psychology of Revolution). Terj: Irlinda & Dhyaningrum. Yogyakarta: FORUM. 2017.

Lucàcs G. History and Class Consciousness. Manchester, UK: Merlin. 1971.

Madjid, Nurcholis, Azyumardi Azra, dkk. Dekonstruksi Islam MazHab Ciputat. Bandung: Zaman Wacana Mulia. 1999.

Manson, Mark. Everything is F*cked: A Book About Hope. HarperCollin. 2019.

Mooney, Chris. The Republican Brain: The Science of Why They Deny Science and Reality. US: Wiley. 2012

Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Rajawali Press.

Paul E. Willis. Learning to Labour: How Working Class Kids Get Working Class Job. Saxton House: Westmead. 1977

Pinker, Steven. Enlightment Now (Pencerahan Sekarang Juga): Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan. Terj dari Enlightment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. Manado: Global Indo Kreatif. 2019.

Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, terj dari: The Open Society and Its Enemies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008

Rahardjo, M. Dawam. Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakrata: LP3ES. 1992.

Sarundajang, S.H. Geostrategi Provinsi Sulawesi Utara Sebagai Pintu Gerbang Indonesia di Gerbang Pasifik. Yogyakarta: UGM. 2011.

Susanto F. Anthon. Kritik Nalar Hukum. Bandung: Logos Publishing. 2015.

Tetlock, Phillip & Dan Gardner. Superforecasting: The Art and Science of Prediction. United States: Crown Publisher. 2015.

Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, diterjemahkan dari: Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm

Thaler, Richard. Nudge: Improving Decision About Healt, Wealth, and Happiness. USA: Yale University Press. 2008.

Thompson, John B. Analisis Ideology Dunia. Diterjemahkan dari: Studies in the Theory of Ideology oleh Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD. 2014.

Vanier, Alain. 2000. Lacan. Paris: Les Belles Lettres.

Wright, Q. 1965. A Study of War. 2nd ed. Chicago: Univ. of Chicago Press.

Žižek, Slavoj. 1999. The Thicklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology. London: Verso.

 



[1] Lebih lengkapnya baca: Le Bon, Gustave. Psikologi Revolusi (Psychology of Revolution). Terj: Irlinda & Dhyaningrum. Yogyakarta: FORUM. 2017.

[2] Analogi sederhana ini saya dapat dari profesor filsafat UNPAR, Bambang Sugiharto, dalam pengantarnya di Susanto F. Anthon. Kritik Nalar Hukum. Bandung: Logos Publishing. 2015. Hlm, 3-4.

[3] Le Bon, Gustave., Ibid. hlm, 82.

[4] Untuk pembicaraan lebih lanjut tentang ccara di mana pemahaman dapat “diblok” dan “dibatasi”, lihat: Paul E. Willis. Learning to Labour: How Working Class Kids Get Working Class Job. Saxton House: Westmead. 1977, dan Thompson, John B. Analisis Ideology Dunia. Diterjemahkan dari: Studies in the Theory of Ideology oleh Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD. 2014. Hlm, 183-184.

[5] Lucàcs G. History and Class Consciousness. Manchester, UK: Merlin. 1971.

[6] Craib, I. Classical Social Theory. Oxford: Oxford University Press. 1994.

[7] Kutipan Lenin ini diambil dari karangan Sidney dan Beatrice Webb, Soviet Communism (edisi kedua, 1937), hlm. 650.

[8] Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, terj dari: The Open Society and Its Enemies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hlm, 383.

[9] Lebih lanjut soal institusi ekstraktif yang bakal menyebebkan kemiskinan dan penindasan, bisa dibaca di Acemoglu, Daron & James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal (Why Nation Fall). Gramedia: Jakarta. 2014.

[10] Credit Suisse, Global Wealth Report 2015, 53; Filip Novokmet, Thomas Piketty dan Gabriel Zucman, “From Soviets to Oligarchs: Inequality and Property in Russia 1905-2016”, Juli 2017, Database Kekayaan dan Pendapatan Dunia; Shaun Walker, “Unequal Russia”, Guardian, 25 April 2017.

