Seorang kawan pernah
menelurkan sebuah teori yang tampkanya menarik. Baginya, revolusi ibarat balon
angin yang semakin mengalami kontraksi akan semakin potensial untuk pecah.
Balon itu barangkali volume hati rakyat. Semakin ia terkonstraksi oleh penderitaan,
semakin amarah pecah menjadi revolusi.
Gagasan yang sangat Marxian.
Sebab sang peramal komunis itu, yang kerap dijunjung sebagai nabi baru umat
manusia di beberapa abad terakhir, bernubuat bahwa revolusi komunisme akan
pencah karena kapitalisme akan meningkatkan penetrasi mereka pada golongan
buruh secara eksesif, menghasilkan penderitaan yang terorganisir. Dan
kontradiksi kelas itu akan mengisi dada rakyat dengan amarah yang siap pecah.
Tapi itulah salah satu
ramalan Marx yang gagal terbukti. Saya tidak tahu apakah resam tubuh Marx
menunjukan syukur atau sedikit kecewa, ketika tahu bahwa revolusi Marx justru
lebih dulu meletus di Rusia yang notabene bukan negara seindustrial Inggris. Di
Inggris sendiri, komunis selamanya hanya menjadi hantu, ia tidak menjelma
sebagai ketakutan yang nyata. Dan di China pada suatu masa yang akan tiba,
revolusi komunis malah tidak melalui kontradiksi kelas antar pemegang modal dan
buruh, yang terjadi adalah loncatan dari feodalisme ke komunisme. Sesuatu yang
tidak pernah dibayangkan Marx jauh hari sebelumnya (mungkin karena Marx lahir
dan menjalani hidup di negeri industrial).
Memang Marx juga memikirkan
skenario di mana revolusi komunis akan patah lewat siasat capital. Pertama,
adalah dengan menghidupkan kelas menengah di negara industrial. Kelas sosial
yang secara ekonomi tidak terpuruk, tapi juga tidak sebergelimang harta seperti
pemegang modal. Kelas ini akan selalu berada dalam kondisi ambiguitas: menolak
di belakang raksasa kapital tapi patuh di hadapan mereka. Cara kedua adalah
dengan memperalat proletar jembel. Golongan ini adalah para buruh yang telah
pasrah dengan kemiskinan mereka, yang rela menjadi budak industri bahkan rela
melakukan kejahatan keji demi memuaskan tuan mereka. Dengan timbulnya kedua golongan
ini, maka mudah membuat perpecahan di internal tubuh para pencari upah.
Revolusi akan kesusahan dan bahkan tertunda.
Namun di luar jalur
pemikiran Marx, bertahannya kapitalisme di negeri-negeri Barat bukan lebih
karena itu. Penindasan kapitalisme tidak mencapai titik kulminasi tertinggi.
Justru berkurang, dan malah lebih mengakomodir buruh-buruh secara demokratis.
Berbeda dengan Marx tua yang
utopis (mungkin karena dipengaruhi positifisme Comte bahwa terdapat kepastian
saintifik dalam ilmu sosial) bahwa penindasan kapitalisme pada proletar akan
mencapai titik didih terpanas, Engels malah melihat kondisi pada zaman itu
dengan cara lebih jujur dan realistis. Ia melihat situasi bahwa di Inggris yang
sangat industrial, alih-alih memecahkan lonceng pemberontakan, para proletar
malah terborjuiskan oleh sistem. (Engels memang lebih realistis dari Marx yang
terlalu teoritis.)
Dalam terminologi Karl
Popper, ini disebut dengan borjuifikasi. Sayangnya Popper tidak menjelaskan
secara detail bagian mana dalam diri para buruh yang berhasil terborjuiskan
oleh sistem kapitalisme ini. Tapi memang, hingga sampai sekarang, kapitalisme
tidak mudah ditaklukkan. Acapkali parade kemerdekaan masyarakat tanpa kelas
digaungkan, selalu pemegang modal memutar otak untuk mencari cara mengakomodir
apa yang bisa diterima proletar tanpa berpaling ke komunisme yang seram itu.
Kapitalisme memang begitu adaptif. Bahkan program-program negara dengan sistem
pasar bebas banyak mengadopsi visi-visi Marxis dan sosialis dalam kebijakan
mereka. Semisal pendidikan gratis, jaminan kesehatan gratis, dan banyak lagi.
Marx juga melemparkan nubuat
yang tidak tepat sasaran, bahwa alih-alih memberikan loyalitas martabat pada
komintern (komunisme internasional), proletar lebih menyandarkan loyalitas
mereka pada entitas bangsa yang kerap disebut imajiner itu.
Dan saya rasa, masih banyak
lagi kekeliruan ramalan Marx yang bisa kita bicarakan. Meskipun di mata para
pengikut Marx yang fanatik, kejujuran objektif untuk menilai materialism
historis demi kepentingan intelektual seperti ini akan dicurigai sebagai antek
korporat atau budak negara yang penindas. Kendatipun demikian, bukan berarti
Popper menolak Marx seratus persen. Yang Popper buang adalah Marx tua yang
positivis, tapi Popper sendiri menerima warisan empati kemanusiaan Marx muda.

0 Komentar