Bukan hanya kata-kata sebagai visual, saya
juga mau mengalami kata-kata dalam bentuknya yang audial. Kata-kata memang
bukan sekadar pelayan indera penglihatan—indera yang oleh Leonardo da Vinci,
lebih superior daripada lain. Kata-kata mesti demokratis, ia juga mesti
menyampaikan pengalaman rasa sang penulis lewat nada, lewat tekstur, lewat
kecapan, dan aroma.
Entah bagaimana, cara berpikir seperti itu
mendorong saya untuk selalu ingin tahu apa pengalaman audial penulis-penulis
yang bukunya saya baca. Proses membaca, bukan sekadar transaksi bahasa dari
produsen dan konsumen, lebih dari itu, ia bisa mencapai interaksi rasa…
Kata seorang teman, berbagi lagu yang
pernah kita gemari merupakan sesuatu yang personal. Mendengar musik bukan saja
mendengar nada baris-berbaris di gendang telinga, tapi juga merekam emosi,
mengikat kenangan, membentuk mesin waktu pribadi menuju titik masa yang pernah
dilalui dengan dada yang tak kering. Karena itu, saya selalu anggap judul musik yang muncul di buku-buku yang saya baca adalah rekomendasi tersirat dari sang penulis. Memikirkan anggapan begini, saya pun tergerak mencatat dan menyimpan lagu tersebut di playlist youtube saya. Di bawan ini adalah beberapa di antarnya:
1.
Na Sonang Do Hita
Nadua—Tigris (GM)
Dari kumpulan puisi GM, Tigris, saya menemukan lagu lokal ini
sebagai judul puisinya. GM menggunakan judul lagu sebagai alusi, jalan pintas
membimbing kita ke nuansa emosi tertentu. Ketika membaca puisi ini, tirai teater
seperti tersibak di bawah alis saya, lalu saya lihat seorang paruh baya
membayangkan lagu nostalgia kepada kekasihnya yang sudah lama tidak lagi saling
bertukar surat.
Na
sonang do hita na dua lagu Sumatera Utara, yang judulnya kurang lebih
“senangnya kita bisa berdua”. Tema itu terbentur dengan suasana puisi yang
murung seperti dalam baris ini: “Cinta
kami adalah / dua nomor telepon yang hilang / dalam perpindahan / yang
panjang.”
2.
La Mer – Hidup
Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya (Dea Anugrah)
Charles Trenet menulis La Mer di kereta di samping mata jendela
yang menatap lanskap Perancis yang romantis. Saya bayangkan Charles Trenet
menatap laut lazuardi dengan dada digayuti ketakjuban. Maka akan menjadi masuk
akal untuk saya apabila ada yang akan bilang kalau La Mer adalah musik penuh kedalaman sekalipun saya tidak tahu makna
di belakang lirik Perancis itu.
Lagu itu didengar oleh Dea Anugrah dalam
perjalanannya menuju pulau Komodo. Diiringi gesekan laut & angin yang
melawan arah, La Mer barangkali bisa
menangkap ingatan dengan lebih akurat di waktu kemudian. Kemudian entah kenapa
saya pengin mendengar lagu tersebut di suatu perjalanan menuju pulau Abadi di
kampung halaman saya. Membiarkan lagu itu masuk bersama kecipak-kecipak air ke
sampan kami, dengan tatapan yang mengarah ke biru lazuardi lautan yang
menggayuti dada saya yang diisi ketakjuban-ketakjuban.
3.
Never Let Me Go –
Never Let Me Go (Kazuo Ishigiro)
Never Let Me Go adalah satu dari dua puluh
buku paling membikin saya jatuh cinta tahun ini. Judul buku ini sendiri,
ternyata diambil dari nomor musik yang setelah saya telusuri di Youtube
dinyanyikan oleh Judy Bridgewater. Meskipun begitu, sosok Judy Bridgewater
masih diperdebatkan apakah ia sosok nyata atau fiksi. Banyak penggemar buku ini
kemudian berspekulasi, kalau kreator musik tersebut adalah kombinasi dari dua
tokoh vintage, yakni Judy Garland
& Dee Dee Bridgewater. Ketika para pembaca bertanya apakah tebakan mereka
benar, Ishiguro selalu menampik mereka, dan ketiadaan jawaban yang jernih
membuat misteri terhadap lagu tersebut lebih mengental.
Lagu itu, terlepas dari fiksi atau
tidaknya, justru semakin menagih rasa penasaran saya. Ada perasaan untuk ingin
tahu bagaimana sensasi mendengar nada Never
Let Me Go merambat ke sekujur kulit saya, nada yang sama yang pernah
menuntun tubuh tokoh utama di novel itu menari dengan langkah-langkah yang
sangat manusiawi.
4.
Always a Relief –
Story for Rainy Days (Naela Ali)
Selalu menyenangkan mengetahui kalau kita
merupakan alasan seseorang untuk mendengar lagu tertentu. Naela Ali, lewat
bukunya ini, bertanya kepada seseorang yang mungkin ia suka tentang lagu yang
langsung terpikirkan acap mengingat Naela Ali. Spontan Always a Relief, dari Radio Dept, muncul di kepalanya.
Dialog tersebut dikirimi teman istimewa
saya yang lagi membaca buku Naela Ali. Saat itu kalau tidak salah, pagi yang
mendung. Jemari langsung menuju Youtube, mencari band Swedia beraliran
dream-pop tersebut. Seperti hujan, mendengar lagu ini turut membawa saya larut
dengan kelegaan yang lembut mengetahui selalu dicintai dengan cara-cara
tertentu.
5.
Aung Sang Lyne—Selfish
Gene (Richard Dawkins)
Awalnya lagu ini adalah puisi yang ditulis
Robert Burns sekitar abad ke-16 atau 17, yang kemudian menyebar di daratan
Anglo-Saxon dengan lirik-lirik Inggris yang lebih gampang diingat nadanya
ketimbang liriknya. Aung Lang Syne sendiri
berakar dari bahasa Skotlandia yang artinya "dulu sekali” atau “hari-hari
yang sudah lama berlalu” atau kita bisa mengartikannya dengan istilah yang
sering dibuka oleh pendongeng: “pada dahulu kala”, yang praktis membayangi
imaji kita dengan nuansa kisah rakyat. Demikianlah lagu ini dikenal sebagai
lagu rakyat yang kerap mengiringi tarian & dansa dalam pesta-pesta
masyarakat tradisional. Kemudian hari, lagu ini mulai sering muncul di
penghujung tahun sebagai lagu tahun baru.
Lagu ini di-mention Dawkins ketika ia hendak menjelaskan evolusi kultural yang
dimotori oleh informasi atau meme yang
kerap mereplikasi diri berkali-kali. Sebagaimana aksioma dasar evolusi, meme
terbaik dapat kita rekognisi dari kemampuannya bertahan hidup dalam waktu yang
lama, kemampuannya untuk menggoda budaya lain meminjam dirinya untuk menjadi
bagian dari milik budaya di luar Skotlandia.

0 Komentar