Secara etimologis, filsafat dibagi menjadi dua kata, philo dan sophia atau sophen, yang kalau diartikan secara utuh adalah "mencari kebijaksanaan" atau "mencari kebenaran". Tapi kebijaksanaan yang dimaksud tidak seperti petuah-petuah usang khas motivator seperti "berbaktilah kepada orangtua", "belajarlah dengan giat biar sukses", atau "diam itu emas". Kalau seperti itu, berarti semua orang bisa mudah mendaku filsuf. Kebijaksanaan dari filsafat justru efek samping dari upaya mencari kebenaran. Kalau bisa kita sederhanakan dengan lebih tepat, filsafat secara etimologis berarti upaya mencari kebenaran.


Karena filsafat adalah upaya mencari kebenaran (yang bisa berefek ke kebijaksanaan), maka filsuf adalah orang yang tengah mencari kebenaran. Jadi ketika seseorang mengaku sudah menemukan kebenaran, maka saat itu pula ia tidak bisa disebut filsuf karena ia sudah tidak lagi mencari.


Demi mencari kebenaran, filsafat berupaya mencari pertanyaan. Ini berbeda dengan beberapa anggapan kalau filsafat bisa memberi jawaban. Justru filsafat berfokus untuk mencari pertanyaan, dan jawaban-jawaban tak lebih dari batu loncatan ke pertanyaan-pertanyaan baru. Filsafat berusaha mencari pertanyaan sampai pertanyaan itu sudah tidak dapat dijawab lagi atau jawaban tak bisa lagi menimbulkan pertanyaan baru. Filsafat berambisi mencari-cari cara mencapai akar yang tak tergoyahkan, atau jawaban yang tak memberi celah pertanyaan lagi. Dan pekerjaan itu belum selesai juga sampai saat ini.


Filsafat punya keunikan sendiri ketimbang disiplin ilmu lain, keunikan tersebut saya sadari ketika menonton Youtube Martin Suryajaya. Keunikan pertama adalah cara bertanya. Semisal, apakah warna keadilan? Pertanyaan itu tidak valid dalam filsafat, karena warna adalah kategori visual dan keadilan tidak punya bentuk fisik. Pertanyaan itu cacat dalam soal kategori logika. Cara bertanya filsafat yang tepat adalah "bagaimanakah konsep keadilan?", "apa itu kebenaran?", atau "adakah titik awal waktu?".


Keunikan kedua adalah cara melihat dunia. Di hadapan filsafat, dunia bagai teka-teki raksasa yang selamanya asing. Adapun yang disebut normal hanyalah keasingan-keasingan yang telah diterima apa adanya oleh kebiasaan. Filsafat menolak menerima kenyataan apa adanya, dan selalu mencari keanehan yang tersembunyi dari titik buta kesadaran.


Keunikan ketiga adalah filsafat tidak berguna. Tak berguna di sini artinya tidak punya nilai fungsional. Filsafat tidak seperti ilmu empiris atau ilmu praktis lain yang bisa kita bayangkan secara konkrit bagaimana penggunaannya dalam keseharian. Semisal mereka yang belajar ilmu komputer akan punya bayangan konkrit bagaimana cara merakit komputer atau membangun website. Tapi mereka yang belajar filsafat hanya mempertanyakan sesuatu yang abstrak yang sulit diejawantahkan ke dalam bentuk konkrit lewat fungsionalitas praktis. Karena itu, di tengah dunia yang mendambakan kerja material, spesialisasi, dan praksis ini, untuk berfilsafat kita perlu nyali yang tak gampang mati.


Tak seperti ilmu empiris yang memecahkan masalah lewat meneliti situasi lapangan atau uji laboratorium, filsafat punya cara memecahkan masalah yang tak sama, yang disebut eksperimen pemikiran (thought experiment). Inilah keunikan keempatnya. Seorang filsuf bisa saja duduk-duduk di kursinya tanpa perlu pergi ke luar rumah, lalu membayangkan satu skenario dalam kepalanya, dan dengan skenario itu, ia membuat langkah-langkah pemikiran yang membentuk premis lalu berujung ke kesimpulan.


