Estimasi membaca: 1 jam
DARI IDEOLOGI KE
POLITIK IDENTITAS:
SEBUAH INVESTIGASI
PSIKOLOGIS
“Di
bawah pemerintahan orang-orang yang
benar-benar
mulia, pena akan menjadi lebih perkasa
daripada
pedang.”
(Lord Lytton)
“Lidah,
hanya untuk menyampaikan kata-kata.
Sedangkan
kebenaran, bisa disampaikan
dengan
berbagai cara ….”
(Faisal Oddang)
Abad
ke-21 adalah ruang pengap, gigil oleh embusan AC, dan temaram dengan satu buah
lampu artifisial bergoyang bagai pendulum di atas satu-satunya meja di ruang
kecil itu. Di sana lagi duduk seorang tersangka yang bertanggung jawab atas
segala kekisruhan yang menimpa umat manusia di belakang jejak zaman. Namanya:
“ideologi”. Di paragraf pertama ini, kita telah terlebih dahulu memborgolnya
dengan “teks”; menempatkan ideologi di bawah sorot mata suryakanta yang dibikin
Conan Doyle. Lalu kita masuk, sebagai detektif yang siap menelusuri intensi
tersembunyi tersangka kita, menyingkap kabut yang menyerupai tirai kelabu di
wajah rahasianya, mencari celah di mana dosa ideologi bisa kita ungkap lantas
kita antarkan ke depan meja pengadilan sejarah sebagai satu-satunya hakim yang
sanggup mengadilinya. Ini bukan langkah yang sederhana. Sebab ideologi adalah
ahlinya manipulasi pikiran, ia punya kemampuan menggoda imajinasi terliar kita
dengan fantasinya, pun dapat menciptakan kesetiaan segera setelah kita tunduk
termakan oleh rayuan yang ia sodorkan.
Detektif
kita, yang bernama “psikologi”, memang bisa diragukan soal kapasitasnya memblejeti
ideologi. Sebab psikologi mulanya merupakan disiplin ilmiah yang fokus kepada
persoalan mikroskopik, yakni individual saja. Sedangkan ideologi beserta
antek-anteknya, yaitu politik identitas, senantiasa bermain di arena sosial.
Ini tantangan pertama kita, bagaimana kiranya psikologi sebagai ilmu yang individual
membongkar problematika ideologi serta politik identitas sebagai fenomena
sosial yang makroskopik?
Namun
kita melihat peluang itu dari Gustave Le Bon, bersama karyanya, Psikologi Revolusi, yang terbit pada
1895 dengan ketat membedah mentalitas massa dalam kecamuk revolusi Perancis.[1] Ia mengamati bagaimana
perilaku sosial bisa berjangkit dari satu orang ke orang lain seperti infeksi
yang dapat melenyapkan individualitas lantas menimbulkan irasionalitas massal.
Le Bon barangkali sedikit di antara satu dua gelintir psikolog klasik yang
membuat kemungkinan yang terang benderang atas bertemunya psikologi dan
fenomena sosial ketemu di ruang diskursus yang sama.
Masyarakat
ilmiah kita pun kiwari ini telah menyadari bahwa suatu disiplin ilmu tidak bisa
dipisahkan dengan ilmu lain. Lambat laun, pada titik tertentu, satu gagasan
akan melebur bersama gagasan lain. Upaya interdisipliner ini muncul sebagai
kontra-hegemoni atas postulat bahwa kita harus memecah dunia ini menjadi
komponen-komponen kecil agar dapat dipahami. Kira-kira seperti dengan memahami
batu bata kita bisa memahami berbagai bentuk rumah: dari bagian ke keseluruhan.[2] Inilah pandangan yang
disebut “reduksionistik” atau “atomistik” khas paradigma Cartesian-Newtonian.
Hari-hari ini, pandangan semacam itu ditumbangkan oleh temuan para tokoh
“quantum” yang ketika menganalisis hingga level sub-atomik, ternyata yang
ditemukan bukanlah “materi” dalam arti “partikel”, melainkan semacam
gelombang—lebih tepatnya “kemungkinan-kemungkinan interkoneksi”. Dalam ungkapan
Heissenberg (salah satu tokohnya): “Dunia ternyata tampil bagai jaringan
peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan.” Seumpama komposisi musik
Beethoven yang apabila kita pecah-pecah menjadi nada-nada tunggal dari
keseluruhan maka keindahan magisnya akan raib. Dengan kata lain, keseluruhan
atau totalitas menentukan arti bagian-bagiannya, bukan malah sebaliknya.
Demi
memahami segala kompleksitas dunia ini, kita tak bisa hanya menggunakan satu
kotak disiplin ilmiah saja. Pada titik tertentu, batas antara satu ilmu dan
lain akan semakin terhubung demi menguak pemahaman yang lebih holistik. Di
sinilah peluang psikologi dan humaniora dapat bekerja sama, dan psikolog
akhirnya bisa menembus sekat yang membatasi dirinya dengan ranah sosial yang
lebih luas dari individu. Sebagaimana ujar Le Bon: “Manusia sebagai bagian dari
orang banyak adalah makhluk yang sangat berbeda dari manusia sebagai individu
yang terisolasi.” Sebab pada titimangsa ekstrem tertentu, lanjut Le Bon,
“Kesadaran individualitasnya lenyap dalam kepribadian alam bawah sadar
kelompok.”[3]
Sebelum
masuk ke jantung pembahasan, ŽIžek memiliki sesuatu yang menarik ketika
menyampaikan kuliah tentang kekerasan di Google. Pertama ia menjabarkan
tipologi kesadaran pengetahuan: tahu bahwa kita tidak tahu, tahu bahwa kita
tahu, tidak tahu bahwa kita tidak tahu, dan tidak tahu bahwa kita tahu. Yang
pertama terjadi di alam paling sadar, subjek yang mengalaminya harus bersyukur
karena ia telah sesuai dengan kriteria Sokrates tentang orang bijaksana. Yang
terakhir, terjadi di alam bawah sadar, dan inilah cara kerja ideologi. ŽIžek
mencontohkan jenis yang terakhir itu dengan struktur toilet demi menjelaskan
pengaruh ideologi sampai ke ruang paling privat umat manusia.
Terdapat
tiga tipikal dasar toilet: model Perancis, model Jerman, dan model Anglo-Saxon.
Pada Perancis, lobang toilet berada di belakang toilet, maka tinja akan langsung
raib secara ajaib; lobang di toilet Jerman berada di depan sehingga mereka bisa
lihat tinja itu hilang; Anglo-Saxon tidak peduli di mana lubangnya, karena
toiletnya penuh dengan air sehingga tinja bebas mengambang di sana.
Mengobservasi ini, ŽIžek pernah bertanya pada kawannya yang seorang arsitek
yang kemudian menjawabnya dengan cara utilitarianistik: Jerman akan berkata,
bukankah alami untuk menginspeksi kotoranmu?; Perancis akan berkata, bila
kotoran aromanya bau, mari kita musnahkan ia!; Anglo-Saxon bakal bilang, hidup
begitu praktis. Karena ada air di toilet kami maka ia tak beraroma langu. ŽIžek
kemudian beranjak ke Hegel yang bicara soal trinitas Eropa (Anglo-Saxon,
Jerman, dan Perancis), kemudian menafsirkan secara jenaka fenomena ideologis itu:
revolusi perancis disertai semangat untuk menghilangkan sampah secepat mungkin;
Anglo-Saxon agak pragmatis: biarkan ia mengambang, mari kita lihat bagaimana
pencapaian utilitarian sampai terhisap lobang; Jerman karena dipenuhi dengan
penyair dan ahli metafisik, gemar merefleksikan kotorannya sendiri, dan
kemudian mengonsumsinya.
Ideologi dan Kebenaran Palsu
Jembel
itu bernama John Nada. Terlunta-lunta di tengah masyarakat urban tanpa
pekerjaan. Ia kemudian terdampar di pemukiman tempat para pekerja konstruksi
istirah. Tanpa diduga, terjadi kejadian aneh di gereja dekat tempat mereka
tinggal. Rupanya gereja tersebut adalah markas organisasi rahasia yang mau
mengungkap konspirasi global. Polisi lalu menggrebek tempat itu. John lantas
memasuki gereja tersebut lalu menemukan kotak mencurigakan disembunyikan di
balik dinding gereja. Kotak itu berisi tumpukan kaca mata hitam. Kecewa karena
tidak menemukan sesuatu yang pantas disebut harta karun, Nada berlalu begitu
saja seraya mengambil kaca mata. Justru saat itu, kejadian-kejadian ganjil
berturut-turut menimpa Nada.
Kaca
mata itu memang bisa membuat sekujur kota tampak hitam-putih seperti warna di
film bisu, tapi yang mengejutkan adalah, ia juga bisa mengubah gambar yang
mampang di papan reklame menjadi kata-kata perintah imperatif. Seperti iklan
yang menjajakan barang kemudian berubah menjadi “patuhilah”, iklan destinasi
wisata menjadi “bersenggamalah”, isi majalah menjadi tumpukan kata-kata sampah
yang tak memberi insentif pada cara berpikir manusia, wanita-wanita di salon
kecantikan menjadi mayat hidup, gambar uang menjadi “inilah Tuhanmu”, dan
seorang bertuksedo seperti pekerja Wall Street mukanya berubah jadi tumpukan
daging dan tulang belulang. Dunia tidak lagi sama bila dilihat dari kaca mata
aneh itu.
Film
itu, They Live (1988), menjadi
metafora bagi masyarakat pascamodern yang mabuk konsumerisme. Setiap papan
iklan adalah tempat kita melarikan diri ke dalam impian, dalam sekali waktu,
kita meloncat ke tengah-tengah perangkap ideologi. Ideologi, senantiasa
menyamarkan pesan mereka melalui simbol-simbol. Metode ini disebut dengan
disimulasi (dissimulation), ideologi
menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang lain dari yang sebenarnya.[4] Bagi Žižek, kaca mata yang
dipakai John Nada dalam film itu menggambarkan bagaimana cara ideologi bekerja,
yakni dengan menelanjangi benteng yang membatasi makna asli yang disembunyikan
ideologi.
Film
They Live menjadi metafora bahwa
sejarah ideologi tidak bedanya dengan episode-episode yang tiap titik
terpancang tiang dengan papan reklame besar dengan visual dan teks yang gombal.
Fasisme dengan iklan “jadilah bagian dari ras tersuperior dunia!”; kapitalisme
dengan “hidup miskin membuatmu menderita? Jadilah kaya dengan kami. Penawaran
terakhir!”; komunisme dengan “bosan hidup tertindas? Bergabunglah bersama kami
menciptakan kesetaraan nasib. Orang-orang malang, bersatulah!”; feminisme
dengan “bosan jadi kelamin kelas dua? Bergabunglah, buktikan bahwa perempuan
tidak selemah laki-laki pikirkan! Tunggu apa lagi jeung?”; nasionalisme dengan “jadilah bangsa terbaik di atas planet
bumi!”; ideologi agama dengan “tidak ingin dijilat api neraka? Mari berteduh
dalam keselamatan kami!”
Sekali
kita terjebak dalam perangkap rayuan gombal ideologi itu, sulit kita lepas dari
bius opium yang dijanjikan. Tampaknya kita perlu merevisi adagium Marx itu:
“Ideologi adalah candu masyarakat.” Penjelasan dengan baik disampaikan Jean
Baudrillard dalam konsep simulasi dan seduksi. Cara kerja ideologi sepersis
iklan real estate di TV: menyeduksi
kita bahwa rumah itulah rumah impian, bahwa hidup akan sempurna tanpa
kekurangan apapun bila tinggal di sana, dan betapa tidak beruntungnya bila saya
tidak punya uang untuk tinggal di sana. Dalam simulasi ini, apa “yang tampak
nyata” seolah-olah lebih nyata daripada “yang nyata”; “yang tampak benar”
seolah-olah lebih benar dari “kebenaran” per
se; fiksi lebih fakta daripada fakta. Atau dengan kata lain, disimulasi.
Kesadaran
pun disandra. Setiap manusia dianggap bak kuda pacu yang liar, dan satu-satunya
yang bisa dilakukan untuk mengontrol keliaran kuda pacu, adalah dengan menutup
matanya. Disimulasi ini kemudian membuat mangsa-mangsanya menggenggam kebenaran
palsu—yang dalam terminologi Baudrillard, kita mengimani apa yang “tampak
benar” daripada “kebenaran” itu sendiri. Dalam terminologi Marxisme, ini
disebut dengan “kesadaran palsu” (false
consciousness).
Kesadaran
palsu menurut George Lucàcs lewat kaca mata Marxisme,[5] terjadi tatkala kelas
pekerja salah memahami posisinya di masyarakat karena dominasi dari kelas lain;
kesadaran palsu merupakan hasil dominasi dari kelas yang memiliki faktor-faktor
produksi. Craib mengonfirmasi ini, dan berkata bahwa dominasi ini membuat kelas
pekerja menganggap mereka diberi upah dengan adil, yang sesungguhnya—bila kita
memakai kacamata John Nada dalam konteks Marxian—tidak lebih dari sekadar
hubungan eksploitasi yang tersamarkan. Untuk mengetahui eksploitasi ini, lanjut
Craib, kita harus menggunakan analisis ekonomi sebagai pisau bedah realitas
yang mana kapitalisme bekerja.[6]
Penjelasan
Lucàcs dan Craib itu menempatkan seolah-olah Marxisme adalah juru selamat yang
melepaskan belenggu kesadaran palsu kelas pekerja, seolah-olah dengan memakai
kaca mata Marxian, kita bisa memahami realitas yang sesungguhnya. Tapi apakah
Marxisme—yang justru tidak dianut oleh Marx sendiri—beserta turunannya yakni
sosialisme dan komunisme (entah komunisme Lenin atau Trotsky), menawarkan
realitas kebenaran bukannya “yang seperti kebenaran”? Apakah yang umumnya
dikenal sebagai ideologi kiri itu pun tak membuat pengikutnya terperangkap ke
“kesadaran palsu” yang lain?
