The-Tree-Of-Crows-C.-1822 Caspar Friedrich

 


Satu-satunya buku Umberto Eco yang saya bisa pahami sejauh ini hanyalah karya fiksinya, Il Nome de la Rosa. Saya pernah membeli bukunya yang lebih teoritis tentang kode dan semiotika, tapi saya tidak kunjung mengerti cara berpikirnya. Memahami labirin pemikiran teoritis Eco pun saya pikir bakal berbenturan dengan kemustahilan selama tidak ada mentor yang bisa kita ajak bicara.

 

Kemudian saya ketemu dengan seri buku kecil Circa, “Bahasa dan Kegilaan”, berisi beberapa esai panjang Eco berkenaan dengan pencariannya terhadap bahasa. Kali ini, saya bisa lebih sedikit memahami Eco. Lewat pembacaan cepat, saya pun menyerap dua poin penting yang mengusik saya untuk berpikir lebih dalam dan lebih dalam lagi: Pertama, sejarah lebih banyak diisi oleh keyakinan palsu yang selalu siap direvisi. Kedua, pencarian akan bahasa sempurna, yang saya simak, dianggap sebagai bahasa pertama yang dipakai Adam.

 

“Sejarah adalah panggung ilusi,” ujar Eco. Ia mengajak kita ke persekusi kepada Copernicus dan Galileo, ke perselisihan antara heliosentrisme dan geosentrisme. Jauh sebelum sains merevisi arogansi institusi agama bahwa bumi ini sedatar atlas, kita telah terbius oleh kebenaran palsu yang dianggap sejarah. Bagaimanapun, usia keyakinan kalau bumi merupakan pusat tata surya, adalah usia yang jauh lebih tua daripada matahari sebagai poros perputaran planit-planit. Galileo lewat kecerdikannya berhasil mengubah titik perputaran itu, kebenaran absolut gereja pun bergeser menjadi kebenaran temporer (atau kebenaran minimal dalam terminologi Ali Harb) yang selalu siap digeser kedudukannya oleh model saintifik baru. Meskipun demikian, dalam rentetan waktu dan ruang yang lebar ini, kita tidak bisa menafikan: bahwa pernah ada titimangsa di mana kepalsuan jauh lebih kuat daripada kebenaran, dan kepalsuan tersebut pernah menggerakkan roda sejarah dalam kurun waktu yang amat lama.

 

Ini juga membuat kewaspadaan saya pada pemujaan sains meningkat. Kekeliruan otoritas keagamaan di abad paling gelap itu mestinya menjadi cermin agar sains tidak terjebak pada saintisme, keyakinan kalau sains merupakan jawaban satu-satunya. Kritik bernada dasar serupa pun dilepaskan Adorno-Hokhaimer dari kacamata kritis Frankfurt, bahwa pemujaan manusia pada rasionalitas justru melahirkan irasionalitas; menjadikan rasionalitas sebagai “juru selamat” justru membuatnya setara dengan mitos.

 

Berkat keberanian dan kecerdikan Galileo pun pengorbanan Copernicus, kita akhirnya mendapati matahari sebagai pusat tata surya di buku-buku fisika dasar, tapi kita tidak boleh memfinalisasinya dengan mengatakan bahwa inilah satu-satunya jawaban, meskipun demikian, sains tetaplah jawaban terbaik yang untuk sementara ini dimiliki anak-anak manusia.

 

