Music-1901-large Gustav Klimt

 


Bukan hanya kata-kata sebagai visual, saya juga mau mengalami kata-kata dalam bentuknya yang audial. Kata-kata memang bukan sekadar pelayan indera penglihatan—indera yang oleh Leonardo da Vinci, lebih superior daripada lain. Kata-kata mesti demokratis, ia juga mesti menyampaikan pengalaman rasa sang penulis lewat nada, lewat tekstur, lewat kecapan, dan aroma.

 

Entah bagaimana, cara berpikir seperti itu mendorong saya untuk selalu ingin tahu apa pengalaman audial penulis-penulis yang bukunya saya baca. Proses membaca, bukan sekadar transaksi bahasa dari produsen dan konsumen, lebih dari itu, ia bisa mencapai interaksi rasa…

 

Kata seorang teman, berbagi lagu yang pernah kita gemari merupakan sesuatu yang personal. Mendengar musik bukan saja mendengar nada baris-berbaris di gendang telinga, tapi juga merekam emosi, mengikat kenangan, membentuk mesin waktu pribadi menuju titik masa yang pernah dilalui dengan dada yang tak kering. Karena itu, saya selalu anggap judul musik yang muncul di buku-buku yang saya baca adalah rekomendasi tersirat dari sang penulis. Memikirkan anggapan begini, saya pun tergerak mencatat dan menyimpan lagu tersebut di playlist youtube saya. Di bawan ini adalah beberapa di antarnya:

 

1.     Na Sonang Do Hita Nadua—Tigris (GM)

 

Dari kumpulan puisi GM, Tigris, saya menemukan lagu lokal ini sebagai judul puisinya. GM menggunakan judul lagu sebagai alusi, jalan pintas membimbing kita ke nuansa emosi tertentu. Ketika membaca puisi ini, tirai teater seperti tersibak di bawah alis saya, lalu saya lihat seorang paruh baya membayangkan lagu nostalgia kepada kekasihnya yang sudah lama tidak lagi saling bertukar surat.

 

Na sonang do hita na dua lagu Sumatera Utara, yang judulnya kurang lebih “senangnya kita bisa berdua”. Tema itu terbentur dengan suasana puisi yang murung seperti dalam baris ini: “Cinta kami adalah / dua nomor telepon yang hilang / dalam perpindahan / yang panjang.”

 

2.     La Mer – Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya (Dea Anugrah)

 

Charles Trenet menulis La Mer di kereta di samping mata jendela yang menatap lanskap Perancis yang romantis. Saya bayangkan Charles Trenet menatap laut lazuardi dengan dada digayuti ketakjuban. Maka akan menjadi masuk akal untuk saya apabila ada yang akan bilang kalau La Mer adalah musik penuh kedalaman sekalipun saya tidak tahu makna di belakang lirik Perancis itu.

 

Lagu itu didengar oleh Dea Anugrah dalam perjalanannya menuju pulau Komodo. Diiringi gesekan laut & angin yang melawan arah, La Mer barangkali bisa menangkap ingatan dengan lebih akurat di waktu kemudian. Kemudian entah kenapa saya pengin mendengar lagu tersebut di suatu perjalanan menuju pulau Abadi di kampung halaman saya. Membiarkan lagu itu masuk bersama kecipak-kecipak air ke sampan kami, dengan tatapan yang mengarah ke biru lazuardi lautan yang menggayuti dada saya yang diisi ketakjuban-ketakjuban.

 

3.     Never Let Me Go – Never Let Me Go (Kazuo Ishigiro)

 

Never Let Me Go adalah satu dari dua puluh buku paling membikin saya jatuh cinta tahun ini. Judul buku ini sendiri, ternyata diambil dari nomor musik yang setelah saya telusuri di Youtube dinyanyikan oleh Judy Bridgewater. Meskipun begitu, sosok Judy Bridgewater masih diperdebatkan apakah ia sosok nyata atau fiksi. Banyak penggemar buku ini kemudian berspekulasi, kalau kreator musik tersebut adalah kombinasi dari dua tokoh vintage, yakni Judy Garland & Dee Dee Bridgewater. Ketika para pembaca bertanya apakah tebakan mereka benar, Ishiguro selalu menampik mereka, dan ketiadaan jawaban yang jernih membuat misteri terhadap lagu tersebut lebih mengental.

 

Lagu itu, terlepas dari fiksi atau tidaknya, justru semakin menagih rasa penasaran saya. Ada perasaan untuk ingin tahu bagaimana sensasi mendengar nada Never Let Me Go merambat ke sekujur kulit saya, nada yang sama yang pernah menuntun tubuh tokoh utama di novel itu menari dengan langkah-langkah yang sangat manusiawi.

 

 

4.     Always a Relief – Story for Rainy Days (Naela Ali)

 

Selalu menyenangkan mengetahui kalau kita merupakan alasan seseorang untuk mendengar lagu tertentu. Naela Ali, lewat bukunya ini, bertanya kepada seseorang yang mungkin ia suka tentang lagu yang langsung terpikirkan acap mengingat Naela Ali. Spontan Always a Relief, dari Radio Dept, muncul di kepalanya.

 

Dialog tersebut dikirimi teman istimewa saya yang lagi membaca buku Naela Ali. Saat itu kalau tidak salah, pagi yang mendung. Jemari langsung menuju Youtube, mencari band Swedia beraliran dream-pop tersebut. Seperti hujan, mendengar lagu ini turut membawa saya larut dengan kelegaan yang lembut mengetahui selalu dicintai dengan cara-cara tertentu.

 

5.     Aung Sang Lyne—Selfish Gene (Richard Dawkins)

 

Awalnya lagu ini adalah puisi yang ditulis Robert Burns sekitar abad ke-16 atau 17, yang kemudian menyebar di daratan Anglo-Saxon dengan lirik-lirik Inggris yang lebih gampang diingat nadanya ketimbang liriknya. Aung Lang Syne sendiri berakar dari bahasa Skotlandia yang artinya "dulu sekali” atau “hari-hari yang sudah lama berlalu” atau kita bisa mengartikannya dengan istilah yang sering dibuka oleh pendongeng: “pada dahulu kala”, yang praktis membayangi imaji kita dengan nuansa kisah rakyat. Demikianlah lagu ini dikenal sebagai lagu rakyat yang kerap mengiringi tarian & dansa dalam pesta-pesta masyarakat tradisional. Kemudian hari, lagu ini mulai sering muncul di penghujung tahun sebagai lagu tahun baru.

 

Lagu ini di-mention Dawkins ketika ia hendak menjelaskan evolusi kultural yang dimotori oleh informasi atau meme yang kerap mereplikasi diri berkali-kali. Sebagaimana aksioma dasar evolusi, meme terbaik dapat kita rekognisi dari kemampuannya bertahan hidup dalam waktu yang lama, kemampuannya untuk menggoda budaya lain meminjam dirinya untuk menjadi bagian dari milik budaya di luar Skotlandia.