Sayangnya,
upaya kaum “kekiri-kirian” itu tidak lebih dari keluar dari kandang macan ke
kandang singa; dari satu kebenaran palsu ke kebenaran palsu yang berbeda. Sejak
pertama kali dikumandangkan lewat manifesto komunis, berturut-turut kontradiksi
mematahkan ideologi pengikut Marx di tengah jantungnya sendiri. Nubuat
meletusnya revolusi sosialis di Jerman meleset, Uni Soviet justru merupakan
negara pertama yang mengadopsi tawaran Marx.
Marxisme
sendiri adalah teori historis murni, yang bertujuan memprediksi jalannya
perkembangan-perkembangan ekonomi dan politik kekuasaan masa depan dan
khususnya tentang jalannya revolusi. Dengan demikian, Marxisme tidak memberikan
basis kebijakan bagi Partai Komunis Rusia. Segera Lenin menyadari bahwa
Marxisme tidak sanggup membantu dalam lapangan ekonomi praktis. “Saya tidak
pernah menemukan seorang sosialis pun yang berurusan dengan persoalan-persoalan
macam ini,” ujar Lenin.[7] Slogan “Bersatulah kaum
buruh seluruh dunia!" pun tampaknya tidak bisa diadopsi total Lenin yang
lebih menggemborkan slogannya sendiri,: “Sosialisme adalah kediktatoran
proletariat, ditambah dengan pengenalan mesin listrik yang termodern dan
terluas.”[8] Slogan ini kemudian
menjelmakan diri ke institusi politik-ekonomi ekstraktif yang justru
mensubtitusi peran eksploitator dari pemilik modal ke negara.[9] Sampai hari ini pun,
melihat Rusia artinya menatap negara denga korupsi endemik, layanan tak
berfungsi, tidak ada aturan hukum, dan ketidaksetaraan yang mencengangkan.
Menurut beberapa ukuran, Rusia adalah salah satu negara paling tidak setara di
dunia, dengan 87 persen kekayaan terkonsentrasi di tangan 10 persen orang
terkaya.[10]
Sebuah paradoks mengingat Rusia dikenal sebagai negara komunis yang (harusnya)
menjunjung kesetaraan sosial.
Dari
Utara ke Timur, kita tahu Cina hari ini tidak lebih komunis dari setengah abad
silam. Pasca wafatnya Mao, Deng Xiaoping akhirnya bisa melahirkan kebijakan
yang agak liberal di negaranya dengan membuat zona perdagangan bebas (Free Trade Area) di beberapa provinsi.[11] Ekonomi yang liberal itu
tidak bisa diaplikasikan secara utuh karena beberapa loyalis Mao masih berada
di struktur pemerintahan Cina. Meskipun begitu, toh aktivitas ekonomi Cina di konstalasi global menunjukan bahwa
mereka berkultur kapitalis. Beberapa intelektual tanpa segan menyebut negara
itu “kapitalisme otoriter”—kapitalis secara eksternal tapi otoriter di internal.
Marx
memang terlalu menggeneralisasi (over
generalization) sejarah sebagaimana ideolog lain. Pemahaman bahwa sejarah
berlaku singular ternyata lebih terbukti linier. Plot sejarah Marx yang
memastikan bahwa setiap episode bakal terlewati secara pasti untuk kembali ke
zaman semua “sama rata” tidak terwujud setelah dua abad berlalu. Revolusi
misalnya, tidak melulu digerakkan sebagai perjuangan kelas.[12] Di Indonesia, revolusi
justru digerakkan oleh ide nasionalisme. Di negara-negara mantan sosialis,
orang digerakkan oleh kesadaran. Etnisitas juga merupakan kekuatan, misalnya
gerakan revolusi petani Banten yang didokumentasikan Clifford Geertz. Dengan
satire Kuntowijoyo bilang, “Mungkin kaum Marxis akan menganggap bahwa semua
yang tidak digerakkan oleh perjuangan kelas mempunyai kesadaran palsu.”[13] Pun periodisasi sejarah
dari feodalisme ke kapitalisme lalu ke masyarakat komunis ternyata tidak
berlaku di Cina. Mao malah membuat loncatan dari feodalistik ke komunistik. Di
Jerman sendiri, alih-alih bersekutu melawan kapitalis, Engels—karib intelektual
Marx—justru melihat bahwa buruh mengalami borjuisasi. “Kelas buruh Inggris
secara aktual menjadi semakin borjuis,” papar Engels. Para buruh tidak menjadi
lebih sengsara seperti yang ia duga. Proletar borjuis malah tampak
runtang-runtung dengan mesra bersama borjuasi.[14]
Ketika
cucu Marx lahir, ia pernah menulis sepucuk surat: “Tidak enak menjadi seorang
tua di masa ini, karena seorang tua hanya bisa melihat ke masa depan, dan tidak
dapat menyaksikannya.” Syahdan, di masa depan itu, nyatanya satu per satu
nubuat Marx patah di tengah jalan, impiannya seolah mengibaskan tangan sebagai
tanda perpisahan yang sedih. Sebab cita-cita Marx menciptakan masyarakat tanpa
kelas tak ada beda dengan upaya Thomas Moore membuat karya “Utopia”: keduanya
hanya eksis di atas lembaran kertas. Cita-cita itu sampai sekarang tidak pernah
tercapai. Beberapa orang menyebut impian Karl Marx itu hanya utopia yang enak
dipakai buat bermimpi. Meskipun begitu, Popper—salah seorang pengkritik Marx yang
paling pedas—pun memberi apresiasi: “Marxisme ‘saintifik’[15] sudah mati. Namun
perasaan tanggung jawab sosialnya dan kecintaannya pada kemerdekaan harus tetap
hidup.”[16]
Upaya
kaum Marxis beserta varian-variannya untuk menyibak hubungan eksploitasi tidak
lebih dari upaya mengganti satu kebenaran palsu dengan kebenaran palsu lain.
Alih-alih memberi kaca mata “kritik ideologi”, Marxisme hanya menyuruh para
proletar menoleh dari satu papan reklame ke reklame lain.
Psikoanalisa
sebagai salah satu cabang psikologi, menawarkan kaca mata untuk menginvestigasi
relasi antara ideologi dan psikologi. Dalam diskursus psikoanalisa, terdapat
jenis kebenaran palsu yang disebut kondisi neurotik. Seperangkat keyakinan,
sikap, dan asumsi diadopsi secara keliru dan realitas yang sebenarnya tidak
dapat dirasakan oleh seseorang yang neurotik. Singkatnya, seseorang yang
neurotik bisa saja percaya bahwa laba-laba adalah makhluk jahat dan berbahaya,
ia pun bertindak berdasarkan keyakinan demikian. Kepercayaan ini didorong oleh
kekuasaan tak sadar, sebagai misal, tekanan teror yang timbul dari fantasi
Oedipus complex, sebagai ancaman timbal balik dari orangtua yang protektif dan
berkuasa. Maka, dengan fungsi neurotik pikiran, beberapa konten mental
disembunyikan dengan menyubtitusi kesadaran: laba-laba ialah makhluk mematikan.
Laba-laba adalah subtitusi dari sosok ibu predator. Pemahaman itu tentu saja
tidak tepat; laba-laba tidak mematikan—setidaknya laba-laba di negeri ini. Pun
tidak ada seorang ibu yang merupakan laba-laba sungguhan.[17]
Penderita
neurosis memang tidak dapat mengendalikan ilusi mental yang tersamarkan
tersebut. Perilaku hidup mereka kemudian terdistorsi. Penderita neurosis
melumpuhkan kemampuan berpikir dan belajar mereka—dalam konteksi ini—akan
laba-laba. Maka, neurosis menyedian kebenaran palsu bagi pengidapnya
sebagaimana sebuah kelompok sosial mengalami kesadaran palsu yang mereka anggap
benar meskipun keliru dalam perspektif yang lain. Kebenaran palsu di level
individual disebut dengan neurosis; di level kelompok atau kolektif, ia disebut
ideologi.
Ideologi dan Titik Buta Kognitif
Haringga,
remaja yang masih berusia muda itu sudah memakai seragam merah favoritnya.
Setelah bercermin memeriksa apakah sudah necis, ia berjalan mencari ibunda.
“Ari izin keluar ya, Ma. Ada kerjaan bersama teman.” Ari, panggilan akrab
Haringga, kemudian memipit tangan sang ibu lantas menicumnya. “Doain Ari ya,
Ma.” Ia pun pergi, lenyap di balik pintu. Ibunya tak menyadari bahwa sang anak
berniat pergi ke Bandung dari Jakarta. Ari memang seorang Jakmania (julukan
untuk penggemar Persija) militan. Jarak bukan halangan untuk menyaksikan tim
sepak bola kegemaran berlaga. Dengan niat tulus menyemangati idola, tibalah Ari
di luar stadion Gelora Bandung Lautan Api. Tapi Ari tidak menyangka bahwa ia
tidak datang pada saat yang tepat.
Pada
Minggu siang, 23 September 2018, di luar stadion itu, Haringga Sirla, terkapar
bersimbah darah. “Korban yang dikejar sempat meminta tolong pada tukang bakso
namun kerumunan mengeroyok korban dengan balok kayu, piring, botol, dan
benda-benda lainnya sampai korban meninggal dunia,” ujar kepolisian setempat.
Sang
ibu pun tidak menyadari, bahwa hari itu merupakan percakapan terakhirnya dengan
anak yang lahir dari rahimnya yang rapuh.
Haringga
bukan korban pertama dari berhala sepak bola tanah air. Merujuk pada data yang
dirilis oleh lembaga Save Our Soccer
(lembaga swadaya yang memantau isu sepak bola nasional), Haringga merupakan
supporter ke-70 yang kehilangan nyawa akibat sepak bola atau korban ke-7 karena
rivalitas Persija dan Persib. Tragedi itu menambah daftar panjang kepiluan di
tengah situasi olahraga kita yang menunjung sportifitas. Mereka yang berada di
luar gelanggang itu memang tidak bisa memahami kenapa kiranya kekejaman semacan
itu terjadi. Tapi bagi para pelaku, sesaat sebelum tangan mereka mencabut
nyawa, mereka merasa lagi melunasi sesuatu yang dianggap benar. Dan kebenaran
macam itu dijustifikasi hanya karena perbedaan preferensi sepak bola, perbedaan
warna kostum kebanggan.
Haringga
dan tragedi sepak bola lainnya adalah contoh ekstrem dari bias kategorisasi
sosial (social categorization biases).
Bias ini membuat kita menempatkan mereka yang berbeda preferensi sebagai
kelompok luar (out-group) dan yang
memiliki kesamaan preferensi sebagai bagian dari kelompok (in-group).[18] Pada level ringan, mereka
yang berada di kelompok luar bisa saja dikucilkan secara sosial. Pada level
politik, outgroup bisa saja dijadikan
alamat kebencian. Pada level ideologis, outgroup
bahkan menjadi sasaran genosida. Dan semua bisa dibenarkan atas dasar
keabidan ideologi.
Rivalitas
para suporter sepak bola adalah analogi favorit psikologi sosial untuk
menjelaskan pertengkaran antar ideologi. Setiap klub sepak bola selalu punya
satu tujuan: memasukan bola ke jarring lawan sebanyak-banyaknya; kemenangan
mutlak. Suporter sepak bola sendiri, adalah orang-orang yang menjadikan klub
favoritnya sebagai pemberi makna akan eksistensinya yang terasa tawar. Semakin
besar kebutuhan untuk percaya kepada kemenangan klub favorit, semakin besar
agresi yang potensial dimunculkan oleh suporter. Hal yang sama berlaku kepada
ideologi dan agama yang terideologisasi.
Semakin
kental pemujaan terhadap klub favorit, semakin ia terbuka bagi anggota in-group dan semakin defensif ia di
hadapan anggota out-group. Bias
kategorisasi sosial ini, menurut Robin Rosenberg, akan memisahkan dunia menjadi
“kami”[19] vis-à-vis “mereka”. Mereka atau out-group
biasanya dilabeli negatif dan diatribusikan sifat yang tak diinginkan. Kami
atau in-group secara umum dinilai
positif dan cenderung membuat sesama anggota saling membantu, saling percaya,
dapat bekerja sama. Maka kita cenderung akan mewajari ketika melihat Bobotoh
(julukan suporter Persib) saling membantu meski tidak saling mengenal satu sama
lain di jalanan dan seorang suporter Persija dihabisi nyawanya oleh suporter
Persib. Dalam arena politik, puritanisme kelompok dalam situasi yang memanas,
fenomena “kami” vs “mereka” bisa sepersis konsep politik Carl Schmitt.[20] “Distingsi politik yang
paling spesifik adalah antara kawan dan musuh,” ujar Carl Schmitt. Out-group bukan hanya dianggap sebagai
orang yang berada di luar “kami”, bahkan ia dilabeli sebagai musuh. Dan musuh
ini, bagi Schmitt, bukan sekadar jahat secara moral, atau jelek secara
estetika, tetapi mereka harus dilawan karena mereka musuh.
Mereka
yang tergabung dalam in-group ketika
membicarakan keyakinannya, akan cenderung mengalami bias konfirmasi (confirmation biases) dalam pertukaran
ide. Sedangkan keyakinan yang dianut oleh out-group
cenderung ditanggapi secara bias diskonfirmasi (disconfirmation biases). Chris Mooney membuat artikel menarik soal
ini. Baginya, refleks kelahi-atau-lari (fight-or-flight
reflexes) tidak hanya berlaku ketika kita berhadapan dengan predator, namun
juga terhadap informasi. Dalam artikel bertajuk “The Science of Why We Don’t Believe Science”[21], Mooney mengutip Jonathan
Haidt seorang psikolog sosial: “Kita mengira diri kita sebagai seorang saintis,
tetapi sesungguhnya kita seorang pengacara.” Maksudnya kita senang menghakimi,
kita tidak bernalar, melainkan melakukan pembenaran. Penalaran kita justru
didorong oleh bias kognitif: bias konfirmasi bekerja dengan membuat kita
mengindahkan bukti yang mendukung keyakinan dan bias diskonfirmasi bekerja
dengan menghilangkan prasangka kepada pandangan yang tidak sesuai dengan sistem
keyakinan kita.
