The Farmer Lunch (1618) - Diego Velazquez

Seorang kawan pernah menelurkan sebuah teori yang tampkanya menarik. Baginya, revolusi ibarat balon angin yang semakin mengalami kontraksi akan semakin potensial untuk pecah. Balon itu barangkali volume hati rakyat. Semakin ia terkonstraksi oleh penderitaan, semakin amarah pecah menjadi revolusi.

 

Gagasan yang sangat Marxian. Sebab sang peramal komunis itu, yang kerap dijunjung sebagai nabi baru umat manusia di beberapa abad terakhir, bernubuat bahwa revolusi komunisme akan pencah karena kapitalisme akan meningkatkan penetrasi mereka pada golongan buruh secara eksesif, menghasilkan penderitaan yang terorganisir. Dan kontradiksi kelas itu akan mengisi dada rakyat dengan amarah yang siap pecah.

 

Tapi itulah salah satu ramalan Marx yang gagal terbukti. Saya tidak tahu apakah resam tubuh Marx menunjukan syukur atau sedikit kecewa, ketika tahu bahwa revolusi Marx justru lebih dulu meletus di Rusia yang notabene bukan negara seindustrial Inggris. Di Inggris sendiri, komunis selamanya hanya menjadi hantu, ia tidak menjelma sebagai ketakutan yang nyata. Dan di China pada suatu masa yang akan tiba, revolusi komunis malah tidak melalui kontradiksi kelas antar pemegang modal dan buruh, yang terjadi adalah loncatan dari feodalisme ke komunisme. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan Marx jauh hari sebelumnya (mungkin karena Marx lahir dan menjalani hidup di negeri industrial).

 

Memang Marx juga memikirkan skenario di mana revolusi komunis akan patah lewat siasat capital. Pertama, adalah dengan menghidupkan kelas menengah di negara industrial. Kelas sosial yang secara ekonomi tidak terpuruk, tapi juga tidak sebergelimang harta seperti pemegang modal. Kelas ini akan selalu berada dalam kondisi ambiguitas: menolak di belakang raksasa kapital tapi patuh di hadapan mereka. Cara kedua adalah dengan memperalat proletar jembel. Golongan ini adalah para buruh yang telah pasrah dengan kemiskinan mereka, yang rela menjadi budak industri bahkan rela melakukan kejahatan keji demi memuaskan tuan mereka. Dengan timbulnya kedua golongan ini, maka mudah membuat perpecahan di internal tubuh para pencari upah. Revolusi akan kesusahan dan bahkan tertunda.

 

Namun di luar jalur pemikiran Marx, bertahannya kapitalisme di negeri-negeri Barat bukan lebih karena itu. Penindasan kapitalisme tidak mencapai titik kulminasi tertinggi. Justru berkurang, dan malah lebih mengakomodir buruh-buruh secara demokratis.

 

Berbeda dengan Marx tua yang utopis (mungkin karena dipengaruhi positifisme Comte bahwa terdapat kepastian saintifik dalam ilmu sosial) bahwa penindasan kapitalisme pada proletar akan mencapai titik didih terpanas, Engels malah melihat kondisi pada zaman itu dengan cara lebih jujur dan realistis. Ia melihat situasi bahwa di Inggris yang sangat industrial, alih-alih memecahkan lonceng pemberontakan, para proletar malah terborjuiskan oleh sistem. (Engels memang lebih realistis dari Marx yang terlalu teoritis.)

 

Dalam terminologi Karl Popper, ini disebut dengan borjuifikasi. Sayangnya Popper tidak menjelaskan secara detail bagian mana dalam diri para buruh yang berhasil terborjuiskan oleh sistem kapitalisme ini. Tapi memang, hingga sampai sekarang, kapitalisme tidak mudah ditaklukkan. Acapkali parade kemerdekaan masyarakat tanpa kelas digaungkan, selalu pemegang modal memutar otak untuk mencari cara mengakomodir apa yang bisa diterima proletar tanpa berpaling ke komunisme yang seram itu. Kapitalisme memang begitu adaptif. Bahkan program-program negara dengan sistem pasar bebas banyak mengadopsi visi-visi Marxis dan sosialis dalam kebijakan mereka. Semisal pendidikan gratis, jaminan kesehatan gratis, dan banyak lagi.

 

Marx juga melemparkan nubuat yang tidak tepat sasaran, bahwa alih-alih memberikan loyalitas martabat pada komintern (komunisme internasional), proletar lebih menyandarkan loyalitas mereka pada entitas bangsa yang kerap disebut imajiner itu.

 

Dan saya rasa, masih banyak lagi kekeliruan ramalan Marx yang bisa kita bicarakan. Meskipun di mata para pengikut Marx yang fanatik, kejujuran objektif untuk menilai materialism historis demi kepentingan intelektual seperti ini akan dicurigai sebagai antek korporat atau budak negara yang penindas. Kendatipun demikian, bukan berarti Popper menolak Marx seratus persen. Yang Popper buang adalah Marx tua yang positivis, tapi Popper sendiri menerima warisan empati kemanusiaan Marx muda.