Satu-satunya buku Umberto Eco yang saya
bisa pahami sejauh ini hanyalah karya fiksinya, Il Nome de la Rosa. Saya pernah membeli bukunya yang lebih teoritis
tentang kode dan semiotika, tapi saya tidak kunjung mengerti cara berpikirnya.
Memahami labirin pemikiran teoritis Eco pun saya pikir bakal berbenturan dengan
kemustahilan selama tidak ada mentor yang bisa kita ajak bicara.
Kemudian saya ketemu dengan seri buku
kecil Circa, “Bahasa dan Kegilaan”,
berisi beberapa esai panjang Eco berkenaan dengan pencariannya terhadap bahasa.
Kali ini, saya bisa lebih sedikit memahami Eco. Lewat pembacaan cepat, saya pun
menyerap dua poin penting yang mengusik saya untuk berpikir lebih dalam dan
lebih dalam lagi: Pertama, sejarah
lebih banyak diisi oleh keyakinan palsu yang selalu siap direvisi. Kedua, pencarian akan bahasa sempurna,
yang saya simak, dianggap sebagai bahasa pertama yang dipakai Adam.
“Sejarah adalah panggung ilusi,” ujar Eco.
Ia mengajak kita ke persekusi kepada Copernicus dan Galileo, ke perselisihan
antara heliosentrisme dan geosentrisme. Jauh sebelum sains merevisi arogansi
institusi agama bahwa bumi ini sedatar atlas, kita telah terbius oleh kebenaran
palsu yang dianggap sejarah. Bagaimanapun, usia keyakinan kalau bumi merupakan
pusat tata surya, adalah usia yang jauh lebih tua daripada matahari sebagai
poros perputaran planit-planit. Galileo lewat kecerdikannya berhasil mengubah
titik perputaran itu, kebenaran absolut gereja pun bergeser menjadi kebenaran
temporer (atau kebenaran minimal dalam terminologi Ali Harb) yang selalu siap
digeser kedudukannya oleh model saintifik baru. Meskipun demikian, dalam
rentetan waktu dan ruang yang lebar ini, kita tidak bisa menafikan: bahwa
pernah ada titimangsa di mana kepalsuan jauh lebih kuat daripada kebenaran, dan
kepalsuan tersebut pernah menggerakkan roda sejarah dalam kurun waktu yang amat
lama.
Ini juga membuat kewaspadaan saya pada
pemujaan sains meningkat. Kekeliruan otoritas keagamaan di abad paling gelap
itu mestinya menjadi cermin agar sains tidak terjebak pada saintisme, keyakinan
kalau sains merupakan jawaban satu-satunya. Kritik bernada dasar serupa pun
dilepaskan Adorno-Hokhaimer dari kacamata kritis Frankfurt, bahwa pemujaan
manusia pada rasionalitas justru melahirkan irasionalitas; menjadikan
rasionalitas sebagai “juru selamat” justru membuatnya setara dengan mitos.
Berkat keberanian dan kecerdikan Galileo
pun pengorbanan Copernicus, kita akhirnya mendapati matahari sebagai pusat tata
surya di buku-buku fisika dasar, tapi kita tidak boleh memfinalisasinya dengan
mengatakan bahwa inilah satu-satunya jawaban, meskipun demikian, sains tetaplah
jawaban terbaik yang untuk sementara ini dimiliki anak-anak manusia.
Kita memang tak tahu alam semesta secara
keseluruhan. Karlina Supeli lewat Dari
Kosmos ke Dialog, mengungkapkan kepada kita potensi manusia memahami alam
semesta hanya kurang dari lima persen, sedangkan sembilan puluh lima persen
sisanya adalah materi gelap (dark matter)
yang tak bisa ditembusi akal kita. Namun demikianlah fungsi revolusi ignoramus
pun ide antiperpustakaan Eco: untuk menghantam sungai es dalam dada kita agar
kita selalu tabah menerima kenyataan kalau banyak yang tak kita tahu tentang
dunia yang luas ini. Kesimpulan yang serupa pun saya dapati setelah membaca Astrofisika Untuk Orang-Orang Sibuk karya
Neil Tysoon, penerus Carl Sagan, kalau semesta ini tolong jangan dibikin sempit
dengan ego kita yang dangkal. Ego di sini tentu saja kedangkalan akal untuk
memfinalisasi kebenaran galaksi yang sesungguhnya tidak pernah final. Kita
hanya berusaha mendekati kebenaran lewat penjelasan-penjelasan terbaik yang
kita punya, bukan berarti, kita menjadikan sains sebagai satu-satunya jawaban
yang tak lagi dapat dibantah. Sebab teori yang baik adalah teori yang
mengandung kesalahan di dalamnya, ia menjadikan kepala manusia tidak sesempit
rumah kura-kura pun sekerdil daun kelor.