Lebih
lanjut dari Chris Mooney,:Data sains (bahkan) sangat berisiko misinterpretasi.
Memberi data yang relevan dengan keyakinan seseorang, akan melepaskan penalaran
yang termotivasi yang sama saja dengan memberi permen kepada mereka.” Sedangkan
memberi data saintifik yang berbeda dengan keyakinan seseorang terutama di
abad-abad pertengahan nyaris sama halnya dengan menawarkan nyawa untuk
dipancung, semisal nasib Copernicus. Eksperimen psikologi klasik pada 1979
adalah bukti empiris akan hal ini. Para psikolog mengumpulkan beberapa relawan
untuk memperdebatkan hukuman mati. Relawan dibagi ke dalam dua kelompok yang
terdiri sebagai tim pro dan tim kontra. Hasilnya sangat jelas: tiap pihak
bersikap lebih kritis kepada lawan debat ketimbang mempertanyakan bias kognitif
yang lagi menjalari dirinya sendiri.
Eksperimen
lain juga menunjukan hal serupa. Seorang subjek, otaknya dipindai dengan MRI
lalu subjek diberikan argumentasi yang bertentangan dengan sistem keyakinan
yang subjek anut. Seketika lewat layar monitor, salah satu bagian otak warisan
nenek moyang, yakni amygdala, bereaksi. Menandakan bahwa stimulus
“kelahi-atau-lari” sedang bekerja. Sejurus kemudian, sang subjek melakukan
mekanisme pertahanan diri klasik (denial menurut
terminologi Sigmun Freud); sang subjek mengalami bias diskonfirmasi. Sebab,
tatkala suatu fakta eviden bertentangan dan mematahkan keyakinan seseorang,
mereka kemudian akan mengkonfrontasi fakta tersebut—mereka mungkin akan
mempertahankan pandangan keliru mereka dengan lebih gigih daripada sebelumnya.
Pada kasus yang lebih ekstrem, penentangan itu bisa menjelma jadi perkelahian
secara harfiah, dan nyawa Haringga yang raib, merupakan salah satu korba yang
tragis.
Mereka
yang bersekutu dalam in-group yang
terinstitusikan lewat proses ideologisasi kemudian mengalami narsisme secara
internal. Narsisme, tidak hanya berada di level individual sahaja, ia pun bisa
berada di level organisasional. Mereka tak ubahnya dengan Narcissus yang
bercermin di kaki sungai Helicon. Mereka akan memuja sistem keyakinan mereka
sendiri dengan gigih. Seperti Narcissus yang mati dalam keadaan bercermin di
bening sungai, mereka pun rela mati sebagai syahid atau martir dalam perang
ideologi yang meledak di abad ke-20 kemarin.[22] Semakin kuat ideologi
mereka, semakin tidak lebih istimewa harga dari nyawa. Bahkan, bila para
pengeroyok Haringga kalah dan yang meregang nyawa justru suporter Persib,
barangkali mereka akan merasa baru saja melunasi tugas luhur dan pergi dengan
keadaan tersenyum.
Narsisme
di level institusi ini juga dapat kita investigasi lewat cara pandang mereka
atas perkembangan kultural umat manusia. Kita bisa melihat contoh paling dekat
dalam upaya kolonialisasi di era merkantilisme. Para penjelajah dari barat,
dengan narsisme mereka, menganggap bahwa budaya milik mereka lebih manusiawi dan
lebih beradab daripada kelompok nativis pribumi dan masyarakat adat (indigineous people) yang dicap barbar.
Kolonialisme ini kemudian menempatkan pribumi sebagai inferior. Frantz Fanon
sendiri menyebut laku tersebut sebagai dehumanisasi. Proses kolonialisasi
dianggap proses untuk membentuk makhluk binatang (pribumi) menjadi manusia
tulen dengan menerima bahasa baru dan humanisme baru yang diimport dari
peradaban barat. Dengan kata lain: narsisme ideologi barat membuat mereka
merasa lebih manusia daripada yang non-barat.
Di
seberang timur peta, kita lalu temukan jazirah tandus di mana Muhammad ‘Abid
Al-Jȃbiri katakan bahwa “… apabila bangsa Arab dianggap sebagai ‘materi Islam’,
maka Islam adalah ruh bangsa Arab.”[23] Ia mau bilang bahwa
sebenarnya sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Arab, begitupun
sebalikmya. Dalam dialognya itu, Hasan Hanafi tentu saja berseberangan, sebab
Hanafi lebih moderat dan sekuler daripada Jȃbiri. Tetapi yang menarik, toh
Hanafi tetap saja mempopulerkan konsep oksidentalisme sebagai anti-tesis
orientalisme. Apabila orientalisme menempatkan barat sebagai subjek dan timur
sebagai objek, maka oksidentalisme sebaliknya, barat adalah objek dan timur
sebagai subjek. Bahkan, Hasan Hanafi menyatakan bahwa orientalisme hanyalah
kolonialisme berkedok antropologi. Peradaban timur sesungguhnya juga mau merasa
istimewa, sebab planet ini tidak melulu tentang peradaban barat. Oleh Mark
Manson, pandangan ini disebut dengan “tirani keistimewaan”.
Setiap
orang senantiasa merasa istimewa entah dalam hal sekecil apapun. Kita ingin
percaya bahwa kita istimewa untuk sesuatu di dunia ini. Narsisme ideologis yang
merasuk sampai ke sumsum kelompok identitas lalu mengklaim bahwa golongan
mereka memiliki "kelebihan” daripada golongan lain. Hanya karena kebetulan
Einstein adalah seorang Yahudi, teori relativitas tidak akan secara ajaib
menjadi “fisika Yahudi”. Hanya karena Charles Darwin seorang Kristen, bukan
berarti biologi dimiliki oleh Kristen.[24] Dan hanya karena
Al-Khawarizmi menginspirasi terbitnya aljabar, bukan berarti ada matematika
Islam. Kita cenderung suka mengglorifikasi keberhasilan mereka yang berada
dalam keanggotaan ktia (in-group),
narsisme ini benar-benar membuat kebenaran palsu menjadikan kita seperti orang
buta.
Pada
narsisme kolektif yang akut, penilaian terhadap identitas akan menjadi teramat
muluk. Pada level individual, ini disebut dengan dunning-krueger effect. Pada 1999, David Dunning dan Justin Kruger
dari Cornell University meneliti perampok bank yang melumuri mukanya dengan jus
lemon untuk menyamar. Perampok pintar itu bernama McArthur Wheeler. Dalam
logika Wheeler, karena jus lemon mengandung zat yang sama dengan yang terdapat
dalam tinta bening, maka menggunakannya di wajah akan membuat dia tak terlihat
CCTV. Dengan kejeniusan itu Wheeler akhirnya membantu polisi menangkap dirinya
sendiri.
Fenomena
psikologi yang dialami McArthur Wheeler disebut Dunning-Kruger Effect, yakni bias kognitif yang menjadikan Wheeler
keliru menilai kemampuan dirinya sendiri. Wheeler merasa ide briliannya tak
mungkin salah. Efek ini bisa beragam untuk banyak jenis orang, ada yang merasa
lebih alim, lebih cantik, lebih pintar, lebih spesial, lebih harum, lebih gaul,
lebih kaya, dan kelebihan-kelebihan yang dianggap tidak dimiliki manusia lain. Dunning-Kruger membuat orang menilai
diri terlalu tinggi dari kenyataan; ekspektasi lebih muluk dari
pengetahuan—sampai titik yang mana imajinasi sudah merajam-rajam realitas yang
diam-diam mencibir akal sehat.
Pada
skala ideologi, dunning-krueger effect menjelma
sebagai utopia. Keyakinan bahwa cita-cita muluk yang jauh itu bakal tercapai,
dan ideologi yang mereka anut merupakan satu-satunya pemegang otoritas yang
dapat menjelaskan kebenaran, adalah semacam tirani keistimewaan. Setiap orang
yang menganut ideologi tertentu, merasa bahwa ia adalah satu dari manusia
beruntung yang terpilih mengemban misi suci. Setiap anggota in-group dalam kelompok ideologis akan
mengganggap sistem keyakinan mereka lebih istimewa daripada mereka yang out-group. Fasisme percaya bahwa ras
Arya lebih superior tinimbang ras lain, komunisme percaya bahwa kelak bakal
tercipta masyarakat tanpa kelas di atas dunia, feminisme percaya suatu saat
nanti laki-laki dan perempuan menjadi setara dalam arti harfiah, kapitalisme
percaya bahwa kebebasan sudah merupakan hal final yang tak dapat diganggu
gugat, ideologi apokaliptik percaya bahwa mereka akan menerima tiket VIP ke
surga dengan meninggalkan bencana di bumi.
Setiap
sistem keyakinan ideologis kemudian memanifestasikan aspirasinya lewat
personifikasi manusia ideal. Walter Benjamin mengatakan dalam teologi
historisnya bahwa kelak bakal tiba seorang messiah sang juru selamat yang
merampungkan tugas malaikat sejarah. Nubuat kuno Jawa mengenal nama Satrio
Pinggit yang kelak membumikan keadilan di ujung zaman edan. Islamisme percaya
Imam Mahdi bakal menampakkan diri dalam ledakan armagedon pra-kiamat. Fasisme Italia melalui Mussolini mengakui bahwa
mereka berniat menciptakan prototipe manusia ϋbermensch demi hadirnya individu yang paling agung dan sebuah
kehendak nasional untuk berkuasa. Boshevisme dan Stalinisme, sebagaimana yang
banyak didokumentasikan sejarawan Bernice Glatzer Rosenthal, berupaya
mengadaptasi model ϋbermensch Nietzche
ke sosok New Soviet Man.[25]
Nasionalisme memunculkan konsep patriotisme sebagai model warga negara
bangsa yang baik. Indonesia pada Orde Baru, ketika propaganda Pancasila dipakai
untuk menutup kritik, muncul konsep “Manusia Pancasila”. Aspirasi tersebut
kemudian menjadi norma yang harus mempedomani seorang individu untuk menjadi
utuh.
Personifikasi
nilai-nilai itu disebut dengan ego-ideal dalam terminology psikoanalisa. Ego
atau individu, senantiasa terhubung dengan ego-ideal sebagai aspirasi yang
mungkin menyebabkan rasa puas atau penderitaan berdasarkan sejauh mana individu
itu hidup sejalan dengan aspirasi nilai yang ia yakini. Normalnya, ego (aku
yang apa adanya) terseparasi dengan ego-ideal (aku yang seharusnya). Ketika
separasi itu hilang, individu merasakan pengalaman yang membangkitkan
kegairahan, sebab ia merasa menjadi versi terbaik dari dirinya. Freud menulis,
“Selalu terdapat perasaan kejayaan ketika sesuatu dalam ego selaras dengan
aspirasi ego-ideal.”[26]
Tatkala
seseorang memasrahkan ego atau individualitasnya demi keinginan ideologi, maka
saat itu ia melebur dalam kolektifitas. Kieerargard menyebut ini dengan
massifikasi. Dalam kolektifitas tersebut, terjadi homogenisasi, setiap orang
kehilangan individualitasnya, mereka berubah menjadi angka dan statistik.
Kompensasi dari kehilangan individualitas ini ialah gairah, dan kenikmatan
karena telah mematuhi kehendak nilai ideologi.[27] Tidak ada lagi keinginan
individu, melainkan keinginan ideologis. Mungkin bila menggunakan perpsektif
Žižek, ini bermakna bahwa keinginan individu telah dikondisikan oleh keinginan Big Other atau yang-lain Besar (le Grand Autre),[28] yang bila kita
pelesetkan, akan sangat dekat dengan tema Orwellian sebagai the Big Brother yang selalu mengawasi
pengikutnya.
Namun
benarkan nubuat ideologi berkenaan dengan kedatangan sang juru selamat akan
terjadi? Akankah tatanan dunia baru yang dielu-elukan bakal tumbuh di atas
tanah planet ktia? Dalam Open Society, Karl
Popper menyebut ini sebagai paham historisisme.[29] Pemahaman ini tumbuh
subur abad ke-18 yang dikenal dengan abad Romantik yang saat itu kerap
mengangkat tema tentang manusia besar seprerti diusung Nietzche, Thomas
Carlyle, penyair Baron, Hegel, dan lain sebagainya. Historisime dalam paham
Hegelian adalah finalitas Roh Absolut yang mencapai kesempurnaan di Jerman.
Historisisme pseudo-saintifik Marxisme menganggap bahwa fase sejarah secara
pasti akan berakhir pada tatanan tanpa kelas—yang telah kita kupas sebelumnya.
Dalam rasialisme, orang-orang terpilih menggantikan ras terpilih (pilihan
Gobineau) sebagai instrumen takdir yang mewarisi dunia. Sedangkan filsafat
historis Marx mengganti orang terpilih ini dengan kelas terpilih, sebagai
instrumen pembentuk masayarakat tanpa kelas yang bakal menjadi pewaris dunia.
Salah
satu juru bicara kapitalisme modern, Francis Fukuyama, dengan percaya diri
mendaulat akhir sejarah dengan argumentasi Hegeliannya sebagai euforia
kemenangan demokrasi liberal abad silam, ironisnya, ia harus menunda finalitas
klaimnya tatkala melihat populisme lagi menggejala sejak tahun 2008.
Superioritas ras Arya pun akhirnya runtuh bersamaan dengan keruntuhan fasisme.
Sosialisme sendiri masih tetap hidup, bukan karena cita-cita utopisnya
tercapai, tetapi karena sanggup mengaduk emosi massa yang selalu butuh alamat
kekesalan atas nasib yang mereka anggap malang. Kekuatan ramalan, memang selalu
menggoda. Dan inilah kekuatan ideologi menurut Mark Manson: karena ia memberi
kita harapan.[30]
Sayangnya harapan yang tak terukur secara rasional tak lebih dari sikap
Panglossianisme semata. Gagalnya ramalan-ramalan besar ideologis ini, oleh
Phillip Tetlock, disebut dengan forecaster
illusion.