Kita memang tak tahu alam semesta secara keseluruhan. Karlina Supeli lewat Dari Kosmos ke Dialog, mengungkapkan kepada kita potensi manusia memahami alam semesta hanya kurang dari lima persen, sedangkan sembilan puluh lima persen sisanya adalah materi gelap (dark matter) yang tak bisa ditembusi akal kita. Namun demikianlah fungsi revolusi ignoramus pun ide antiperpustakaan Eco: untuk menghantam sungai es dalam dada kita agar kita selalu tabah menerima kenyataan kalau banyak yang tak kita tahu tentang dunia yang luas ini. Kesimpulan yang serupa pun saya dapati setelah membaca Astrofisika Untuk Orang-Orang Sibuk karya Neil Tysoon, penerus Carl Sagan, kalau semesta ini tolong jangan dibikin sempit dengan ego kita yang dangkal. Ego di sini tentu saja kedangkalan akal untuk memfinalisasi kebenaran galaksi yang sesungguhnya tidak pernah final. Kita hanya berusaha mendekati kebenaran lewat penjelasan-penjelasan terbaik yang kita punya, bukan berarti, kita menjadikan sains sebagai satu-satunya jawaban yang tak lagi dapat dibantah. Sebab teori yang baik adalah teori yang mengandung kesalahan di dalamnya, ia menjadikan kepala manusia tidak sesempit rumah kura-kura pun sekerdil daun kelor.

 

Poin kedua yang mengusik saya dari “Bahasa dan Kegilaan” Eco adalah pertanyaan tentang bahasa apa yang pertama kali digunakan tuhan ketika mengajak Adam dan Hawa ngobrol? Bahasa apakah yang digunakan ular gaek ketika memanas-manasi Hawa agar punya pengetahuan setara Tuhan? Bahasa apa yang digunakan dua manusia pertama itu ketika ngobrol dengan Habil & Kabil? Bahasa apa yang digunakan malaikat ketika menginterupsi tuhan yang hendak menciptakaan makhluk yang membikin tumpah darah di atas planit ini?

 

Di suatu tempat disebut surga itu, dalam kosmogoni kita, malaikat mengajari nabi pertama dan kekasihnya nama-nama benda. Di sini, saya langsung teringat Bahasa Agama karya Komarudin Hidayat: bahasa apa yang dipakai waktu itu? Apa nama benda pertama yang diajari kepada bapak Adam dan ibu Hawa? Kita pun kesulitan menjawabnya.

 

Persoalan ini disebut problem menara Babel oleh Eco. Dalam tradisi biblikal, menara Babel adalah menara di mana seluruh umat manusia pengin mencari bahasa tunggal, bahasa universal. Manusia tidak ingin mengalami kekacauan pemahaman karena perbedaan cara ucap dan cara memahami kata-kata. Tapi tuhan yang menghendaki pluralitas pemahaman dan keragaman, lantas meruntuhkan menara itu, dan bahasa manusia pun terserak-serak di muka bumi. (Ketika membaca ini saya langsung terpikir dengan ayat Quran tentang manusia yang diciptakan bersuku-suku, tapi menggunakan itu dalam pembahasan ini hanya akan mendistorsi pencarian akan “bahasa sempurna” menjadi pengetahuan dogmatis yang tidak sehat buat perdebatan.)

 

Dalam upaya pencarian linguistik, salah satu cara mencari bahasa pertama atau sisa-sisa bahasa menara Babel adalah mencari tahu kata apa yang pertama kali diucapkan manusia? Kita memang tak tahu kata tersebut secara harfiah, tapi secara makna, jawaban sementara terbaik adalah kata “ibu”. Barangkali karena itulah kita suka mengatakan bahasa asli yang digunakan masyarakat di mana kita lahir dan tumbuh di tengah-tengahnya dengan bahasa ibu.

 

Saya tentu tidak bisa menjawab itu, dan saya rasa, sepertinya tidak ada pakar linguistik yang bia melacak bahasa pertama tersebut, dan tidak ada satu pun yang dapat memastikan sejak kapan kekacauan lidah atau serak-serak bahasa sejak peristiwa babel bermula. Sepertinya lebih mudah memasukan unta ke lubang jarum daripada melacak jejak-jejak tersebut.

 

Tapi setidaknya lewat buku ini, saya agak bisa memastikan kalau Eco adalah penganut Plato. Hal itu kentara dari gairah mencari bahasa pertama, dan kedekatan literatur Eco dengan santo-santo (bahkan Il Nome de la Rosa yang dekat dengan filsuf-filsuf Kristen yang juga penganut Plato). Gagasan kunci Plato yang dekat dengan dugaan saya adalah gagasan soal forma. Plato beranggapan kalau alam ide jauh lebih sempurna dari alam benda (forma). Dan forma, selalu tidak sesempurna ide. Karena itu, untuk mencari yang sempurna, maka kita harus mencari jejak-jejak ide tersebut. Mengikuti dari mana benda itu berhilir, yakni ke asal muasal ide di mana benda itu ada.

