“Bila menara Babel tidak dirusak tuhan, umat manusia mungkin akan menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa universal,” demikian ujar Volataire dalam dongeng Si Lugu. Perancis memang terkenal dengan bangsa yang memenuhi dada dengan kebanggaan, demikianlah tokoh utama dalam buku itu dianggap mulia dengan cukup bisa berbahasa Perancis.
Saya tidak tahu sejak kapan benak saya
menanam kesan kalau Perancis adalah romantis. Dugaan sementara adalah peran Eifel in Love yang pernah saya tonton
sebelum masa puber, yang memberi bayangan bahwa apa pun yang terjadi di sana
selalu layak dikenang dengan hati penuh taman bunga. Kesan itu diperkuat dengan
film trilogi “before” yang mengambil Perancis sebagai salah satu latar. Film
“Amor” juga ikut berkontribusi, di mana cinta bisa membuat romantis dan tragis
kehilangan tapal batas.
Meskipun begitu, seorang teman yang mutualan dengan saya di Twitter berkata
kalau bahasa Perancis tidak seindah yang dibayangkan banyak orang. Kawan itu
bisa berbahasa Perancis, yang membikin saya percaya kata-katanya. Lalu batin
saya berkelabat cepat, “jangan-jangan bahasa Perancis hanya indah sebagai
fantasi?”
Pemikiran singkat itu lalu beranak pinak
tanpa direncanakan. Saya lalu bertanya, kenapa bahasa bisa menstimulus suasana
tertentu dalam diri masing-masing kita. Kenapa bahasa Perancis bisa memberi
sensasi romantik pada emosi saya pribadi? Kenapa bahasa ibu saya, Bolaang
Mongondow, bisa merangsang rasa kangen kepada tanah di mana saya lahir? Kenapa
bahasa Latin atau Ibrani atau Arab bisa menyentuh sedikit cita rasa religiusitas?
Kenapa memakai bahasa Yunani membuat kesan intelektual menebal?
Pertanyaan demi pertanyaan memberi saya
kilatan jawaban: jangan-jangan bahasa punya kesadaran tersendiri. Bahasa
sebagai sistem, meski ia melayani kepentingan manusia agar kita bisa
menyampaikan kebenaran dengan berbagai varian, tapi ia seolah punya algoritma
sendiri. Ia adalah tatanan yang terbentuk secara spontan, ia agregat dari
pemakaian bahasa yang saling menjalin di antara satu individu dan individu
lain. Bahasa, barangkali sepersis analogi Kant: pada mulanya manusia
menciptakan kata-kata sebagaimana tuhan menciptakan arloji, tapi setelah itu,
arloji atau bahasa tersebut bekerja dengan sendirinya, tanpa bantuan sang
pencipta. Kesadaran bahasa atau tatanan spontan itu membentuk dirinya terus
menerus selama masih ada manusia yang masih ingin dilayani olehnya.
Homo semiotikus, adalah salah satu
predikat yang disematkan kepada kita. Kita tidak bisa hidup tanpa bahasa. Jujun
Surisumantri dalam Filsafat Ilmu mengatakan kemampuan berbahasa sebagai aspek
paling prinsipil yang membedakan kita dengan hewan lain. Dalam ilmu otak, kita
bisa mendapati satu bagian otak yang berkembang yang tak didapati di otak
binatang lain. Anjing akan menyalak “guk guk” dan kucing mengeong untuk
menjelaskan segala hal yang dipersepksikannya. Tapi manusia punya ribuan cara
untuk membahasakan anjing dan kucing dengan cara yang tak terbatas
kemungkinannya. Oleh Harari, kemampuan membangun narasi, menjalin relasi
intersubjektif, membikin fiksi, atau kemampuan berbahasa, adalah kemampuan
penting yang membimbing spesies kita menjadi nomor satu di atas bumi ini.