[11] Zona perdagangan tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan peluang geopolitiknya. Lihat: Sarundajang, S.H. Geostrategi Provinsi Sulawesi Utara Sebagai Pintu Gerbang Indonesia di Gerbang Pasifik. Yogyakarta: UGM. 2011.

[12] Popper berkata bahwa doktrin “kubu miskin” melawan “kubu kaya” dalam konteks Perang Dunia Pertama hanya digunakan untuk menjustifikasi agresi. Lihat Popper, Karl R. Loc. Cit. hlm, 392.

[13] Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1995. Hlm, 48.

[14] Popper, Karl R. Loc, Cit. hlm, 476-477.

[15] Saintifikasi teori Marx lahir pada masa-masa ketika positivism baru saja merangkak. Di bawah bayang-bayang positivisme, bahkan seni yang merupakan sesuatu yang subtil hendak diketatkan menjadi displin ilmiah yang seolah-olah bisa diukur. Tak heran, ideology—yang memang bila kita lacak genealoginya dari Perancis bertujuan untuk menyusun sesuatu yang ilmiah—Marxisme dengan percaya diri menyatakan kematian kapitalisme di masa depan. Dan di masa sekarang, kita justru melihat kapitalisme sebagai satu-satunya yang berdiri menyisihkan para penantangnya dari abad silam. Marxisme saintifik dengan kata lain: utopis.

[16] Popper, Karl. Loc, Cit. hlm, 506.

[17] Lihat R.D. Hinshelwood, “Ideology and Identity”, Journal of Psychoanalysis, Culture, and Society Vol. 14. (2009). Hlm, 136-137.

[18] Lebih lanjut bisa ditelusuri di Greenwood, L. Effect of Social Categorization, Repressive Coping, and Differential Status on Intergroup Discrimination (disertasi doktoral, Lehigh University, 1966).

[19] Dimensi psikologi dalam frasa “Kami” berbeda dengan “Kita”. “Kami” mengandaikan adanya pihak ketiga yang disebut “mereka”. Sedangkan “Kita” mengandaikan bahwa segala subjek merupakan bagian dalam universalitas. Maka “Kami” adalah kesatuan partikular. Lebih lanjut bisa dibaca di: Hassan, Fuad. Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Jakarta: Komunitas Bambu. 2014.

[20] Carl Schmitt adalah “filsuf istana Nazi”. Pemahaman politiknya memang tak bisa dilepaskan secara sosio-historis dengan karakter fasisme yang memuja perang sebagai seni. Bila kita lacak lebih dalam genealoginya, kita akan temukan residu pemahaman Herakleitos, Hegelianisme, dan Nietzchean di dalamnya.

[21] Lebih lanjut soal ini, bisa dibaca di: Mooney, Chris. The Republican Brain: The Science of Why They Deny Science and Reality. US: Wiley. 2012. Buku ini mengulas tentang sikap Republikanisme yang menolak fakta-fakta saintifik semisal perubahan iklim dan lain sebagainya.

[22] Ben Anderson punya penjelasan menarik soal ini ketika menyoal nasionalisme: “Mati demi tanah air, yang biasanya bukan pilihan kita sendiri, dianggap memiliki keagungan moral; kematian semacam itu tak dapat ditandingi oleh ‘mati demi Partai Buruh’, ‘mati demi Perhimpunan Dokter Amerika’, bahkan mungkin ‘mati demi Amnesty Internasional’ pun masih kalah gebyar, sebab partai, asosiasi, dan organisasi lainnya bisa kita masuki dan bisa kita tinggalkan semau kita. Sementara itu nuansa ‘mati demi revolusi’ (atau demi ‘perjuangan’) bergantung pada sejauh mana ia dirasa ‘murni’ secara mendasar.” Lebih lanjut dalam Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan dari: Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta: INSIST. 2001. Hlm, 218.