John
Kenneth Galbairth, seorang pakar ekonomi Harvard, dengan satire-jenaka berkata:
“Ada dua jenis peramal: mereka yang tidak tahu dan mereka yang tidak tahu kalau
mereka tidak tahu apa-apa.[31]” Soal kekeliruan
meramalkan masa depan ini, Phillip Tetlock adalah nama yang tak boleh
dilewatkan. Dalam bukunya “Superforecasting”[32], ia berkata bahwa para
peramal itu tidak lebih akurat ketimbang simpanse yang melempar panah ke papan
dart. Tetlock mengumpulkan 300 pakar untuk menjawab sekitar 80.000 prediksi.
Hasilnya, nyaris semua prediksi itu keliru. Setiap demokrat akan bilang bahwa
prediksi mereka selalu tepat. Setiap republikan akan membidas dengan berkata
puak mereka lebih lihai. Sayangnya, kedua kubu politik tersebut tergolong dari
sekian kelompok yang kalah telak melempar panah melawan simpanse.
Sebab
prediksi yang belandaskan keyakinan ideologis cepat atau lambat akan retak di
tengah jalan. Phillip Tetlock mengatakan, untuk menjadi seorang peramal ulung (superforecaster), kita harus menjadi
seorang moderat, bukannya seorang yang memiliki afinitas politik-ideologis
tertentu. Kunci dari memprediksi masa depan dengan lebih mendekati akurasi
adalah keterbukaan pikiran dan keterbukaan pengalaman dan keterbukaan atas
kekeliruan; keterbukaaan adalah prasyarat menggusah bias dalam kognisi manusia.
Sayangnya, ideologi tidak pernah benar-benar membantu kita berpikiran seterbuka
itu. Terutama ideologi yang menjelmakan diri dalam rezim totaliter, sebagaimana
ujar Popper, senantiasa menghadirkan model masyarakat tertutup (closed society) alih-alih terbuka. Dan
para peramal yang melakukan yang terburuk, kata Steven Pinker, adalah yang
memiliki gagasan besar—sayap-kiri atau sayap-kanan, optimistis, atau
pesimistis—yang mereka genggam dengan keyakinan yang seakan-akan menginspirasi
tapi salah arah.[33]
Pinker juga mengutip Tetlock, bahwa biasanya orang-orang ini mengatakan hal
seperti “mustahil”, “pasti”, atau “tunggu saja” dengan mata percaya diri yang
lucu.
Mereka
yang menang dalam kompetisi melempar panah ke papan dart adalah yang sangat
berhitung, bukan dalam arti menjai jagoan matematika tetapi dalam arti nyaman
berpikir dalam perkiraan waktu. Mereka memiliki ciri-ciri kepribadian yang oleh
para psikolog disebut “keterbukaan terhadap pengalaman” atau “openness to experience” (keingintahuan
intelektual dan selera akan variasi), “kebutuhan akan kognisi” atau “need for cognition” (kesenangan yang
diambil dalam aktivitas intelektual), dan “kompleksitas integrative” atau “integrative complexity” (menghargai
ketidapastian dan melihat dari banyak sisi).[34] Mereka menampilkan apa
yang oleh psikolog Jonathan Baron disebut “pikiran terbuka aktif” atau “active open-mindedness”.[35] Ciri-ciri ini sulit kita
dapati pada seorang ideolog. Kita bisa saja sekarang juga datang ke seorang
fundamentalis agama dan berkata bahwa Dajjal tidak akan datang maka dengan
cepat kita dilabeli ahli neraka, kita datang ke seorang yang dikenal patriot
dan bilang bahwa bendera merah putih hanya benda mati yang bisa dijadikan kain
pel maka kita akan dituduh anti-NKRI, dan masih banyak contoh lain yang
mengikuti.
Berpikiran
terbuka justru adalah ancaman bagi ideologi. Novel 1984 George Orwell dan
Fahrenheit 451 karya Ray Bradburry merupakan ilustrasi menarik untuk hal ini.
Negara-negara totaliter dalam sejarah kita punya pelbagai metode untuk meredam
literasi publik, sebagaimana Bung Besar Orwellian membatasi vokabulari warganya
agar godaan berpikir berkurang dan Fahrenheit Ray Bradburry yang gemar membakar
buku sampai abunya pun harus dihangus-lenyapkan dalam lelatu. Para sultan
Ottoman dan jajaran pemuka agama mencemaskan melek aksara warganya, maka mereka
mengharamkan teknologi cetak Guttenberg.[36] Sejarah literasi dunia
pun mengenal istilah bibliosida (seperti festival pembakaran buku di Jerman era
Nazi),[37] karena kritisisme tidak
aman untuk status quo ideologi.
Kritisisme
dan ideologi sama-sama memiliki cadangan argumentasi masing-masing. Yang membuat
keduanya berbeda dalam perspektif Johan Galtung adalah, kritisime merupakan
hasil interaksi nilai dan data sedangkan ideologi merupakan hasil interaksi
antara teori dan nilai.[38] (Pada gilirannya,
interaksi yang menghasilkan ideologi bakal melahirkan konstruksionisme yang
bakal menyeleksi terhadap nilai-nilai dengan teori[39] sebagaimana yang telah
kita bahas dalam soal bias konfirmasi tadi.) Keduanya berlawanan sebab teori
bersifat potensial sedangkan data bersifat aktual. Tak heran ideologi biasa
memobilisasi massa dengan kemungkinan teoritis yang lebih mirip utopia lewat
penyebaran histeria, dan data milik para kritisisme mementahkan mobilitas itu
dalam satu hentakan statistik. Mark Manson dalam A Book About Hope dengan narasi jenaka dan nakal mengatakan, bila
kau pengin membangun agamamu (Manson tidak membedakan agama dan ideologi,
ideologi baginya adalah agama tingkat dua yang tingkat kesulitannya
sedang-sedang saja), maka jangan biarkan mereka bersikap kritis pada khotbahmu.[40]
Pemberangusan
buku dan penutupan akses atas mesin cetak akan membuat warga menjadi iliterat
dan inumerat (ketidakcakapan melakukan kalkulasi matematis dan memperkirakan
probabilitas). Pada era digital ini, penciptaan iliterat dan inumerat bisa
dengan membatasi akses digital sebagaimana di Papua mendekati akhir tahun 2019.
Penelitian yang berkenaan dengan kasus ini bisa diilustrasikan oleh satu
majalah, sebagaimana dikutip Steven Pinker, sebagai “Penemuan Paling
Menyedihkan Tentang Otak, Selamanya” dapat menjelaskan ini. Kahan merekrut
seribu orang Amerika dari semua lapisan masyarakat, menilai pandangan politik
dan kemampuan numerasi mereka dengan kuesioner standar. Responden yang tingkat
numerasinya tinggi lebih banyak yang tak terjebak dalam bias kognitif daripada
responden dengan tingkat numerasi rendah (inumerat) yang condong tergoda dengan
angka-angka absolut. Fakta lainnya yang
dipanen dari penelitian ini adalah bahwa kelompok politik liberal ternyata
lebih berprasangka daripada kelompok politik konservatif[41]—yang selama ini kita
anggap justru sebaliknya. Dua majalah lain pun merangkum hasilnya: “Sainf
Mengonfirmasi: Politik Menghancurkan Kemampuan Anda Mengerjakan Matematika” dan
“Bagaimana Politik Membuat Kita Bodoh.”[42]
Pembahasan
tersebut dengan cepat membuat kita berkonklusi bahwa musuh ideologi adalah
nalar, dan demi mengkerangkeng nalar—yang susah payah dimerdekakan oleh
pencerahan—, maka ideologi harus menjaga status
quo dengan menjaga kebodohan, inumerat, iliterat, dan bias kognitif tetap
bertahan. Pinker meringkasnya dalam satu kata: politisasi[43]—dan kata Pinker, gejala
ini lagi meningkat dari hari ke hari. Sebab mayoritas manusia adalah makhluk
yang cenderung mengandalkan otak perasaan daripada otak berpikir.[44] Otak perasaan, yang
intuitif, punya kecondongan untuk berpikir cepat.[45] Dengan kecenderungan ini,
para ideolog lantas memainkan dorongan otomatis psikologis semudah menekan
tombol emosi, yang oleh Richard Thaler, disebut dalam teori dorongan (nudge theory) dengan metodenya yang
bernama choice architecture (arsitektural
keputusan), yakni memanfaatkan tendensi psikologis untuk memengaruhi keputusan
massa.[46] Sebab mereka yang
mengandalkan sirkuit berpikir cepat daripada lambat akan mungkin berlaku
irasional bahkan sejak dari tatanan gagasan. Psikologi perilaku sebagai
pendatang baru diskursus ekonomi-politik hendak membuktikan bahwa keputusan
sehari-hari senantiasa didorong oleh irasionalitas ketimbang rasionalitas—yang
bertentangan dengan teori ekonomi klasik.[47] Diskursus psikologi
perilaku kemudian menunjukan bahwa perilaku kita bukan hanya bisa dikendalikan
tapi juga diprediksi lewat irasionalitas tersebut.[48] Sejarah pada abad silam
juga menunjukan bahwa kebangkitan Nazi disertai dengan semangat irasionalitas
yang akut.[49]
Mereka
yang memiliki kerentanan mental, terutama dalam suatu kolektifitas yang telah
terhegemoni dengan baik, senantiasa dikondisikan agar fantasi mereka atas
impian ideologi dapat terwujud. Žižek dalam film The Perverted Guide to Ideology, berkata bahwa fantasi adalah unsur
elementer yang mengkonstitusikan ideologi. Dalam psikoanalisa, lanjut Žižek,
fantasi itu pada dasarnya adalah kebohongan yang menutup inkonsistensi gagasan.
Bahwa ketika segala sesuatu menjadi buram, kita tidak tahu persis apa yang lagi
dihadapi. Fantasi, memberikan jawaban gampang untuk itu. Fenomena ini disebut
juga dengan “Black Box”.[50] Dalam keadaan gelap,
ketidaktahuan, dan ketidakpastian, kita akan menggenggam apapun yang kita
harapkan bisa menyelamatkan kita dari rasa takut itu. Ketidaktahuan kita lantas
kita ganti dengan iman. Modus fantasi kemudian bekerja, kata Žižek, dengan
mengkonstruksi adegan, bukan adegan di mana “aku” memperoleh keinginanku,
tetapi adegan di mana aku mengikuti keinginan liyan, atau dalam konteks
ideologi ini, keinginan yang-lain besar (Le
Grand Autre).
Sekali
ideologi menyelamatkan orang-orang malang yang merasa makna hidupnya tawar dan
tidak memiliki tujuan dalam dunia ini dan berkehendak hati lemah, akan sulit
mereka berpaling dari sistem nilai itu. Dan inilah kemampuan ideologi, massa
dimobilisasi bukan oleh rasionalitas, melainkan kemampuan afeksi; bukan oleh
kekuatan logos, melainkan mitos. Lantas bagaimana ideologi dapat memainkan
dadunya di atas meja judi raksasa kekuasaan politik-ekonomi? Kalndermans punya
jawaban dalam “kerangka aksi kolektif”-nya[51], berkenaan dengan
seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan seseorang bergerak apabila
terpenuhi tiga komponen dasar: rasa ketidak-adilan, elemen identitas, dan
faktor agensi. Pertama-tama, massa harus merasakan kemarahan, kemudian perasaan
marah dan benci yang dirasakan bersama akan membangun empati lantas menyusun
identitas, dengan gegabah mereka akan teriak “kami adalah korban!”, kemudian
lahirlah faktor agensi, yakni keyakinan bahwa massa itu punya kekuatan
merealisasikan kehendak ideologis. Di sinilah kita akan sadari bahwa politik
identitas yang dimainkan oleh ideolog, tak lebih dari mata dadu di atas meja
kekuasaan.
Asal-usul Identitas
Apakah
yang membuat manusia menjadi spesies paling berkuasa—untuk tidak mengatakan di
jagad raya ini—di planet ini? Harari dengan lugas menjawab: kemampuan mengelola
fiksi, atau dalam terminologi Harari, realitas intersubjektif.[52] Kemampuan mengelola fiksi
ini memampukan kita menyusun narasi dalam alam bawah sadar kita tentang siapa
kita dan harus menjadi apa kita. Identitas kita dibangun oleh cerita. Kita
mendengarnya dari orang tua, guru, atau tetangga, dan budaya umum jauh sebelum
kita mengembangkan kemandirian intelektual dan emosional yang diperlukan untuk
mempertanyakan dan memverifikasi cerita-cerita semacam itu. Pun, bukan hanya
identitas pribadi kita tetapi juga institusi kolektif kita ternyata dibangun di
atas cerita.[53]
Karena itulah kita percaya kepada fiksi, kepada identitas yang tersusun oleh
fiksi. Agak terdengar Cartesian, tapi barangkali memang benar, bahwa kita
adalah apa yang kita pikirkan tentang kita.
Tapi
dari mana datangnya gagasan bahwa “kita adalah kita”? Gagasan itu selalu datang
dari orang lain, dari eksternal, eksterioritas jiwa kita. Dalam perspektif
Lacanian, persoalan identitas dapat dipadankan dengan stadium cermin (le stade du mirroir).[54] Pada fase ini, ego
terkalang masalah identifikasi diri, ia masih berada di ranah sebelum ego
mengerti bahasa. Fase ini terjadi ketika balita baru berusia enam bulan. Saat
itu bayi belum bisa mendiferensiasikan dirinya dengan yang lain. Pengertian
tentang diri kemudian didapat melalui citra (imago) dirinya di depan cermin. Cermin di sini tentu saja adalah
metafora, ia bisa berupa bayangan diri kita di bening air atau refleksi-diri
sang bayi di mata ibu. Dengan kata lain, identitas diri diperoleh melalui citra
visual dari orang lain. Sebagaimana Sartre kecil yang merasa dirinya anak manis
di hadapan sang ibu tetapi menjadi sejelek kodok di depan kakeknya.[55] Eksistensi lahir dari
tatapan orang lain, ujar Sartre. Identitas kita yang pertama adalah pemberian
orang lain, dan pengertian pertama tentang diri kita, adalah salah
pengertian—dan inilah keterasingan pertama manusia.