Poin kedua yang mengusik saya dari “Bahasa
dan Kegilaan” Eco adalah pertanyaan tentang bahasa apa yang pertama kali
digunakan tuhan ketika mengajak Adam dan Hawa ngobrol? Bahasa apakah yang
digunakan ular gaek ketika memanas-manasi Hawa agar punya pengetahuan setara
Tuhan? Bahasa apa yang digunakan dua manusia pertama itu ketika ngobrol dengan
Habil & Kabil? Bahasa apa yang digunakan malaikat ketika menginterupsi
tuhan yang hendak menciptakaan makhluk yang membikin tumpah darah di atas
planit ini?
Di suatu tempat disebut surga itu, dalam
kosmogoni kita, malaikat mengajari nabi pertama dan kekasihnya nama-nama benda.
Di sini, saya langsung teringat Bahasa
Agama karya Komarudin Hidayat: bahasa apa yang dipakai waktu itu? Apa nama
benda pertama yang diajari kepada bapak Adam dan ibu Hawa? Kita pun kesulitan
menjawabnya.
Persoalan ini disebut problem menara Babel
oleh Eco. Dalam tradisi biblikal, menara Babel adalah menara di mana seluruh
umat manusia pengin mencari bahasa tunggal, bahasa universal. Manusia tidak
ingin mengalami kekacauan pemahaman karena perbedaan cara ucap dan cara
memahami kata-kata. Tapi tuhan yang menghendaki pluralitas pemahaman dan
keragaman, lantas meruntuhkan menara itu, dan bahasa manusia pun terserak-serak
di muka bumi. (Ketika membaca ini saya langsung terpikir dengan ayat Quran
tentang manusia yang diciptakan bersuku-suku, tapi menggunakan itu dalam
pembahasan ini hanya akan mendistorsi pencarian akan “bahasa sempurna” menjadi
pengetahuan dogmatis yang tidak sehat buat perdebatan.)
Dalam upaya pencarian linguistik, salah
satu cara mencari bahasa pertama atau sisa-sisa bahasa menara Babel adalah
mencari tahu kata apa yang pertama kali diucapkan manusia? Kita memang tak tahu
kata tersebut secara harfiah, tapi secara makna, jawaban sementara terbaik
adalah kata “ibu”. Barangkali karena itulah kita suka mengatakan bahasa asli
yang digunakan masyarakat di mana kita lahir dan tumbuh di tengah-tengahnya
dengan bahasa ibu.
Saya tentu tidak bisa menjawab itu, dan
saya rasa, sepertinya tidak ada pakar linguistik yang bia melacak bahasa
pertama tersebut, dan tidak ada satu pun yang dapat memastikan sejak kapan
kekacauan lidah atau serak-serak bahasa sejak peristiwa babel bermula.
Sepertinya lebih mudah memasukan unta ke lubang jarum daripada melacak
jejak-jejak tersebut.
Tapi setidaknya lewat buku ini, saya agak
bisa memastikan kalau Eco adalah penganut Plato. Hal itu kentara dari gairah
mencari bahasa pertama, dan kedekatan literatur Eco dengan santo-santo (bahkan Il Nome de la Rosa yang dekat dengan
filsuf-filsuf Kristen yang juga penganut Plato). Gagasan kunci Plato yang dekat
dengan dugaan saya adalah gagasan soal forma. Plato beranggapan kalau alam ide
jauh lebih sempurna dari alam benda (forma). Dan forma, selalu tidak sesempurna
ide. Karena itu, untuk mencari yang sempurna, maka kita harus mencari
jejak-jejak ide tersebut. Mengikuti dari mana benda itu berhilir, yakni ke asal
muasal ide di mana benda itu ada.
