Impression, Sunrise (1872) - Calude Monet



“Bila menara Babel tidak dirusak tuhan, umat manusia mungkin akan menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa universal,” demikian ujar Volataire dalam dongeng Si Lugu. Perancis memang terkenal dengan bangsa yang memenuhi dada dengan kebanggaan, demikianlah tokoh utama dalam buku itu dianggap mulia dengan cukup bisa berbahasa Perancis.

 

Saya tidak tahu sejak kapan benak saya menanam kesan kalau Perancis adalah romantis. Dugaan sementara adalah peran Eifel in Love yang pernah saya tonton sebelum masa puber, yang memberi bayangan bahwa apa pun yang terjadi di sana selalu layak dikenang dengan hati penuh taman bunga. Kesan itu diperkuat dengan film trilogi “before” yang mengambil Perancis sebagai salah satu latar. Film “Amor” juga ikut berkontribusi, di mana cinta bisa membuat romantis dan tragis kehilangan tapal batas.

 

Meskipun begitu, seorang teman yang mutualan dengan saya di Twitter berkata kalau bahasa Perancis tidak seindah yang dibayangkan banyak orang. Kawan itu bisa berbahasa Perancis, yang membikin saya percaya kata-katanya. Lalu batin saya berkelabat cepat, “jangan-jangan bahasa Perancis hanya indah sebagai fantasi?”

 

Pemikiran singkat itu lalu beranak pinak tanpa direncanakan. Saya lalu bertanya, kenapa bahasa bisa menstimulus suasana tertentu dalam diri masing-masing kita. Kenapa bahasa Perancis bisa memberi sensasi romantik pada emosi saya pribadi? Kenapa bahasa ibu saya, Bolaang Mongondow, bisa merangsang rasa kangen kepada tanah di mana saya lahir? Kenapa bahasa Latin atau Ibrani atau Arab bisa menyentuh sedikit cita rasa religiusitas? Kenapa memakai bahasa Yunani membuat kesan intelektual menebal?

 

Pertanyaan demi pertanyaan memberi saya kilatan jawaban: jangan-jangan bahasa punya kesadaran tersendiri. Bahasa sebagai sistem, meski ia melayani kepentingan manusia agar kita bisa menyampaikan kebenaran dengan berbagai varian, tapi ia seolah punya algoritma sendiri. Ia adalah tatanan yang terbentuk secara spontan, ia agregat dari pemakaian bahasa yang saling menjalin di antara satu individu dan individu lain. Bahasa, barangkali sepersis analogi Kant: pada mulanya manusia menciptakan kata-kata sebagaimana tuhan menciptakan arloji, tapi setelah itu, arloji atau bahasa tersebut bekerja dengan sendirinya, tanpa bantuan sang pencipta. Kesadaran bahasa atau tatanan spontan itu membentuk dirinya terus menerus selama masih ada manusia yang masih ingin dilayani olehnya.

 

Homo semiotikus, adalah salah satu predikat yang disematkan kepada kita. Kita tidak bisa hidup tanpa bahasa. Jujun Surisumantri dalam Filsafat Ilmu mengatakan kemampuan berbahasa sebagai aspek paling prinsipil yang membedakan kita dengan hewan lain. Dalam ilmu otak, kita bisa mendapati satu bagian otak yang berkembang yang tak didapati di otak binatang lain. Anjing akan menyalak “guk guk” dan kucing mengeong untuk menjelaskan segala hal yang dipersepksikannya. Tapi manusia punya ribuan cara untuk membahasakan anjing dan kucing dengan cara yang tak terbatas kemungkinannya. Oleh Harari, kemampuan membangun narasi, menjalin relasi intersubjektif, membikin fiksi, atau kemampuan berbahasa, adalah kemampuan penting yang membimbing spesies kita menjadi nomor satu di atas bumi ini.