Beranjak
dewasa, kita pun mulai matang mendiferensiasi diri kita dengan orang lain. Kita
kemudian menemukan jawaban dari soal “siapa kita” dengan cara-cara tradisional,
dengan mengacu pada sesuatu yang dipandang paling bermakna bagi mereka. Orang-orang
saling mengidentikkan diri melalui asal-usul (keturunan), agama, bahasa,
sejarah, nilai-nilai, adat-kebiasaan, dan institusi-institusi. Orang-orang
menggunakan politik tidak hanya demi kepentingan-kepentingan mereka semata,
tetapi juga untuk menyatakan identitas. Kita hanya tahu siapa kita ketika kita
mengetahui siapa “yang bukan kita” dan itu hanya dapat diketahui melalui
“dengan siapa kita berhadapan”.[56] Kita tahu bahwa kita
Islam ketika menyadari bahwa kita berhadapan dengan non-Islam, di waktu lain,
kita tahu bahwa kita seorang Indonesia ketika dihadapkan dengan fakta bahwa ada
negara Arab, kita tahu kita spesies manusia ketika berhadapan dengan ayam atau
anjing.
Segala
sesuatu bisa menjadi bagian dari diri kita. Kita barangkali pernah mendengar
istilah “isi kamarmu adalah kau”, “apa yang kau pikirkan adalah kau”, “apa yang
kau katakana adalah kau”, dan “apa yang kau makan adalah kau”. Dalam soal
terakhir ini, Claude Fischler, antropolog Spanyol, merupakan salah satu
tokohnya. Ia mengeluarkan teori yang disebut dengan inkorporasi atau peleburan
antara si pemakan dan makanan. Relasi antara makanan dan subjek yang
menyantapnya bahkan bisa menjelma jadi identitas kolektif. Manusia dinyatakan
sebagai keanggotaan suatu bidang atau kelompok dengan menyertakan apa yang ia
makan. Misal untuk bangsa Perancis, orang Italia adalah “macaronis” dan orang
Inggris adalah “roastbeef” dan Beglia
adalah “pemakan keripik”. Bagi bangsa Inggris, Perancis adalah “si kodok”.
Amerika menyebut Jerman dengan “krauts”. Bahkan kita pun mengasosiasikan siapa
diri kita dengan makanan apa yang menjadi makanan pokok bagi kultur kita.[57]
Penciptaan
narasi atas “siapa kita” adalah hal yang tak tertampikkan. Bagi Jonathan
Gottschall, manusia lebih sebagai homo
victus ketimbang homo saphiens; manusia
adalah binatang yang senang berkisah (storytelling
animal).[58]
Gottschall menggunakan animasi Heiden dan Simmel untuk membuktikan ini. Seratus
dua puluh responden dikumpulkan untuk mengamati sebuah animasi. Hanya tiga yang
menjawab dengan nalar, sisanya menafsirkan animasi tersebut dengan cerita
cinta, komedi, atau petualangan, yang menjawab masuk akal menyatakan bahwa
animasi tersebut tak lebih dari bentuk-bentuk geometri. Ini membuktikan bahwa
ketika para responden melihat animasi itu, mereka bukan lagi mengonsumsi fiksi,
melankan sedang menciptakan fiksi—dan ini adalah apa yang kita lakukan
sehari-hari. Ini juga menjelaskan kenapa kita takut nonton film horor. Kita
tahu bahwa hantu-hantu dalam film tidak nyata, tetapi perasaan takut itu
hnyata, dalam hal ini ini, otak lebih berperan sebagai partisipan daripada
penonton. Kita mengalami ini juga ketika nonton film Dilan. Ketika Dilan
cemburu, otak kita ikut cemburu. Jika Milea sedih, otak kita ikut sedih. Karena
itu, orang memperlakukan sesuatu yang palsu sebagai yang nyata. Dan perlakuan
ini semakin mendesak pada waktu-waktu terpuruk dan terburuk.
Pencarian
akan asal-usul, pengasosiasian diri dengan sesuatu yang dekat dengan kita,
memberikan makna pada eksistensi yang tawar, memberikan tujuan, memberikan
jawaban praktis atas segala kebingungan kita setelah terlempar dalam dunia
asing ini. Orang-orang senantiasa mencari in-group
mereka sendiri agar tidak merasa sendirian, jauh di dalam diri tiap orang,
menjadi berbeda adalah keasingan yang harus dielakkan. Orang-orang ingin
meneguhkan identitas mereka bukan karena itu benar-benar identitas mereka,
melainkan karena mereka ingin percaya bahwa identitas itu adalah kebenaran.
Kita ingin fiksi-fiksi yang indah adalah kenyataan yang senyata-nyatanya.
Namun
pada waktu-waktu ini, identitas tidak lagi dipandang sekadar sebagai kekangenan
pada asal-usul diri. Identitas justru tampil di panggung depan kita sebagai
kecamuk pertengkaran. Setelah perang atas nama ideologi mendingin bersamaan
dengan mencairnya tembok Berlin, kebutuhan bersengketa antara manusia diambil
alih oleh perbedaan identitas atas nama klaim kemurnian, sentimentalitas
identifikasi diri, dan perang “kami” lawan “mereka”. Pembagian antara Timur dan
Barat, antara Islam dan non-Islam, antara Amerika dan non-Amerika, antara
harapan dan kekecewaan mengemuka, memobilisasi kekuatan politik dari waktu ke
waktu, menggelinding bagai bola salju yang siap meledak kapan saja. Para
intelektual menyebut ini sebagai gejala populisme.
Dan
atas maneuver populisme di pemilu Amerika serta Indonesia baru-baru ini,
fenomena Brexit, dan kemenangan Bolsonaro di Brazil, politik identitas kemudian
menerima labeling negatif pun destruktif. Tapi Jonathan Haidt, seorang psikolog
sosial, berkata bahwa politik identitas sebenarnya baik-baik saja. Ia menjadi
eliksir atau racun secara relatif tergantung dari bagaimana ia digunakan. Ia
mengambil contoh Amerika soal dua konteks itu. Politik identitas konstruktif
terlihat dari gerakan hak-hak sipil yang dipimpin Marthin Luther King, yang
menegaskan pada banyak orang dengan mengatakan banyak dari kita yang tidak
punya kesetaraan akses, kesempatan, dan martabat, dan hal-hal itu patut
diperjuangkan. Politik identitas destruktif digunakan dalam rangka memobilisasi
permusuhan dengan menuduh bahwa “mereka” (out-group)
adalah jahat, bahwa mereka penyebab masalah—dan ini berbahaya untuk masyarakat
multi-entik.
Dengan
demikian, baik atau buruknya politik identitas tergantung dari bagaimana ia
digunakan di ruang publik.
Politik Identitas
yang Regresif
Semua
bermula sejak kehadiran manusia di muka bumi. Homo saphiens, atau manusia dalam
arti modern, kita tahu bukanlah satu-satunya spesies hominid pertama di planet
ini. Kita juga kenal homo Neanderthal, homo denisova, homo erectus, homo
soloensis, dan jenis-jenis lain. Lantas ke manakah hominid lain? Kenapa kita,
homo sapiens, adalah satu-satunya yang tersisa di sini? Salah satu teori
mengerikan soal ini adalah, leluhur kitalah yang memusnahkan mererka.
Sisa-sisa
jejak sejarah membuktikan bahwa kita tak lebih dari pengembara dari dataran
Afrika. Kita berkelana ke berbagai penjuru dunia, mencari tempat menetap jauh
sebelum gandum mendomestifikasi manusia. Dalam kelana itu, bisakah kita
menyebut leluhur kita “makhluk yang bijaksana”? Temuan antropologis dan
arkeologis mengungkap banyak fakta yang tidak mendukung kebijaksanaan kita.
Sejak saphiens berekspansi dari Afrika Timur ribuan tahun silam, spesies kita
telah banyak membawa kepunahan: 90% hewan besar Australia dan 75% mamalia besar
Amerika yang bila ditotal sejumlah dengan 50% hewan di planet ini.[59] Hingga kini, tak
terhitung berapa jenis fauna yang nyaris punah di ujung tombak keserakahan
kita.
Tidak sampai di situ. Manusia juga
merupakan makhluk yang dengan keji dan tega bisa menjadi pembantai spesiesnya
sendiri. Secara gamblang Tinbergen berkata: “...di antara ribuan spesies yang
suka berperang, manusia adalah satu-satunya yang cara berperangnya sangat
merugikan… Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat menjadi pembunuh massal,
satu-satunya yang canggung dalam komunitasnya sendiri. Mengapa begini?”[60]
Kerugian yang dilakukan sesama manusia telah memakan banyak korban, dan
peningkatan jumlah pertempuran terus menambah angka-angka itu. Q. Wright
membuat riset untuk mengumpulkan data-data pertempuran dalam masing-masing
negara sejak 1480.[61]
Hasilnya mencengangkan kita, karena jumlah pertempuran di rentang waktu tahun
1900-1940 adalah 892, yang artinya sepuluh kali lipat lebih banyak tinimbang
abad ke-16. Dalam empat abad, manusia telah mengembangkan dirinya menjadi
makhluk paling berbahaya bagi spesiesnya sendiri.
Statistik itu barangkali merupakan
afirmasi atas adagium Thomas Hobbes bahwa manusia adalah “serigala bagi manusia
lain”. Meskipun metafora serigala itu begitu sopan, sebab serigala bahkan tidak
memangsa sesama spesiesnya. Pada suatu seminar, seorang moderator berkata pada
Harari untuk menegaskan ceramahnya, bahwa ini artinya manusia merupakan
predator. Harari dengan gaya khasnya membalas, bahwa alih-alih predator,
pembunuh berantai (serial killer)
adalah sebutan yang lebih pas. Sampai sini, kita mungkin perlu merevisi adagium
Hobbes itu: “manusia adalah ‘manusia’ bagi manusia dan spesies lain”—kata
“manusia” dianggap sudah cukup mewakili kebuasan kita.
Tapi kita kemudian tergoda untuk
bertanya: bila manusia memangsa spesies lain, itu adalah untuk bertahan hidup.
Tapi bila manusia memangsa spesiesnya sendiri? Itu adalah tanda akan superioritas,
yang didasari oleh fiksi. Perang suku misalnya, yang bila kita tengok ke Arab
sebelum kedatangan Muhammad sang nabi, dianggap sebagai olahraga nasional.
Merampok suku lain adalah tindakan mulia, justru merampok suku sendiri adalah
laku biadab. Dan di sana terdapat aturan emas khas Hammurabi, yakni Vendetta
atau Lex Tallionis, aturan yang
melegitimasi balas dendam tanpa eufimisme sama sekali. Aku boleh membunuh
sukumu, dan sebagai persamaan kau boleh balas membunuh salah seorang dari
sukuku.[62]
Kemudian lahirlah lingkaran setan balas dendam yang tak usai-usai. Fenomena
“manusia memangsa manusia lain” tidak selesai sampai di level tribal saja, ia
meningkat seiring dengan evolusi institusi sosial kita. Tatkala negara bangsa
muncul dengan nasionalismenya, seknario “semua melawan semua” (bellum contra omnes) kembali terjadi
dalam puncak kekuasaan ultra-nasionalisme Nazi yang memuja kemurnian identitas.
Seperti De Javu yang tidak pernah berakhir. Kita pun belum menghitung soal
perang agama, yang apabila kita buka teks sejarah soal ini, tak ayal lagi
halaman demi halaman akan menyemburkan darah. Dan semua itu terjadi atas nama
keyakinan.
Inilah politik identitas destruktif,
upaya mengangkat identitas sebagai alasan bertempur. Yang paling berbahaya,
apabila identitas ini diletakkan di ujung tombak demi tujuan kemurnian abadi.
Dalam hal ini, segala sesuatu yang bukan tergolong dalam identitas kita adalah
musuh. Bias kategorisasi sosial akhirnya didasarkan atas distingsi politik Carl
Schmitt bahwa segala sesuatu di luar “kami” adalah musuh, bukan sekadar lawan. Kita
sudah membahas soal dunning-krueger
effect bahwa setiap identitas selalu merasa identitas mereka paling
istimewa. Persoalannya, keistimewaan mereka dianggap terberikan agar dapat
menumpas lawan. Sebagaimana politik bisa dijadikan sebagai dasar identitas,
komunisme merasa istimewa atas dasar diktatorisme proletariat dengan musuh
bersamanya: pemodal; kapitalisme yang mengistimewakan pemodal dan pasar bebas
dengan musuh utamanya: otoritarianisme negara; fasisme dengan keistimewaan ras
Arya dengan musuh bersama: Yahudi; nasionalisme dengan keistimewaan bangsa
dengan musuh bersama: kolonialisme; feminism dengan keistimewaan perempuan
dengan musuh bersama; misoginisime dan seksisme; dataisme dengan
mengistemawakan algoritma dengan musuh bersama: tradisionalisme ala kaum
Ludditte yang teknophobia; antroposen yang mengistimewakan manusia dengan musuh
bersama: kosmos; Islamisme yang mengistimewakan umat (dalam arti ekslusif)
dengan musuh bersama: kafir (dalam arti ekslusif); LGBTQ yang mengistimewakan
cinta yang bebas dengan musuh bersama: seksime yang homophobia; dan seterusnya,
dan seterusnya.