Satu eksperimen pemikiran yang cukup terkenal adalah metode keraguan Descartes. Ia mulai dengan tanya "apa itu ada?". Apakah dunia di luar kita benar-benar ada, ataukah hanya hasil dari sensasi atau ilusi kita? Descartes terus menerus meragukan keberadaan dunia. Tapi segigih apa pun Descartes meragukan dunia, ia tetap tidak bisa meragukan "dirinya yang lagi meragukan dunia". Artinya dirinya ada. Dan karena Descartes "ada", maka Descartes bisa berpikir dan meragu dan skeptis atas dunia, atau bisa disederhanakan dalam adagium cogito ergo sum.


Keunikan terakhir filsafat merupakan keumuman dari pertanyaannya. Ilmu empiris akan bertanya hal spesifik dan konkrit seperti "bagaimanakah struktur materi", tapi filsafat akan bertanya hal yang lebih abstrak dan umum semisal "apakah materi itu ada?", "apakah ada sesuatu yang immaterial?", atau "apakah tidak ada itu ada?". Matematika mungkin akan bertanya dari mana angka dua berasal dan kita bisa menjawabnya lewat penjumlahan satu tambah satu. Tapi filsafat bertanya kenapa 1+1=2? Kalau dua berasal dari 1+1 dan 3 dari 1+1+1, maka angka satu merupakan penjumlahan dari apa? Dari mana angka satu berasal? Kenapa dari nol bisa menjadi satu? 


(Untuk perkara 1+1=2, Russell dan Whitehead pernah menguraikannya.)



Mendefinisikan Ulang Filsafat


Dengan uraian tentang keunikan filsafat dan akar etimologis filsafat sebagai philo dan sophia, bolehlah kita kembangkan definisi secara bahasa itu ke definisi yang lebih ketat (sebagaimana ekonomi yang artinya tidak lagi tentang rumah tangga dan sosiologi tidak lagi tentang ilmu pertemanan): filsafat adalah "renungan secara rasional, kritis, dan radikal." Kalau kita pecah, kita bisa memahami keempat unsur filsafat itu: harus merenung, tapi renungannya rasional dan kritis dan radikal.


Renungan filsafat tidak sekadar "kenapa aku lahir dari keluarga miskin sih?", tapi lebih persis seperti "kenapa kemiskinan ada?" Renungan dalam berfilsafat juga mesti rasional, tidak seperti "apa ya warna keadilan?", tapi lebih ke "apa itu adil?"


Lebih lanjut, renungan rasional itu mesti dilakukan secara kritis, artinya kita mempertanyakan kembali apa yang selama ini sudah diterima apa adanya oleh masyarakat. Dora dari Dora the Explorer adalah teladan dalam hal ini. Ia gadis kecil yang senang bertanya meskipun ia sudah tahu jawabannya. Misal ketika ia bertanya "di mana peta?" sampai tiga kali padahal peta itu menjorok dari tasnya sendiri. Meski Dora tahu kalau peta ada di tasnya, ia tak menerima pengetahuan itu apa adanya, ia tetap mempertanyakannya berkali-kali. Dora mengajari kita untuk bertanya secara kritis.


Unsur terakhir dalam definisi ini adalah radikal, dan bukan radikal yang telah dibebani makna peyoratif oleh terorisme atau tingkah beragama yang ekstrem. Radikal berasal dari kata radix, yang artinya akar. Renungan rasional dan kritis harus mengarah pada pertanyaan yang tak bisa lagi dijawab, sampai akar-akarnya, sampai ke akar yang tak lagi tergoyahkan. Ibarat menggali, kita anggap kesadaran kita sebagai pohon, dan kita mencari ujung dari akar pohon itu lewat pertanyaan-pertanyaan.


Cabang-cabang Filsafat


Upaya manusia berfilsafat kemudian melahirkan pertanyaan besar seperti "bagaimana kita bisa tahu?", "apakah itu ada dan apakah itu tidak ada?", "apakah nilai itu?". Pertanyaan pertama dibahas dalam epistemologi, yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan seperti "apakah pengetahuan berasal dari luar atau dari dalam?", soal itu berimplikasi pada aliran Huduri dan Husuli dalam filsafat Islam. "Apa itu ada?" lantas dibahas dalam ontologi. "Apa itu nilai?", kemudian dibahas dalam aksiologi, yang melahirkan pertanyaan tentang "apa itu benar" dalam logika, "apa itu baik" dalam etika, dan "apa itu indah" dalam estetika.


Dalam logika, muncul juga pertanyaan tentang apakah kebenaran itu mutlak atau relatif? Dalam estetika, kita bisa bertanya apakah syarat keindahan? Apakah lukisan bisa tetap disebut indah meskipun lukisan itu tidak pernah terlihat oleh semua manusia di muka bumi? Apakah keindahan berada dalam objek seni secara inheren ataukah keindahan berada di persepsi pengamat?