 

Importasi Bahasa = Importasi Ide

 

Dengan bahasa, pelbagai macam budaya bergerilya di atas lintasan sejarah yang rasanya kian waktu kian laju. Tidak mungkin ada budaya tanpa bahasa. Bahkan di dimensi paling privat & subjektif sekalipun, kita tidak bisa berkontemplasi atau bersolilokui tanpa bantuan bahasa. Saya tidak pernah punya pengalaman merenung tanpa bantuan bahasa sama sekali. Dalam diam, bahasa bahkan tetap bekerja dengan caranya sendiri. Tak dapat disangsikan kalau bahasa selalu berkaitan dengan memori suatu budaya, bangsa, sejarah. Berbahasa berarti berpikir dengan cara berpikir historis-kultural tertentu. Di sini, saya pun menyadari, keinginan untuk bisa berbahasa Perancis adalah keinginan untuk berjarak lebih dekat dengan fantasi yang menari dalam kepala saya. Keinginan bisa berbahasa Perancis juga adalah keinginan untuk hidup dalam lanskap historis-kultural Perancis yang sebenarnya lebih enak sebagai fantasi sahaja.

 

Bahasa juga tak bisa kita lepaskan dari kuasa. Lewat Imagined Community Benedict Anderson, kita tahu kalau perubahan bahasa pun pergeseran pemakaian bahasa publik berdampak pada pergeseran kekuasaan yang lantas menggerakkan dialektika sejarah. Kita tahu revolusi negara bangsa di Eropa Barat tak bisa dilepaskan dari desakralisasi bahasa latin yang kerap diagungkan otoritas gereja, di Italia sendiri, Dante dengan berani menulis dengan bahasa ibunya sendiri meski saat itu bahasa Latin masih memegang status quo.

 

Persebaran bahasa juga bisa kita artikan sebagai persebaran kuasa. Lewat Sejarah Umat Manusia, Arnold Toynbee, ekspansi Oikumene lama selalu ditandai dengan diadopsinya sistem bahasa masyarakat pendatang. Komunikasi senantiasa membutuhkan kemampuan berbahasa yang sama, tanpa bahasa yang sama, transaksi ekonomi pun politik tak bisa terjalin. Dan masyarakat yang punya sumber daya lebih banyak, adalah masyarakat yang bahasanya mesti dipelajari mereka yang ingin mengeruk sumber daya maupun kerja sama menguntungkan jangka panjang.

 

Di era kapitalisme cetak yang kian massif di tangan Guttenberg, persebaran bahasa atau kuasa menjadi lebih luas jangkauannya. Barangkali, ini juga yang memungkinkan misi zending lebih terorganisir karena bantuan teks. Kontestasi kekuasaan lalu beranjak dari bahasa yang terjalin lewat tutur yang lalu menemukan medianya yang baru yakni tekstual.

 

Sebagaimana sukar membangun kerja sama ekonomi tanpa memahami bahasa satu sama lain, musykil juga menanam hegemoni lintas negara di dunia yang kian terglobalisasi ini tanpa memahami masing-masing bahasa. Gagasan hegemoni disebut dengan importasi ide oleh Gramsci. Berkat bantuan kapitalisme cetak, penyebaran ide menjadi kian massif, dan kontestasi ide atau perebutan diskursus di ruang publik kian raung gemanya.

 

Sampai di sini, branding image yang dibikin oleh Perancis (entah sengaja atau tidak) berhasil menarik perhatian saya untuk ingin tahu negara besar itu lebih lanjut. Dengan menyuntikkan fantasi, bangkitlah keinginan untuk bervakansi ke negara yang saya nilai romantis itu. Importasi ide entah lewat tekstual maupun media budaya populer (film, musik, seni), keinginan untuk ingin berbahasa Perancis bisa tumbuh. Keinginan itu mempengaruhi konstalasi ekonomi politik yang membuat daya beli orang-orang terhadap produk Prancis meningkat yang pada gilirannya, keuntungan dari importasi baik ide maupun materi itu akan digunakan untuk kemaslahatan Prancis sendiri.

 

Jadi kembali ke awal, apakah bahasa Perancis seromantis itu? Sebagai fantasi, ia. Tapi sebagai realitas, ia kerumitan teoritis yang membikin kepala saya memuai sampai di sini.