Dan semakin dunia maju bersama roda
modernisasi serta globalisasi, semakin dunia terlipat sebagaimana origami oleh
teknologi informasi dan transportasi, bayang-bayang populisme identitas justru
kian mengental di belakang jejak kita. Euforia kemenangan demokrasi liberal
yang pernah dikumandangkan Francis Fukuyama pada akhir abad ke-20 kemarin
kemudian ia revisi dalam wawancaranya dengan Washington Post pada awal 2017. Akhir sejarah (end of history) Fukuyama tertunda, dan ia berkata bahwa ada
kemungkinan sistem ekonomi pasar bebas kita bakal kembali ke pasar ekonomi
tradisional melihat krisis global 2008 dan membuncahnya kekecewaan besar kepada
demokrasi liberal. Kata kunci soal politik identitas dalam soal ini adalah
politik regresi, kerinduan berbahaya menuju masa lalu.
Kekecewaan ini dijabarkan dengan
lengkap oleh Harari, bahwa kekosongan yang meruah karena krisis kepercayaan
pada demokrasi liberal, kini mulai diisi diam-diam oleh fantasi nostalgia akan
beberapa kejayaan lokal masa lalu. Donald Trump menggabungkan seruannya dengan
isolasionisme Amerika di bawah janji “Make
America Great Again”—seolah Amerika Serikat pada tahun 1980-an atau 1950-an
adalah masyarakat sempurna yang seharusnya ditiru oleh orang Amerika pada abad
ke-21. Kaum Brexiteers bermimpi
menjadikan Inggris sebagai kekuatan independen, seola-olah mereka masih hidup
di zaman Ratu Victoria dan seolah-olah “isolasi yang indah” merupakan kebijakan
yang dapat dijalankan untuk era internet dan pemanasan global. Para elit
Tiongkok telah menemukan legasi kekaisaran dan Konfusian asli mereka, sebagai
suplemen atau bahkan menggantikan ideologi Marxis yang meragukan yang mereka
impor dari Barat. Di Rusia, visi resmi Putin bukanlah membangun oligarki yang
korup, melainkan membangkitkan kembali kekaisaran Tsar yang usang. Satu abad
setelah Revolusi Bolshevik, Putin menjanjikan kembalinya kejayaan tsaris kuno
melalui pemerintahan otokratis yang didukung oleh nasionalisme Rusia dan
kesalehan ortodoks yang menyebarkan kekuatannya dari Baltik ke Kaukasus.[63]
Lebih lanjut oleh Harari, mimpi
nostalgia serupa yang menggabungkan keterikatan nasionalis dengan tradisi agama
mendukung rezim di India, Polandia, Turki, dan banyak negara lain. Tidak ada
tempat di mana fantasi-fantasi ini lebih ekstrem selain di Timur Tengah, di
mana para Islamis ingin menyalin sistem yang didirikan oleh Nabi Muhammad di
Madinah 1.400 tahun silam, sementara kaum fundamentalis Yahudi di Israel
melampaui kaum Islamis, dan bermimpi untuk mundur 2.500 tahun ke zaman Alkitab.
Para anggota pemerintah Israel yang berkuasa berbicara secara terbuka tentang
harapan mereka untuk memperluas perbatasan Israel modern agar lebih cocok
dengan Israel Alkitab, untuk memulihkan hukum alkitabiah, dan bahkan membangun
kembali kuil kuno Yahweh di Yerusalem di tempat masjid Al-Aqsha berdiri.[64]
Steven Pinker pun mengomentari akhir
sejarah Fukuyama sebagai meme tak terkendali yang menyebabkan munculnya “akhir”
alam, sains, iman, kemiskinan, nalar, uang, manusia, pengacara, penyakit, pasar
bebas, dan seks. Walaupun di arus balik politik identitas ini, sepertinya yang
benar-benar hadir adalah “The End of Fukuyama” itu sendiri. Maka, Fukuyama pun menjadi karung tinju
sebagai editorialis, mengomentari sedikit berita buruk terbaru, dengan gembira
mengumumkan “kembalinya sejarah” dan munculnya alternatif terhadap demokrasi
seperti teokrasi di dunia muslim dan kapitalisme otoriter di Cina. Demokrasi
sendiri tampak mundur ke dalam otoritarianisme dengan kemenangan populis di
Polandia dan Hongaria dan perebutan kekuasaan oleh Recep Erdogan di Turki dan
Vladimir Putin di Rusia (kembalinya sang sultan dan tsar). Para pesimis
sejarah, dengan kebiasaan tradisional mereka, mengumumkan bahwa gelombang
ketiga demokratisasi telah memberi jalan kepada “arus bawah”, “resesi”, “erosi”,
“kemunduran”, atau “kehancuran”. Demokratisasi kata mereka, adalah sebuah
kesombongan orang barat yang memproyeksikan selera mereka ke seluruh dunia,
sedangkan otoritarianisme tampaknya cocok untuk kebaikan sebagian besar umat
manusia.[65]
Fenomena ini disebut Pinker sebagai
kebangkitan populisme sebagia gerakan politik yang merusak pondasi pencerahan;
populisme, atau lebih tepatnya populisme otoriter, adalah kontra-pencerahan.
Populisme menyerukan kedaulatan langsung “rakyat” suatu negara (biasanya suatu
kelompok etnis, kadang-kadang suatu kelas), yang diwujudkan dalam seorang
pemimpin yang kuat yang secara langsung menyalurkan keutamaan dan pengalaman
otentik mereka.[66]
Populisme otoriter dapat dilihat
sebagai dorongan kembali dari sifat-sifat alami manusia—tribalisme,
otoritarianisme, demonisasi, pemikiran zero-sum—terhadap
institusi pencerahan yang dirancang untuk mematahkannya. Dengan berfokus pada
suku daripada individu, ia tidak memiliki tempat untuk perlindungan hak-hak
minoritas atau promosi kesejahteraan manusia di seluruh dunia. Dengan tidak
mengakui bahwa pengetahuan yang dimenangkan dengan susah payah adalah kunci
untuk perbaikan masyarakat, ia merendahkan “elit” dan “ahli” dan meremehkan
pasar gagasan, termasuk kebebasan berbicara, keragaman berpenedapat, dan
pengecekan fakta atas klaim yang mementingkan diri sendiri. Dengan menghargai
pemimpin yang kuat, populisme mengabaikan pembatasan dalam sifat alami manusia,
dan meremehkan institusi yang diatur oleh pemerintahan dan pemeriksaan
konstitusional yang membatasi kekuatan aktor manusia yang cacat.[67]
Populisme bukan hanya datang dari
politik sayap-kanan yang kita kenal dalam wajah agama dan tribalisme, ia pun
bisa datang dari sayap-kiri yang mewakili kelas ekonomi tertentu yang merupakan
residu dari sosialisme yang bergentayangan. Segala masalah kemudian dilihat
bukan sebagai tantangan yang tak terhindarkan di alam semesta yang acuh tak
acuh tetapi seabgai desain jahat elit berbahaya, minoritas, atau orang asing.
Mengenai kemajuan, lupakan saja: populisme melihat ke belakang ke zaman di mana
bangsa itu secara etnis homogen, nilai-nilai budaya dan agama ortodoks berlaku,
dan ekonomi didukung oleh pertanian dan manufaktur, yang menghasilkan
barang-barang nyata untuk konsumsi lokal dan untuk ekspor. [68]
Apa artinya segala kemajuan yang
digembar-gemborkan Pinker apabila populisme otoriter nyatanya menarik mundur
kereta pencerahan itu menuju belakang masa lalu? Populisme otoriter ini
mengancam kemajuan humanisme yang memerdekakan nalar, sains, dan humanisme.
Populisme menjadi lawan nalar dengan mengemukakan gerakan anti-nalar.
Pertentangan ini lantas menggiring wacana hadirnya epistokrasi yang akan
membawa kita kembali ke Plato, yang sayangnya, justru juga mendewakan politik
regresif di balik intensinya atas Republik (bukan republik dalam artian
filsuf-filsuf Romawi).[69]
Selain itu, populisme banyak menafikan fakta-fakta saintifik semisal perubahan
iklim yang dapat kita lihat lewat Trump yang menarik diri dari organisasi internasional
yang memperjuangkan perubahan iklim.[70]
Populisme otoriter juga memiliki genealogi moral berbeda dengan humanisme.
Apabila moralitas sekuler humanisme melandaskan diri kepada etika
utilitarianisme, populisme justru menyandarkan diri pada moralitas teistik dan
moralitas romantik yang keudanya berdasarkan etika deontologis.
Filosof dan ahli saraf kognitif,
Joshua Greene, berpendapat bahwa banyak keyakinan deontologis berakar pada
intuisi primitif tribalisme, kemurnian, kejijikan, dan norma-norma sosial,
sedangkan kesimpulan utilitarian muncul dari renungan atau kogitas rasional.
(Dia bahkan telah menunjukan bahwa kedua jenis pemikiran moral itu melibatkan
otak yang sangat emosional dan rasional—deontologis mewakili pertama,
utilitarian mewakili yang kedua.) Paham deontologis menjadi landasan etis bagi
moralitas teistik bahwa moralitas harus terdiri dari kepatuhan atas perintah
Tuhan, yang ditegakkan oleh imbalan dan hukuman supranatural di dunia ini atau
di akhirat. Yang kedua adalah heroisme romantik, bahwa moralitas terdiri dari
kemurnian, keotentikan, dan kebesaran seseorang atau suatu bangsa. Meskipun
heroisme romantik pertama kali diartikulasikan pada abad-19, ia dapat kita
temukan dalam gerakan-gerakan populisme otoriter, neo-fasisme, neo-reaksioner,
dan kanan-alternatif.[71]
Akar intelektual dari banyak varian
populisme otoriter ini, bila kita boleh memilih yang paling mewakili kebalikan
dari humanisme, tiada orang lain selain filolog Jerman yakni Friedrich
Nietzche. Dengan jenaka Pinker menyindir suara-suara genosidal Nietzche yang
seperti berasal dari remaja transgresif yang terlalu banyak mendengarkan musik death metal, atau parodi luas dari
penjahat James Bond seperti Dr. Evil di Austin
Power. Kita bisa melihat dengan jelas Nietzche membantu mengilhami
militerisme romantik yang mengarah ke Perang Dunia I dan fasisme yang mengarah
ke Perang Dunia II. Meskipun Nietzche sendiri bukan seorang nasionalis Jerman
atau anti-Semit, bukan kebetulan bahwa kutipan-kutipannya melompat ke halaman
Nazisme klasik: Nietzche secara anumerta menjadi filsuf istana Nazi. (Pada
tahun pertamanya sebagai kanselir, Hitler berziarah ke Arsip Nietzche, yang
dipimpin oleh Elisabeth Forster-Nietzche, saudari sang filsuf dan eksekutor
sasta itu.) Mussolini mengadaptasi kehendak untuk berkuasa Nietzche menjadi
kehendak nasional untuk berkuasa, dan Bolshevisme dan Stalinisme mengadopsi ȕbermansch menjadi New Soviet Man sebagai prototype manusia ideal dalam perspektif
mereka.
Sebagaimana tirani keistimewaan yang
menjangkiti ideologi sama halnya berlaku pada para pengikut identitas tertentu.
Narsisme ini bisa kita lihat sebagai keyakinan terpanjang dan tertua sepanjang
sejarah peradaban manusia kita. Semenjak munculnya peradaban-peradaban regional
paling tua sekitar 4.500 tahun sebelumnya, planet bumi ini dianggap sebagai
pusat alam semesta, dan setiap peradaban regional memiliki sebuah wilayah
nasionalnya sendiri sebagai pusat bumi. Di mata orang-orang Asia Timur, Cina
menjadi “Kerajaan Tengah”. Sementara itu, menurut orang-orang India, pusat bumi
terletak di apa yang kini disebut dengan Uttar Pradesh dan Bihar. Kaum muslim
memandang Mekkah sebagai pusat bumi, sedangkan Yahudi dan Kristen menunjuk
Yerusalem sebagai pusatnya. Peradaban-peradaban yang telah punah sebelum 1400
juga memliki pusat-pusat bumi tersendiri. Bagi orang-orang Yunani Hellenik,
pusat ekumene adalah Delphi; bagi orang-orang Mesir Firaun, pusatnya adalah
delta Nil; bagi orang-orang Sumeria, pusatnya adalah Kota Nippur di Lembah
Tigris-Eufrat bawah.[72]
Kau; Aku yang Lain
Sejarah manusia memang begitu
panjang dan berliku. Telah jauh kita lari ke masa depan dan sampai saat ini
usaha untuk mendefinisikan siapa diri kita, untuk apa kita di sini, dan tujuan
apa yang kita emban di tempat asing ini, selalu merupakan pertanyaan yang
menagih jawaban, yang selalu berujung dengan ketidakpuasan. Kita memang makhluk
pemikir, binatang rasional. Untuk jutaan tahun, leluhur kita tinggal dalam
gerombolah kecil berjumlah lusinan. Untuk sepuluh sampai seratus ribu tahun,
leluhur tinggal dalam suku tribal yang terdiri dari ribuan orang. Ketika
tulisan dan uang diciptakan sekitar lima ribu tahun silam, kita kemudian
menyaksikan kerajaan, dinasti, dan nasion[73]
berdiri megah mentereng di atas halaman sejarah kita yang usang.
Namun apakah sejarah evolusi
peradaban manusia itu melulu tentang pertikaian yang bila kita lacak segala
akar historisya tak lebih dari perang saudara semata? Semangat kesukuan dan
kebangsaan yang kita temukan dalam nasionalisme, justru membuat kita lebih
perhatian dan memperlakukan orang tak dikenal dengan cara baik. Manusia, kita
tahu, tidak bisa menjalin relasi pertemanan yang ikrab lebih dari seratus lima
puluh orang. Lebih dari itu, adalah semacam pertemanan yang sekadar lewat. [74]
Dengan demikian, 99% populasi dunia adalah asing satu sama lain. Contohnya saya
dari Sulawesi Utara. Tapi saya bahkan tidak mengenal 1% populasi Sulawesi Utara
yang jumlahnya 4.5 juta, saya tak kenal 450 ribu orang itu. Daftar pertemanan
FB saya saja tidak sampai lima ribu orang dan isinya tidak semua orang Sulawesi
Utara. Saya bahkan tidak kenal 45 ribu orang yang ada di Sulawesi Utara (0.01%
populasi Sulut). Tapi saya rupanya bisa bersikap ramah bila ketemu dengan orang
Sulawesi Utara, bahkan membantu mereka dengan spontan dan penuh empati di
tempat asing semisal bandara Soekarno Hatta.