 

Metafisika soal alam ide Plato sulit untuk dicari kepastiannya. Banyak kemudian yang menganggap itu spekulatif belaka. Alam yang sempurna itu, alam pra-lahir, memang dekat dengan tafsir-tafsir agama, tapi selama alam seperti itu tidak bisa diobservasi dan dievaluasi lewat kerangka metodologi serta filosofis yang jelas, ia hanya akan menjadi spekulasi yang tak layak dijadikan pondasi gagasan-gagasan.

 

Saya belakangan mulai menerima argumentasi kalau bahasa adalah tatanan yang muncul secara spontan (spontaneous order). Analoginya saya ambil dari Kant soal tuhan si pembuat arloji. Kita anggap bahwa pada mulanya ada beberapa kata yang disepakati nenek moyang pemburu-pengumpul. Kata-kata sebagai jejaring intersubjektif tersebut kemudian muncul satu per satu. Katakanlah yang pertama kali ada adalah kata “ibu” dengan cara ucap yang sudah tidak bisa lagi kita tahu. Lalu dari kata pertama, muncul keinginan untuk mengucapkan objek lain seperti “anak”, dari anak muncul “kakak” & “adik”, lalu muncul “makan”, dan seterusnya dan seterusnya.

 

Manusia seperti tuhan yang menciptakan kata pertama. Tapi bagaimana proses sehingga kata-kata itu menjadi satu sistem bahasa yang utuh dan ajeg, mekanismenya terjadi secara spontan, di luar kuasa satu individu saja. Ia terjalin berkelindan dengan kebiasaan cara tutur serta berlisan individu-individu yang ada di kelompok masyarakat di mana mereka berinteraksi di dalamnya. Individu pertama yang menciptakan kata agar bisa dipahami lewat jejaring intersubjektif bisa kita sebut sebagai tuhan yang menciptakan arloji. Tapi setelah kata itu tiba ke masyarakat, kata-kata itu membentuk dirinya sendiri yang liat untuk terus menyempurna, sebagaimana arloji yang bisa bergerak sendiri tanpa bantuan Tuhan yang menciptakannya.

 

Hal lain yang tidak saya sepakati dari Eco adalah anggapan kalau bahasa pertama adalah bahasa paling sempurna. Saya lebih sepakat dengan Hegel dalam soal ini, bahwa bertentangan dengan Plato soal forma (dari universal ke partikular atau dari kebenaran murni ke kebenaran yang membusuk), proses dialektika antar ide justru menuju akhir yang selalu bakal menyempurnakan dirinya sendiri. Mekanisme ini disebut dialektika, di mana dalam peradaban umat manusia universal kita kenal ada suatu sistem bahasa (tesis) yang berbenturan dengan sistem bahasa lain (antitesis) yang kemudian menghasilkan sistem bahasa baru yang lebih mutakhir (sintesis). Sintesis itu sendiri, bisa berupa penaklukan (tesis ditaklukkan oleh antithesis atau sebaliknya), penjarahan (salah satu sistem budaya mencuri atau meminjam bagian dari sistem bahasa lain untuk menyempurnakan dirinya), atau pertukaran (dua sistem bahasa itu saling mempengaruhi satu sama lain). Dalam bahasa antropologi, pembedaan ini kita kenal dengan akulturasi, asimilasi, dan difusi.

 

Lewat mekanisme antropologis maupun dialetis maupun efek samping ala Eco tadi (penaklukan, penjarahan, dan pertukaran), sistem bahasa selalu mencari cara membuat bahasa menjadi lebih sempurna, lebih efisien, lebih praktis, dan lebih baik dari waktu ke waktu. Ini berbeda dengan tafsir Platonis bahwa bahasa sempurna pada awalnya tapi membusuk ketika ia melahirkan bahasa-bahasa baru lewat kekacauan lidah.