self-portrait-with-cigarette 1895 Edvard Munch

 


Pernah tidak kalian disleding dari belakang ketika lagi asyik-asyiknya menikmati perjalanan dengan kepala tegak ke depan. Kalian terjatuh, mungkin juga sedikit memar di kaki. Lalu yang mensleding kalian bilang minta maaf kepada kalian. Kalau kalian mengerti perasaan orang polos itu, berarti kalian mengerti gambaran perasaan saya ketika seorang kawan lama mengontak saya hanya untuk bilang bahwa dia mau minta maaf.

 

Minta maaf itu benar-benar upaya yang sulit, jadi kenapa harus repot-repot bikin janji yang tak berniat ditepati? Kenapa harus repot-repot menanam harap pada orang lain kalau kita tidak mampu bertanggung jawab dengan ekspektasi orang itu? Kenapa perlu bikin sakit hati orang lain kalau tidak siap diborgol rasa bersalah dalam diri?

 

Saya percaya betul kawan itu datang bukan dengan intensi minta maaf, ia hanya mau saya membebaskan ia dari rasa bersalah; permohonan itu hanya ekspresi ketidakberdayaan dia dari rasa bersalah yang korosif dalam mental.

 

Kedatangannya setelah “mensleding” saya tiba-tiba membuat saya mahfum kalau memaafkan dan membebaskan seseorang dari rasa bersalah adalah dua hal berbeda. Yang pertama perlu kombinasi kejujuran, kelihaian menemukan makna, serta waktu sebagai eliksir penyembuh cidera psikis. Yang kedua bisa kita lakukan dengan pura-pura.

 

Kalau ada kesempatan ngobrol banyak, saya sebenarnya pengen bilang kalau saya sudah berusaha memaafkan, saya sudah mengizinkan maaf itu tiba, pintu sudah terbuka jadi tak perlu repot mengetok tiga kali. Tapi mau bagaimana lagi kalau saya belum punya perasaan buat memaafkan? Bisa saja saya membebaskan rasa bersalahnya dengan kata-kata palsu bahwa saya memaafkan dia. Tapi itu tidak cukup, tidak terasa adil untuk saya. Kata-kata itu justru jadi berat di lidah untuk hal sepersonal ini.

 

Akhirnya saya pikir, tidak apa-apa kalau saya tidak bisa memaafkan sekarang. Tapi apakah saya membenci kawan saya? Saya sudah tidak membencinya lagi. Setelah proses pergulatan sampai hari ini, tidak pernah saya mengalami lompatan perubahan perspektif seintens ini, seperti ada revolusi yang bekerja dari dalam diri saya yang entah di mana. Saya justru terlatih memetik hikmah-hikmah rahasia di tiap peristiwa traumatis, lalu saya menyadari bahwa rasa syukur sangat langka karena ia tercecer di tanah-tanah tandus yang angker. Dan tragedi pada akhirnya hanya komedi yang tertunda.

 

Bahwa saya belum memaafkannya, itu tak bisa saya sangkal. Maaf memang akan datang dengan sendirinya, bahkan tanpa perantara bahasa, ia akan bisa kita pahami bahkan cuma lewat ekspresi. Maaf adalah komunikasi yang melibatkan intuisi. Segunung logika dan sebanyak apapun busa kata-kata tak akan sanggup mewakilinya. Tapi saya juga bersyukur dia berbuat kesalahan seperti itu, saya bahkan menyukuri ketidaknyamanan atas “disleding” karena bisa dapat ide seperti ini, saya bersyukur menyadari bahwa bisa tetap menjaga keberanian hati di saat-saat yang rentan ambyar seperti ini.

 

Untuk kawan yang hanya lagi mau mengekspresikan rasa bersalahnya, saya justru yang mau minta maaf—sebagaimana tata krama sosial yang berlaku—kalau saya belum bisa memaafkan. Saya juga tidak mau menggerakan otot bibir saya untuk pura-pura memaafkannya dengan cara yang ia mau. Saya mau jadi manusia biasa dulu, saya tidak mau jadi kerubin, tidak mau sok-sok ideal seperti orang lain yang mencoba tetap heroik meski dada kirinya lagi ditikam kecewa dan kekesalan: saya belum bisa memaafkaan, dan saya akan membiarkan dia bermain-main dulu dengan rasa bersalah itu, bertengkar, menangis bersama, lalu berdamai dengan rasa bersalah tersebut.