[23] Hanafi, Hasan & Muhammad ‘Abid al-Jȃbiri. Dialog Timur dan Barat, diterjemahkan dari: Jiwar al-Masyriq wa al-Maghrib: Talihi Silsilah al-Rudud wa al-Munaqasat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2015. Hlm, 82.

[24] “Einstein adalah seorang Yahudi, tetapi teori relativitas bukanlah ‘fisika Yahudi’… Darwin adalah seorang Kristen dan bahkan memulai studinya di Cambridge dengan tujuan menjadi pendeta Anglikan. Apakah ini menyiratkan bahwa teori evolusi adalah teori Kristen?” pungkas Harari dalam: Harari, Yuval Noah. 21 Adab untuk Abad ke-21, diterjemahkan dari 21 Lessons for 21 Century. Global Indo Kreatif: Manado. 2018. Hlm, 208-209.

[25] Pinker, Steven. Enlightment Now (Pencerahan Sekarang Juga): Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan. Terj dari Enlightment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. Manado: Global Indo Kreatif. 2019. Hlm, 597-598.

[26] Freud, Sigmund. Group Psychology and the Analysis of  the Ego. London: Hoghart. 1921. Hlm, 131.

[27] Lihat R.D. Hinshelwood, “Ideology and Identity”, Journal of Psychoanalysis, Culture, and Society Vol. 14. (2009). Hlm, 141-142.

[28] Žižek menyinggung ini ketika bicara soal ketidakpenuhan subjek yang terkonstitusikan. Ia berkata, dengan meminjam perspektif Lacanian, bahwa hasrat subjek selalu berasal dari hasrat orang lain (désir la désir). Hasrat tersebut berasal dari sesuatu yang ia sebut yang-lain Besar. Sebagai misal, kita menghasrati mobil mewah karena orang lain menghasrati hal yang serupa. Dan hasrat orang lain itu dikondisikan oleh kuasa pemegang modal dalam kultur kapitalisme. Lebih lanjut baca: Žižek, Slavoj. The Thicklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology. London: Verso. 1999. Hlm, 109.

[29] Popper, Karl R. Loc. Cit. Hlm, 12-13.

[30] Manson, Mark. Everything is F*cked: A Book About Hope. HarperCollin. 2019.

[31] Dobelli, Rolf. Art of Thinking Clearly. UK: Sceptre. 2013.

[32] Lebih lanjut bisa ditelusuri di: Tetlock, Phillip & Dan Gardner. Superforecasting: The Art and Science of Prediction. United States: Crown Publisher. 2015.

[33] Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 491-493.

[34] Ibid. hlm, 494.

[35] Mereka yang berpikiran terbuka aktif akan bersepakat bahwa orang harus mempertimbangkan bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka, bahwa lebih bermanfaat untuk memperhatikan mereka yang tidak setuju dengan Anda daripada memperhaitkan mereka yang setuju, bahwa mereka tidak sepakat mengubah pikiran adalah tanda kelemahan, mereka tidak sepakat bahwa intuisi merupakan panduan terbaik, bahwa tidak sepakat bertahan dengan keyakinannya apabila ada fakta bertentangan. Lebih lanjut bisa dibaca di: Baron, J. Why teach Thinking? Aplied Psychology. 1993. Hlm, 191-237.

[36] Pada 1800 mungkin hanya 2 atau 3 persen rakyat Ottoman yang mengenal aksara, porsi itu jauh lebih rendah dari Inggris, yang 60 persen warga pria dan 40 persen wanitanya bisa menulis dan membaca. Tingkat keaksaraan rakyat Belanda dan Jerman bahkan lebih tinggi. Rakyat Ottoman bahkan masih tertinggal jauh dari negara-negara yang tingkat pendidikannya paling rendah, misalnya Portugal, yang hanya 20 persen dari total warga prianya mengenal aksara. Lebih lanjut bisa dibaca di: Acemoglu, Daron & James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal (Why Nation Fall). Gramedia: Jakarta. 2014. Hlm, 245.