Dalam etika, pertanyaan itu bisa lebih banyak, dan salah satu cara mengidentifikasinya adalah menjawab pertanyaan filosofis yang disebut trolley problem. Katakanlah ada kereta yang tak bisa berhenti dan di depannya terdapat lima orang terikat sedangkan kita punya kuasa mengganti jalur dengan membelokkan kereta tapi ketika terbelok, kereta tersebut akan membunuh satu nyawa. Sekilas, kita disuruh memilih: apakah kita membiarkan kereta menabrak lima orang atau kita mengubah jalur kereta sehingga hanya membunuh satu orang? Mereka yang memilih membunuh satu orang, secara moral bisa disebut utilitarian karena mementingkan yang banyak daripada sedikit. Mereka yang memilih membiarkan lima orang terbunuh, secara moral bisa disebut deontologis, karena dengan membelokkan jalur sehingga membunuh satu nyawa berarti melakukan pembunuhan secara sengaja sedangkan dengan membiarkan kereta tetap melaju maka ia tidak bisa disebut membunuh secara sengaja; ia secara sadar tidak membunuh satu orang dan membiarkan kereta yang tak berkesadaran membunuh lima orang karena itu di luar kehendaknya.


Filsafat Timur & Barat


Dikotomi yang kerap disebut sebagai percabangan dalam filsafat (terutama di Indonesia) adalah dikotomi antara filsafat timur dan filsafat barat. Ini merupakan hasil dari perbedaan tradisi yang dikembangkan tokoh-tokoh filsafat di dua kutub tersebut. Di barat, genealogi pemikiran dimulai dari Thales, lalu ke Sokrates, dan seterusnya. Di Timur, pemikiran itu bisa ditelusuri sampai ke Lao Tzu, Konfusius, Buddha, dan seterusnya. Di Barat, filsafat berkembang sebagai logos dan kebenaran dibicarakan lewat sains. Sedangkan di Timur filsafat berkembang sebagai mitos dan kebenaran dibicarakan lewat storytelling.


Konsekuensi paradigmatik dari dua tradisi berbeda itu bisa tampak kontras. Barat cenderung lebih individualistis karena sifat sains yang reduksionis dan atomistik. Sedangkan Timur punya cara berpikir lebih relasional karena sifatnya yang komunalistik dan perhatiannya terhadap keselarasan dengan kosmos. Karena itu masyarakat di tahap tertinggi disebut peradaban dengan kata dasar "adab" di Timur dan civilization dengan kata dasar sipil (unit paling kecil dan esensial dari masyarakat) di Barat.


Mitos-Mitos Belajar Filsafat


Salah satu mitos paling populer untuk mereka yang belajar filsafat, adalah menjadi ateis. Memang benar banyak yang seperti itu. Tapi banyak juga yang menggunakan filsafat untuk mengembangkan dogma agama. Di Kristen, kita mengenal Agustinus dan Thomas Aquinas, sedangkan Islam mengenal banyak tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan banyak lagi. Bahkan seorang Al-Ghazali yang kerap dirujuk dalam dalil "filsafat haram" pun menggunakan metode filsafat untuk penalaran kalamnya.


Mitos lain adalah kegilaan. Martin Suryajaya pernah bercerita tentang mahasiswa filsafat di angkatan tertentu yang menjadi gila ketika memasuki tahun ketiga. Ada yang bertelanjang di tengah kampus, ada yang ketawa sendiri, dan banyak lagi. Ada beberapa kasus individual seperti itu. Tapi kita bisa sangsi kalau itu termasuk gejala kegilaan. Toh kalau melihat persentase, jumlahnya sedikit. Banyak yang belajar filsafat memang tampak abnormal, tapi abnormal berbeda dengan kegilaan. Kegilaan adalah fenomena neurotik sedangkan abnormalitas adalah perilaku yang kerap berada di luar standarisasi hidup normal yang dipasung masyarakat. Dan kalaupun kita membaca diskursus psikopatologi sehari-hari dari Freud, kita bisa tahu bahwa semua orang punya kadar kegilaan-kegilaan  kecil yang bisa dilihat dari kesalahan mengingat nama, salah ucap, dan lain sebagainya. Dari situ, kita tahu kalau tidak perlu menjadi filsuf untuk mengidap kegilaan.