Oleh Harari, identitas tidak melulu
jadi alasan yang memisahkan orang-orang dengan garis demarkasi yang tajam dan
kejam. Ia mengangkat contoh nasionalisme dalam sebuah seminarinya. Hal terbaik
dalam nasionalisme moder, ungkap Harari, adalah mereka menemukan cara untuk
membuat orang-orang mempedulikan hal-hal yang terjadi kepada orang-orang yang
tak mereka kenal dan mempedulikan tempat-tempat yang mereka tak pernah pijaki.
Ini hal yang unik. Dalam komunitas tribal, setiap orang punya potensi intimitas
yang intens satu sama lain mengingat ruang lingkup yang lebih kecil. Tapi
bangsa merupkan komunitas orang-orang tak saling mengenal, yang tak saling
bertatap muka setiap hari. Soekarno ketika berteriak membela Papua agar tak
jatuh dari cengkeraman kolonial rupanya tak pernah sama sekali menginjakkan
kaki di ufuk timur Indonesia itu.[75]
Dua orang perempuan yang ketemu di sebuah pemakaman bisa saling berpegangan
tangan dan berpelukan meredakan nyeri hati mengetahui bahwa anak mereka meninggal
dalam bencana tsunami.
Harari lantas membedakan antara foreigner (orang asing) dan stranger (orang tak dikenal) di mana foreigner adalah mereka yang bicara
dengan bahasa berbeda, tampak berbeda, dan kultur berbeda. Sedangkan stranger adalah mereka yang tampak sama,
kultur sama, tapi kita tidak kenal secara personal. Dalam konteks nasionalisme,
pengakuan atas bahasa nasional merupakan salah satu aset krusial membangun
persahabatan di antara jurang perbedaan. Dalam contoh Papua misalnya, yang ktia
tahu terdiri dari pelbagai macam suku dan bahasa, justru, bahasa Indonesia
menjadi bahasa pemersatu di sana. Sekali lagi dalam konteks nasionalisme,
tujuannya adalah untuk membuat setiap individu dapat bekerja sama dengan
orang-orang tak dikenal. Politik identitas yang lebih luas, bila kita mencari genus alih-alih differentia (sifat pembeda)[76],
semisal kelas spesies manusia, maka kita temukan bahwa humanisme tidak hanya
menjembatani perbedaan antara orang tak dikenal, tetapi juga semua orang asing.
Bila kita perluas lagi konotasinya, bahwa kita adalah bagian dari kosmos, kita
akan menemukan bahwa kosmologi membantu kita menjembatani perbedaan antara
pelbagai macam spesies dan makhluk di jagad raya ini.
Walaupun dalam genealogi DNA kita,
tak dapat dipungkiri bahwa kita cuma anak cucu dari para pengembara yang
berekspedisi dari Afrika Timur beberapa puluh ribu tahun silam. Kita tak lebih
dari saudara jauh. Tak penting apakah Anda seorang penganut teologi
kreasionisme atau biologi evolusioner, kita hanya imigran abadi yang berjalan
terlalu jauh untuk menemui amnesia. Bila Anda seorang beriman, maka Anda tak
lebih dari imigran surga lagi transit di planet hijau manis ini. Bila Anda
pengikut Darwin, maka Anda hanyalah anak cucu pembunuh berantai yang menyulap
ekosistem leluhur menjadi gedung-gedung besi sebesar Goliath. Para penduduk
Amerika Timur ternyata adalah anak cucu Aasia yang bermigrasi melewati Alaska
bersama Rusia 20.000 tahun lalu. Tes DNA dan perbandingan bahasa menunjukan
relevansi yang menghubungkan antara populasi pribumi Amerika asli dan Asia
Timur.[77]
Harari juga berkata, bahwa paprika bukan asli Hongaria, tapi dari Mexico.
Apakah Hongaria perlu memboikot sepak bola karena itu ciptaan Inggris? Apakah
mereka harus berhenti membaca Tolstoy dan Harry Potter? Bila mereka melakukan
itu, maka kitab suci juga harus dibakar hangus karena diciptakan oleh Timur
Tengah dan dibawa kesana lewat imigran. Dalam satu ceramahnya, Goenawan Mohamad
tak sepakat dengan tajuk Samuel Huntington yakni benturan antar peradaban,
baginya, peradaban bukan saling berbenturan melainkan saling meminjam satu sama
lain.[78]
Nyatanya, bukan peradaban-peradaban yang bertikai, melainkan negara-negara yang
saling mengisoloasi diri secara eksesif.[79]
Sedangkan klaim ideologi dan agama, tak lebih dari faktor yang mengeskalasi
intensitas konflik, segalanya hanya demi tujuan politik atau ekonomi.
DAFTAR PUS(T)AKA
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan
dari: Imagined Communities: Reflection on
the Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta: INSIST. 2001.
Ariely, Dan. Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decision. US:
HarperCollin. 2008.
Armstrong, Karen. 1996. A Biography of the Prophet. London:
Victor Gollancz, The Cassel Group. Wellington House.
Baez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Yogyakarta:
Marjin Kiri. 2013.
Camus, Albert. 2015. Pemberontak, diterjemahkan dari The Rebel. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.
Craib, I. Classical
Social Theory. Oxford: Oxford University Press. 1994.
Dobelli, Rolf. Art of Thinking Clearly. UK: Sceptre. 2013.
Freud, Sigmund. Group Psychology and the Analysis of
the Ego. London: Hoghart. 1921.
Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan,
diterjemahkan dari: The Anatomy of Human
Destructiveness. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gottschall, Jonathan. 2012. The Storytelling Animal: How Stories Make Us
Human. US: Houghton Mifflin Court.
Hanafi, Hasan & Muhammad ‘Abid al-Jȃbiri.
Dialog Timur dan Barat, diterjemahkan
dari: Jiwar al-Masyriq wa al-Maghrib:
Talihi Silsilah al-Rudud wa al-Munaqasat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2015.
Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Adab untuk Abad ke-21, diterjemahkan
dari 21 Lessons for 21 Century. Global
Indo Kreatif: Manado.
Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: A Brief History of Tommorow. United States:
HarperCollins.
Harari, Yuval Noah. 2017. Saphiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, diterjemahkan
dari: Saphiens.. Jakarta: KPG.
Hassan, Fuad. Psikologi-Kita & Eksistensialisme:
Berkenalan Dengan Psikologi Kita dan Kami. Jakarta: Komunitas Bambu. 2014.
Homer, Trevor. 2006. The Book of Origins: Discover the Amazing
Origins of the Clothes we Wear, the Food Eat, the People We Know, the Languages
We Speak, and The Things We Use. London: Potrait.
Huntington, Samuel P. 1996.
Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, diterjemahkan dari:
Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Jakarta: Qalam.
Kahneman, Daniel. Thinking Fast and Slow. New York:
Farrar, Straus, & Giroux. 2011.
Klandermans, B. Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial. Terjemahan
oleh Helly P. Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Krogerus, Mikael & Roman
Tschappeler. The Decision Book: Fifty
Model for Strategic Thinking. Switzerland: Kein & Aber AG Zurich. 2011.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1995.
Le Bon, Gustave. Psikologi Revolusi (Psychology of Revolution). Terj: Irlinda &
Dhyaningrum. Yogyakarta: FORUM. 2017.
Lucàcs G. History
and Class Consciousness. Manchester, UK: Merlin. 1971.
Madjid, Nurcholis, Azyumardi Azra, dkk. Dekonstruksi Islam MazHab Ciputat. Bandung:
Zaman Wacana Mulia. 1999.
Manson, Mark. Everything is F*cked: A Book About Hope. HarperCollin. 2019.
Mooney, Chris. The Republican Brain: The Science of Why They Deny Science and Reality.
US: Wiley. 2012
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Rajawali Press.
Paul E. Willis. Learning to Labour: How Working Class Kids Get Working Class Job. Saxton
House: Westmead. 1977
Pinker, Steven. Enlightment Now (Pencerahan Sekarang Juga): Membela Nalar, Sains,
Humanisme, dan Kemajuan. Terj dari Enlightment
Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. Manado: Global
Indo Kreatif. 2019.
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, terj dari: The Open Society and Its Enemies. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2008
Rahardjo, M. Dawam. Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakrata:
LP3ES. 1992.
Sarundajang, S.H. Geostrategi Provinsi Sulawesi Utara Sebagai Pintu Gerbang Indonesia di
Gerbang Pasifik. Yogyakarta: UGM. 2011.
Susanto
F. Anthon. Kritik Nalar Hukum. Bandung: Logos
Publishing. 2015.
Tetlock, Phillip & Dan Gardner. Superforecasting: The Art and Science of
Prediction. United States: Crown Publisher. 2015.
Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan
Komparatif, diterjemahkan dari: Mankind
and Mother Earth: A Narrative History of the World. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm
Thaler, Richard. Nudge: Improving Decision About Healt, Wealth, and Happiness. USA:
Yale University Press. 2008.
Thompson, John B. Analisis Ideology Dunia. Diterjemahkan dari: Studies in the Theory of Ideology oleh Haqqul Yaqin. Yogyakarta:
IRCiSoD. 2014.
Vanier, Alain. 2000. Lacan. Paris: Les Belles Lettres.
Wright, Q. 1965. A Study of War. 2nd ed. Chicago: Univ. of Chicago Press.
Žižek, Slavoj. 1999. The Thicklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology. London:
Verso.
[1]
Lebih lengkapnya baca: Le Bon, Gustave. Psikologi
Revolusi (Psychology of Revolution). Terj: Irlinda & Dhyaningrum.
Yogyakarta: FORUM. 2017.
[2]
Analogi sederhana ini saya dapat dari profesor filsafat UNPAR, Bambang
Sugiharto, dalam pengantarnya di Susanto
F. Anthon. Kritik Nalar Hukum. Bandung: Logos Publishing. 2015. Hlm, 3-4.
[3] Le
Bon, Gustave., Ibid. hlm, 82.
[4]
Untuk pembicaraan lebih lanjut tentang ccara di mana pemahaman dapat “diblok” dan
“dibatasi”, lihat: Paul E. Willis. Learning
to Labour: How Working Class Kids Get Working Class Job. Saxton House:
Westmead. 1977, dan Thompson, John B. Analisis
Ideology Dunia. Diterjemahkan dari: Studies
in the Theory of Ideology oleh Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD. 2014.
Hlm, 183-184.
[5]
Lucàcs
G. History and Class Consciousness. Manchester,
UK: Merlin. 1971.
[6]
Craib, I. Classical Social Theory. Oxford:
Oxford University Press. 1994.
[7]
Kutipan Lenin ini diambil dari karangan Sidney dan Beatrice Webb, Soviet Communism (edisi kedua, 1937),
hlm. 650.
[8]
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan
Musuh-musuhnya, terj dari: The Open
Society and Its Enemies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hlm, 383.
[9]
Lebih lanjut soal institusi ekstraktif yang bakal menyebebkan kemiskinan dan
penindasan, bisa dibaca di Acemoglu, Daron & James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal (Why Nation Fall). Gramedia:
Jakarta. 2014.
[10]
Credit Suisse, Global Wealth Report 2015,
53; Filip Novokmet, Thomas Piketty dan Gabriel Zucman, “From Soviets to
Oligarchs: Inequality and Property in Russia 1905-2016”, Juli 2017, Database
Kekayaan dan Pendapatan Dunia; Shaun Walker, “Unequal Russia”, Guardian, 25 April 2017.
[11]
Zona perdagangan tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan peluang
geopolitiknya. Lihat: Sarundajang, S.H. Geostrategi
Provinsi Sulawesi Utara Sebagai Pintu Gerbang Indonesia di Gerbang Pasifik. Yogyakarta:
UGM. 2011.
[12]
Popper berkata bahwa doktrin “kubu miskin” melawan “kubu kaya” dalam konteks
Perang Dunia Pertama hanya digunakan untuk menjustifikasi agresi. Lihat Popper,
Karl R. Loc. Cit. hlm, 392.
[13]
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana. 1995. Hlm, 48.
[14]
Popper, Karl R. Loc, Cit. hlm,
476-477.
[15]
Saintifikasi teori Marx lahir pada masa-masa ketika positivism baru saja
merangkak. Di bawah bayang-bayang positivisme, bahkan seni yang merupakan
sesuatu yang subtil hendak diketatkan menjadi displin ilmiah yang seolah-olah
bisa diukur. Tak heran, ideology—yang memang bila kita lacak genealoginya dari
Perancis bertujuan untuk menyusun sesuatu yang ilmiah—Marxisme dengan percaya
diri menyatakan kematian kapitalisme di masa depan. Dan di masa sekarang, kita
justru melihat kapitalisme sebagai satu-satunya yang berdiri menyisihkan para
penantangnya dari abad silam. Marxisme saintifik dengan kata lain: utopis.
[16]
Popper, Karl. Loc, Cit. hlm, 506.
[17]
Lihat R.D. Hinshelwood, “Ideology and Identity”, Journal of Psychoanalysis, Culture, and Society Vol. 14. (2009).
Hlm, 136-137.
[18]
Lebih lanjut bisa ditelusuri di Greenwood, L. Effect of Social Categorization, Repressive Coping, and Differential
Status on Intergroup Discrimination (disertasi doktoral, Lehigh University,
1966).
[19]
Dimensi psikologi dalam frasa “Kami” berbeda dengan “Kita”. “Kami” mengandaikan
adanya pihak ketiga yang disebut “mereka”. Sedangkan “Kita” mengandaikan bahwa
segala subjek merupakan bagian dalam universalitas. Maka “Kami” adalah kesatuan
partikular. Lebih lanjut bisa dibaca di: Hassan, Fuad. Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
2014.