[37] Lebih lanjut bisa dibaca di: Baez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2013.

[38] Rahardjo, M. Dawam. Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakrata: LP3ES. 1992. Hlm, 29-31.

[39] Madjid, Nurcholis, Azyumardi Azra, dkk. Dekonstruksi Islam MazHab Ciputat. Bandung: Zaman Wacana Mulia. 1999. Hlm, 265.

[40] Manson Mark. Loc. Cit. Baca chapter 4: How to Make All Your Dreams Come True.

[41] Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 482-486.

[42] E. Klein, “How Politics Make Us Stupid,” Vox, 6 April 2014; Chris Mooney, “Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math,” Grist, 8 September 2013.

[43] Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 497.

[44] Manson, Mark. Loc. Cit. Baca chapter Newton Law Emotion.

[45] Lebih lanjut soal cara berpikir cepat dan lambat bisa dibaca di: Kahneman, Daniel. Thinking Fast and Slow. New York: Farrar, Straus, & Giroux. 2011.

[46] Metode ini memanfaatkan kecenderungan manusia yang menyukai pilihan aman dan menghindari risiko (risk/loss aversion). Ideologi dianggap sebagai jala keselamatan psikologis bagi mereka yang rentan secara mental. Sedikit dorongan akan membuat mereka menjadi loyalis sejati. Kita bisa lihat contoh ini dari tren MLM dan gerakan hijrah yang pertama-tema ingin menyelamatkan stabilitas mental alih-alih stabilitas material (kenyamanan material dalam kasus MLM atau keselamatan eskatologis—yang lagi-lagi material—dalam konteks pemuda hijrah). Thaler, Richard. Nudge: Improving Decision About Healt, Wealth, and Happiness. USA: Yale University Press. 2008.

[47] Richard Thaler memiliki argumentasi agak lain ketimbang rekan-rekannya di blok ekonomi irasional. Thaler hendak menyatakan bahwa setiap orang menggunakan rasionalitasnya dengan cara yang tidak konsisten, sehingga harusnya perilaku mereka bisa diprediksi.

[48] Ariely, Dan. Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decision. US: HarperCollin. 2008.

[49] Yang membedakan Nationalist Socialist Mussolini dan Hitler dengan gerakan revolusioner klasik, ialah tentang pewarisan nihilism, mereka memilih mendewakan yang irasional untuk menggantikan pendewaan nalar. Mussolini memanfaatkan Hegel, adapun Hitler memanfaatkan Nietzche; dan keduanya menggambarkan secara historis, beberapa ramalan ideologi Jerman. Nihilisme ini dapat dilihat pada awal tahun 1914, tatkala Mussolini mengemukakan agama suci anarki (the holy religion of anarchy) dan menyatakan dirinya sebagai musuh dari segala agama macam Kristen. Sementara bagi Hitler, orang ini terkenal karena menyejajarkan Tuhan dengan Valhaal. Selanjutnya baca: Camus, Albert. 2015. Pemberontak, diterjemahkan dari The Rebel. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea. Hlm, 328-329.

[50] Krogerus, Mikael & Roman Tschappeler. The Decision Book: Fifty Model for Strategic Thinking. Switzerland: Kein & Aber AG Zurich. 2011. Hlm, 118.

[51] Klandermans, B. Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial. Terjemahan oleh Helly P. Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

[52] Harari, Yuval Noah. 2017. Saphiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, diterjemahkan dari: Saphiens.. Jakarta: KPG.

[53] Harari, Yuval Noah. 2019. Loc. Cit. hlm, 306-307.

[54] Martin Suryajaya,  “Slavoj Zizek dan Pembentukan Identitas Subjektif Melalui Bahasa”, https://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa/#_ftn2, diakses pada 8 Desember 2019.