Importasi
Bahasa = Importasi Ide
Dengan bahasa, pelbagai macam budaya
bergerilya di atas lintasan sejarah yang rasanya kian waktu kian laju. Tidak
mungkin ada budaya tanpa bahasa. Bahkan di dimensi paling privat &
subjektif sekalipun, kita tidak bisa berkontemplasi atau bersolilokui tanpa
bantuan bahasa. Saya tidak pernah punya pengalaman merenung tanpa bantuan
bahasa sama sekali. Dalam diam, bahasa bahkan tetap bekerja dengan
caranya sendiri. Tak dapat disangsikan kalau bahasa selalu berkaitan dengan
memori suatu budaya, bangsa, sejarah. Berbahasa berarti berpikir dengan cara
berpikir historis-kultural tertentu. Di sini, saya pun menyadari, keinginan
untuk bisa berbahasa Perancis adalah keinginan untuk berjarak lebih dekat
dengan fantasi yang menari dalam kepala saya. Keinginan bisa berbahasa Perancis
juga adalah keinginan untuk hidup dalam lanskap historis-kultural Perancis yang
sebenarnya lebih enak sebagai fantasi sahaja.
Bahasa juga tak bisa kita lepaskan dari
kuasa. Lewat Imagined Community Benedict
Anderson, kita tahu kalau perubahan bahasa pun pergeseran pemakaian bahasa
publik berdampak pada pergeseran kekuasaan yang lantas menggerakkan dialektika
sejarah. Kita tahu revolusi negara bangsa di Eropa Barat tak bisa dilepaskan
dari desakralisasi bahasa latin yang kerap diagungkan otoritas gereja, di
Italia sendiri, Dante dengan berani menulis dengan bahasa ibunya sendiri meski
saat itu bahasa Latin masih memegang status quo.
Persebaran bahasa juga bisa kita artikan
sebagai persebaran kuasa. Lewat Sejarah
Umat Manusia, Arnold Toynbee, ekspansi Oikumene lama selalu ditandai dengan
diadopsinya sistem bahasa masyarakat pendatang. Komunikasi senantiasa
membutuhkan kemampuan berbahasa yang sama, tanpa bahasa yang sama, transaksi
ekonomi pun politik tak bisa terjalin. Dan masyarakat yang punya sumber daya
lebih banyak, adalah masyarakat yang bahasanya mesti dipelajari mereka yang ingin
mengeruk sumber daya maupun kerja sama menguntungkan jangka panjang.
Di era kapitalisme cetak yang kian massif
di tangan Guttenberg, persebaran bahasa atau kuasa menjadi lebih luas
jangkauannya. Barangkali, ini juga yang memungkinkan misi zending lebih
terorganisir karena bantuan teks. Kontestasi kekuasaan lalu beranjak dari
bahasa yang terjalin lewat tutur yang lalu menemukan medianya yang baru yakni
tekstual.
Sebagaimana sukar membangun kerja sama
ekonomi tanpa memahami bahasa satu sama lain, musykil juga menanam hegemoni
lintas negara di dunia yang kian terglobalisasi ini tanpa memahami
masing-masing bahasa. Gagasan hegemoni disebut dengan importasi ide oleh
Gramsci. Berkat bantuan kapitalisme cetak, penyebaran ide menjadi kian massif,
dan kontestasi ide atau perebutan diskursus di ruang publik kian raung gemanya.
Sampai di sini, branding image yang dibikin oleh Perancis (entah sengaja atau
tidak) berhasil menarik perhatian saya untuk ingin tahu negara besar itu lebih
lanjut. Dengan menyuntikkan fantasi, bangkitlah keinginan untuk bervakansi ke
negara yang saya nilai romantis itu. Importasi ide entah lewat tekstual maupun
media budaya populer (film, musik, seni), keinginan untuk ingin berbahasa
Perancis bisa tumbuh. Keinginan itu mempengaruhi konstalasi ekonomi politik
yang membuat daya beli orang-orang terhadap produk Prancis meningkat yang pada
gilirannya, keuntungan dari importasi baik ide maupun materi itu akan digunakan
untuk kemaslahatan Prancis sendiri.
Jadi kembali ke awal, apakah bahasa Perancis
seromantis itu? Sebagai fantasi, ia. Tapi sebagai realitas, ia kerumitan
teoritis yang membikin kepala saya memuai sampai di sini.
0 Komentar