[20]
Carl Schmitt adalah “filsuf istana Nazi”. Pemahaman politiknya memang tak bisa
dilepaskan secara sosio-historis dengan karakter fasisme yang memuja perang
sebagai seni. Bila kita lacak lebih dalam genealoginya, kita akan temukan
residu pemahaman Herakleitos, Hegelianisme, dan Nietzchean di dalamnya.
[21]
Lebih lanjut soal ini, bisa dibaca di: Mooney, Chris. The Republican Brain: The Science of Why They Deny Science and Reality.
US: Wiley. 2012. Buku ini mengulas tentang sikap Republikanisme yang
menolak fakta-fakta saintifik semisal perubahan iklim dan lain sebagainya.
[22]
Ben Anderson punya penjelasan menarik soal ini ketika menyoal nasionalisme:
“Mati demi tanah air, yang biasanya bukan pilihan kita sendiri, dianggap
memiliki keagungan moral; kematian semacam itu tak dapat ditandingi oleh ‘mati
demi Partai Buruh’, ‘mati demi Perhimpunan Dokter Amerika’, bahkan mungkin
‘mati demi Amnesty Internasional’ pun masih kalah gebyar, sebab partai,
asosiasi, dan organisasi lainnya bisa kita masuki dan bisa kita tinggalkan
semau kita. Sementara itu nuansa ‘mati demi revolusi’ (atau demi ‘perjuangan’)
bergantung pada sejauh mana ia dirasa ‘murni’ secara mendasar.” Lebih lanjut
dalam Anderson, Benedict. Imagined
Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan dari: Imagined Communities: Reflection on the
Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta: INSIST. 2001. Hlm, 218.
[23]
Hanafi, Hasan & Muhammad ‘Abid al-Jȃbiri. Dialog Timur dan Barat, diterjemahkan dari: Jiwar al-Masyriq wa al-Maghrib: Talihi Silsilah al-Rudud wa
al-Munaqasat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2015. Hlm, 82.
[24]
“Einstein adalah seorang Yahudi, tetapi teori relativitas bukanlah ‘fisika
Yahudi’… Darwin adalah seorang Kristen dan bahkan memulai studinya di Cambridge
dengan tujuan menjadi pendeta Anglikan. Apakah ini menyiratkan bahwa teori
evolusi adalah teori Kristen?” pungkas Harari dalam: Harari, Yuval Noah. 21 Adab untuk Abad ke-21, diterjemahkan
dari 21 Lessons for 21 Century. Global
Indo Kreatif: Manado. 2018. Hlm, 208-209.
[25]
Pinker, Steven. Enlightment Now
(Pencerahan Sekarang Juga): Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan. Terj
dari Enlightment Now: The Case for
Reason, Science, Humanism, and Progress. Manado: Global Indo Kreatif. 2019.
Hlm, 597-598.
[26]
Freud, Sigmund. Group Psychology and the
Analysis of the Ego. London:
Hoghart. 1921. Hlm, 131.
[27]
Lihat R.D. Hinshelwood, “Ideology and Identity”, Journal of Psychoanalysis, Culture, and Society Vol. 14. (2009).
Hlm, 141-142.
[28]
Žižek
menyinggung ini ketika bicara soal ketidakpenuhan subjek yang terkonstitusikan.
Ia berkata, dengan meminjam perspektif Lacanian, bahwa hasrat subjek selalu
berasal dari hasrat orang lain (désir la désir).
Hasrat tersebut berasal dari sesuatu yang ia sebut yang-lain Besar. Sebagai
misal, kita menghasrati mobil mewah karena orang lain menghasrati hal yang
serupa. Dan hasrat orang lain itu dikondisikan oleh kuasa pemegang modal dalam
kultur kapitalisme. Lebih lanjut baca: Žižek, Slavoj. The Thicklish Subject: The Absent Centre of
Political Ontology. London: Verso. 1999. Hlm, 109.
[29]
Popper, Karl R. Loc. Cit. Hlm, 12-13.
[30]
Manson, Mark. Everything is F*cked: A
Book About Hope. HarperCollin. 2019.
[31]
Dobelli, Rolf. Art of Thinking Clearly. UK:
Sceptre. 2013.
[32]
Lebih lanjut bisa ditelusuri di: Tetlock, Phillip & Dan Gardner. Superforecasting: The Art and Science of
Prediction. United States: Crown Publisher. 2015.
[33]
Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 491-493.
[34] Ibid. hlm, 494.
[35]
Mereka yang berpikiran terbuka aktif akan bersepakat bahwa orang harus
mempertimbangkan bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka, bahwa lebih
bermanfaat untuk memperhatikan mereka yang tidak setuju dengan Anda daripada
memperhaitkan mereka yang setuju, bahwa mereka tidak sepakat mengubah pikiran
adalah tanda kelemahan, mereka tidak sepakat bahwa intuisi merupakan panduan
terbaik, bahwa tidak sepakat bertahan dengan keyakinannya apabila ada fakta
bertentangan. Lebih lanjut bisa dibaca di: Baron, J. Why teach Thinking? Aplied Psychology. 1993. Hlm, 191-237.
[36]
Pada 1800 mungkin hanya 2 atau 3 persen rakyat Ottoman yang mengenal aksara,
porsi itu jauh lebih rendah dari Inggris, yang 60 persen warga pria dan 40
persen wanitanya bisa menulis dan membaca. Tingkat keaksaraan rakyat Belanda
dan Jerman bahkan lebih tinggi. Rakyat Ottoman bahkan masih tertinggal jauh
dari negara-negara yang tingkat pendidikannya paling rendah, misalnya Portugal,
yang hanya 20 persen dari total warga prianya mengenal aksara. Lebih lanjut
bisa dibaca di: Acemoglu, Daron & James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal (Why Nation Fall). Gramedia: Jakarta. 2014.
Hlm, 245.
[37]
Lebih lanjut bisa dibaca di: Baez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2013.
[38]
Rahardjo, M. Dawam. Pragmatisme dan
Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakrata: LP3ES. 1992. Hlm,
29-31.
[39]
Madjid, Nurcholis, Azyumardi Azra, dkk. Dekonstruksi
Islam MazHab Ciputat. Bandung: Zaman Wacana Mulia. 1999. Hlm, 265.
[40]
Manson Mark. Loc. Cit. Baca chapter
4: How to Make All Your Dreams Come True.
[41]
Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm,
482-486.
[42]
E. Klein, “How Politics Make Us Stupid,” Vox, 6 April 2014; Chris Mooney,
“Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math,” Grist, 8 September
2013.
[43]
Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 497.
[44]
Manson, Mark. Loc. Cit. Baca chapter
Newton Law Emotion.
[45]
Lebih lanjut soal cara berpikir cepat dan lambat bisa dibaca di: Kahneman,
Daniel. Thinking Fast and Slow. New
York: Farrar, Straus, & Giroux. 2011.
[46]
Metode ini memanfaatkan kecenderungan manusia yang menyukai pilihan aman dan
menghindari risiko (risk/loss aversion).
Ideologi dianggap sebagai jala keselamatan psikologis bagi mereka yang rentan
secara mental. Sedikit dorongan akan membuat mereka menjadi loyalis sejati.
Kita bisa lihat contoh ini dari tren MLM dan gerakan hijrah yang pertama-tema
ingin menyelamatkan stabilitas mental alih-alih stabilitas material (kenyamanan
material dalam kasus MLM atau keselamatan eskatologis—yang lagi-lagi
material—dalam konteks pemuda hijrah). Thaler, Richard. Nudge: Improving Decision About Healt, Wealth, and Happiness. USA:
Yale University Press. 2008.
[47]
Richard Thaler memiliki argumentasi agak lain ketimbang rekan-rekannya di blok
ekonomi irasional. Thaler hendak menyatakan bahwa setiap orang menggunakan
rasionalitasnya dengan cara yang tidak konsisten, sehingga harusnya perilaku
mereka bisa diprediksi.
[48]
Ariely, Dan. Predictably Irrational: The
Hidden Forces that Shape Our Decision. US: HarperCollin. 2008.
[49]
Yang membedakan Nationalist Socialist Mussolini
dan Hitler dengan gerakan revolusioner klasik, ialah tentang pewarisan
nihilism, mereka memilih mendewakan yang irasional untuk menggantikan pendewaan
nalar. Mussolini memanfaatkan Hegel, adapun Hitler memanfaatkan Nietzche; dan
keduanya menggambarkan secara historis, beberapa ramalan ideologi Jerman.
Nihilisme ini dapat dilihat pada awal tahun 1914, tatkala Mussolini
mengemukakan agama suci anarki (the holy
religion of anarchy) dan menyatakan dirinya sebagai musuh dari segala agama
macam Kristen. Sementara bagi Hitler, orang ini terkenal karena menyejajarkan
Tuhan dengan Valhaal. Selanjutnya baca: Camus, Albert. 2015. Pemberontak, diterjemahkan dari The Rebel. Yogyakarta: Narasi-Pustaka
Promethea. Hlm, 328-329.
[50]
Krogerus, Mikael & Roman Tschappeler. The
Decision Book: Fifty Model for Strategic Thinking. Switzerland: Kein &
Aber AG Zurich. 2011. Hlm, 118.
[51]
Klandermans, B. Protes Dalam Kajian
Psikologi Sosial. Terjemahan oleh Helly P. Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2005.
[52] Harari,
Yuval Noah. 2017. Saphiens: Riwayat
Singkat Umat Manusia, diterjemahkan dari: Saphiens.. Jakarta: KPG.
[53]
Harari, Yuval Noah. 2019. Loc. Cit. hlm,
306-307.
[54]
Martin Suryajaya, “Slavoj Zizek dan
Pembentukan Identitas Subjektif Melalui Bahasa”, https://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa/#_ftn2,
diakses pada 8 Desember 2019.
[55]
Wibowo, A. Setyo & Majalah Driyarkaya. 2011. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius.
Hlm, 24-33.
[56]
Huntington, Samuel P. 1996. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia, diterjemahkan dari: Clash of Civilization and the Remaking of World
Order. Jakarta: Qalam. Hlm, 7-8.
[57]
Claude Fischler, “Food, Self, and Identity”. Sage Publication. 1988.
[58]
Lebih lanjut bisa dibaca di: Gottschall, Jonathan. 2012. The Storytelling Animal: How Stories Make Us Human. US: Houghton
Mifflin Court.
[59] Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: A Brief History of Tommorow. United States:
HarperCollins. Hlm, 48.
[60] Tinbergen, N. 1968. Of War and Peace in Animal and Men. Science. 160:1411-1418
[61] Pada tahun 1480-1499, jumlah pertempuran adalah 9.
1500-1599, berjumlah 87. 1600-1699, berjumlah 239. 1700-1799 berjumlah 781.
1800-1899 berjumlah 651. 1900-1940 berjumlah 892. Baca Wright, Q. 1965. A Study of War. 2nd ed. Chicago: Univ.
of Chicago Press dan Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, diterjemahkan dari: The Anatomy of Human Destructiveness. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[62]
Ideologi ini disebut dengan ideologi Muru’ah oleh Karen Armstrong. Lebih lanjut
baca: Armstrong, Karen. 1996. A Biography
of the Prophet. London: Victor Gollancz, The Cassel Group. Wellington
House.
[63]
Harari, Yuval Noah. 21 Adab untuk Abad
21. Loc. Cit. hlm, 15-16.
[64] Ibid.
[65]
Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 270.
[66] Ibid. hlm, 448.
[67]Ibid. hlm, 448-449.
[68] Ibid. hlm, 449.
[69]
Plato menganggap bahwa kemajuan terutama kea rah demokrasi adalah fenomena
degenerasi moral atau pembusukan moral. Ia menganggap masyarakat harus kembali
ke pemerintahan ideal yang berada di masa lalu, dan pemimpin negara harus
diserahkan kepada para filsuf. Dengan pedas Popper mengkritik Plato sebagai
eks-pegulat yang haus kekuasaan. Tentu saja Plato mau negara dipimpin oleh
filsuf karena hanya ada tiga filsuf zaman itu, dan yang paling dikenal adalah
Plato sendiri. Lebih lanjut baca Popper, Karl. Loc. Cit.
[70]
Kita bisa baca ini dalam Mooney, Chris. Loc.
Cit.
[71]
Pinker, Steven. Loc. Cit. hlm, 562.
[72]
Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat
Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, diterjemahkan
dari: Mankind and Mother Earth: A
Narrative History of the World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm, 682.
[73]
Mochtar Prabtotingi mengatakan bahwa nasion (nation) berbeda dengan bangsa (people) di mana bangsa adalah
kolektivitas sosiologis dan nasion sebagai kolektivitas politis. Lihat Mochtar
Prabotinggi, “Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan
Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia”, Orasi Ilmiah,
pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan.
Lembaga Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 22 Juni 2000. Hal, 3.
[74]
Baca Harari, Yuval Noah. Sapiens. Loc.
Cit.
[75]
Anderson, Bennedict. Loc. Cit. hlm,
185.
[76]
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta:
Rajawali Press.
[77]
Homer, Trevor. 2006. The Book of Origins:
Discover the Amazing Origins of the Clothes we Wear, the Food Eat, the People
We Know, the Languages We Speak, and The Things We Use. London: Potrait.
Hlm, 189.
[78]
Sebagaimana kata Arnol Toynbee: “Setiap kebudayaan manusia yang pernah eksis
senantiasa menebarkan pengaruh pada kehidupan manusia sesudahnya. Pengaruh dari
kebudayaan-kebudayaan yang telah mati mungkin masih bersifat potensial.
Pengaruh peradaban-peradaban Sumero-Akkadia dan Mesir Firaun yang terus
berlanjut mengilustrasikan hal tersebut. Namun demikian, pengaruh kebudayaan-kebudayaan
yang telah mati mengalir secara tidak langsung. Toynbee, Arnold. 2004. Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis,
Kronologis, Naratif, dan Komparatif, diterjemahkan dari: Mankind and Mother Earth: A Narrative
History of the World. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm, 167.
[79] Ibid. hlm, 770.
0 Komentar