[55] Wibowo, A. Setyo & Majalah Driyarkaya. 2011. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius. Hlm, 24-33.

[56] Huntington, Samuel P. 1996. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, diterjemahkan dari: Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Jakarta: Qalam. Hlm, 7-8.

[57] Claude Fischler, “Food, Self, and Identity”. Sage Publication. 1988.

[58] Lebih lanjut bisa dibaca di: Gottschall, Jonathan. 2012. The Storytelling Animal: How Stories Make Us Human. US: Houghton Mifflin Court.

[59] Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: A Brief History of Tommorow. United States: HarperCollins. Hlm, 48.

[60] Tinbergen, N. 1968. Of War and Peace in Animal and Men. Science. 160:1411-1418

[61] Pada tahun 1480-1499, jumlah pertempuran adalah 9. 1500-1599, berjumlah 87. 1600-1699, berjumlah 239. 1700-1799 berjumlah 781. 1800-1899 berjumlah 651. 1900-1940 berjumlah 892. Baca Wright, Q. 1965. A Study of War. 2nd ed. Chicago: Univ. of Chicago Press dan Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, diterjemahkan dari: The Anatomy of Human Destructiveness. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[62] Ideologi ini disebut dengan ideologi Muru’ah oleh Karen Armstrong. Lebih lanjut baca: Armstrong, Karen. 1996. A Biography of the Prophet. London: Victor Gollancz, The Cassel Group. Wellington House.

[63] Harari, Yuval Noah. 21 Adab untuk Abad 21. Loc. Cit. hlm, 15-16.

[64] Ibid.

[65] Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 270.

[66] Ibid. hlm, 448.

[67]Ibid. hlm, 448-449.

[68] Ibid. hlm, 449.

[69] Plato menganggap bahwa kemajuan terutama kea rah demokrasi adalah fenomena degenerasi moral atau pembusukan moral. Ia menganggap masyarakat harus kembali ke pemerintahan ideal yang berada di masa lalu, dan pemimpin negara harus diserahkan kepada para filsuf. Dengan pedas Popper mengkritik Plato sebagai eks-pegulat yang haus kekuasaan. Tentu saja Plato mau negara dipimpin oleh filsuf karena hanya ada tiga filsuf zaman itu, dan yang paling dikenal adalah Plato sendiri. Lebih lanjut baca Popper, Karl. Loc. Cit.

[70] Kita bisa baca ini dalam Mooney, Chris. Loc. Cit.

[71] Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 562.

[72] Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, diterjemahkan dari: Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm, 682.

[73] Mochtar Prabtotingi mengatakan bahwa nasion (nation) berbeda dengan bangsa (people) di mana bangsa adalah kolektivitas sosiologis dan nasion sebagai kolektivitas politis. Lihat Mochtar Prabotinggi, “Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia”, Orasi Ilmiah, pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan. Lembaga Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 22 Juni 2000. Hal, 3.

[74] Baca Harari, Yuval Noah. Sapiens. Loc. Cit.

[75] Anderson, Bennedict. Loc. Cit. hlm, 185.

[76] Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Rajawali Press.

[77] Homer, Trevor. 2006. The Book of Origins: Discover the Amazing Origins of the Clothes we Wear, the Food Eat, the People We Know, the Languages We Speak, and The Things We Use. London: Potrait. Hlm, 189.

[78] Sebagaimana kata Arnol Toynbee: “Setiap kebudayaan manusia yang pernah eksis senantiasa menebarkan pengaruh pada kehidupan manusia sesudahnya. Pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan yang telah mati mungkin masih bersifat potensial. Pengaruh peradaban-peradaban Sumero-Akkadia dan Mesir Firaun yang terus berlanjut mengilustrasikan hal tersebut. Namun demikian, pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah mati mengalir secara tidak langsung. Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, diterjemahkan dari: Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm, 167.

[79] Ibid. hlm, 770.