Metafisika soal alam ide Plato sulit untuk
dicari kepastiannya. Banyak kemudian yang menganggap itu spekulatif belaka.
Alam yang sempurna itu, alam pra-lahir, memang dekat dengan tafsir-tafsir
agama, tapi selama alam seperti itu tidak bisa diobservasi dan dievaluasi lewat
kerangka metodologi serta filosofis yang jelas, ia hanya akan menjadi spekulasi
yang tak layak dijadikan pondasi gagasan-gagasan.
Saya belakangan mulai menerima argumentasi
kalau bahasa adalah tatanan yang muncul secara spontan (spontaneous order). Analoginya saya ambil dari Kant soal tuhan si
pembuat arloji. Kita anggap bahwa pada mulanya ada beberapa kata yang disepakati
nenek moyang pemburu-pengumpul. Kata-kata sebagai jejaring intersubjektif
tersebut kemudian muncul satu per satu. Katakanlah yang pertama kali ada adalah
kata “ibu” dengan cara ucap yang sudah tidak bisa lagi kita tahu. Lalu dari
kata pertama, muncul keinginan untuk mengucapkan objek lain seperti “anak”,
dari anak muncul “kakak” & “adik”, lalu muncul “makan”, dan seterusnya dan
seterusnya.
Manusia seperti tuhan yang menciptakan
kata pertama. Tapi bagaimana proses sehingga kata-kata itu menjadi satu sistem
bahasa yang utuh dan ajeg, mekanismenya terjadi secara spontan, di luar kuasa
satu individu saja. Ia terjalin berkelindan dengan kebiasaan cara tutur serta
berlisan individu-individu yang ada di kelompok masyarakat di mana mereka
berinteraksi di dalamnya. Individu pertama yang menciptakan kata agar bisa
dipahami lewat jejaring intersubjektif bisa kita sebut sebagai tuhan yang
menciptakan arloji. Tapi setelah kata itu tiba ke masyarakat, kata-kata itu
membentuk dirinya sendiri yang liat untuk terus menyempurna, sebagaimana arloji
yang bisa bergerak sendiri tanpa bantuan Tuhan yang menciptakannya.
Hal lain yang tidak saya sepakati dari Eco
adalah anggapan kalau bahasa pertama adalah bahasa paling sempurna. Saya lebih
sepakat dengan Hegel dalam soal ini, bahwa bertentangan dengan Plato soal forma
(dari universal ke partikular atau dari kebenaran murni ke kebenaran yang
membusuk), proses dialektika antar ide justru menuju akhir yang selalu bakal
menyempurnakan dirinya sendiri. Mekanisme ini disebut dialektika, di mana dalam
peradaban umat manusia universal kita kenal ada suatu sistem bahasa (tesis)
yang berbenturan dengan sistem bahasa lain (antitesis) yang kemudian
menghasilkan sistem bahasa baru yang lebih mutakhir (sintesis). Sintesis itu
sendiri, bisa berupa penaklukan (tesis ditaklukkan oleh antithesis atau
sebaliknya), penjarahan (salah satu sistem budaya mencuri atau meminjam bagian
dari sistem bahasa lain untuk menyempurnakan dirinya), atau pertukaran (dua
sistem bahasa itu saling mempengaruhi satu sama lain). Dalam bahasa
antropologi, pembedaan ini kita kenal dengan akulturasi, asimilasi, dan difusi.
Lewat mekanisme antropologis maupun
dialetis maupun efek samping ala Eco tadi (penaklukan, penjarahan, dan
pertukaran), sistem bahasa selalu mencari cara membuat bahasa menjadi lebih
sempurna, lebih efisien, lebih praktis, dan lebih baik dari waktu ke waktu. Ini
berbeda dengan tafsir Platonis bahwa bahasa sempurna pada awalnya tapi membusuk
ketika ia melahirkan bahasa-bahasa baru lewat kekacauan lidah.

0 Komentar