Feurbach
memulai serangannya kepada Hegel dengan cara meragukan Tuhan. Bahwa agama, tak
lebih daripada antropologi terselubung baginya. Wacana tentang Tuhan sejatinya
adalah wacana tentang manusia dan sifat-sifatnya yang diproyeksikan ke dalam
medium asing di luar dari diri manusia.
Sekilas
pandangan Feurbach itu persis dengan argumentasi Reza Aslan di pintu gerbang
bukunya bertajuk God. Di sana menjadi
terang kenapa zaman paleolitikum dipenuhi dengan puing-puing yang menandakan
spirtualitas purwa. Ketika Itu masyarakat masih bermodel pemburu-pengumpul (hunter-gatherer), zaman yang konon sama
dengan zaman tatkala Adam dan Hawa hidup.
Satu
saat Hawa melihat sebuah pohon yang berwajah mirip manusia lalu mengabarkannya
pada Adam. Fenomena ini oleh ilmuwan kognitif disebut dengan HADD (Hypersensitive Agency Detection Device).
HADD adalah fenomena yang mana manusia mendeteksi sejenis kegiatan yang mirip
dengan aktivitas manusia dari benda-benda atau situasi natural yang tak bisa
dijelaskan secara bahasa (missal wajah di awan, gema suara yang mirip manusia,
atau bahkan kita sering menilai emosi seekor kucing berdasarkan pengalaman
empiris sendiri).
Teori
lainnya yang muncul di buku Aslan adalah Theory
of Mind. Yakni fungsi otak yang mampu membuat manusia memahami orang lain
sebagaimana dia memahami dirinya sendiri. Maka secara instingtual, manusia
melekatkan sifat-sifat dirinya pada segala sesuatu yang menyerupai wujudnya.
Semisal benda yang seolah memiliki wajah dan tangan dan kaki.
Argumentasi
Reza Aslan sebagaimana Feurbach, telah memperkuat tesis antroposentrisme. Bahwa
manusia senantiasa melekatkan sifat manusia pada segala entitas di luar dirinya
sendiri. Dengan HADD dan Theory of Mind, kita bisa memahami, bahwa manusia
tidak bisa tidak melekatkan sifat manusiawi pada Tuhan agar dapat dipahami.
Dalam Islam, itu terwujud sebagai asmaul husna, Kristen menubuh pada Yesus,
mitologi Yunani direpresentasikan oleh dewa-dewa yang berperangai seperti rupa
manusia.
Namun
juga manusia dalam diskursus Freudian menyimpan tendensi yang disebut childhood obsession, yakni kecenderungan
untuk berlindung pada otoritas yang kuat, yang disebut bapak (oleh Nietzche
laku ini dikritik sebagai moralitas budak, meskipun Nietzche sendiri
membutuhkan sosok Dionysus sang “Dewa Anggur” sebagai sumber prasasti moralnya).
Sehingga dari semua bentuk antroposentrisasi Tuhan, yang menang adalah citra
maskulin (tengoklah Zeus, Tuhan Bapa, serta Allah dalam Islam yang lebih
populer sebagai hakim ketimbang kekasih).
Dengan
demikian, memperkuat tesis Feurbach, agama serta Tuhan hanyalah proyeksi dari
manusia. Bahwa manusia lemah, makanya mereka menciptakan teman imajiner
(meminjam istilah Charles Dawkins dari God
Delusion) yang berevolusi menjadi otoritas imajiner. Manusia lalu
menjadikan sosok Tuhan sebagai reservoir dari imajinasi keakbaran yang tak
mampu diperagakan manusia. Manusia senantiasa butuh mahkamah yang selalu
mendikte mereka perkara apa yang harus dan tak harus dilakukan, sehingga mereka
menciptakan Tuhan dari bahan baku fiksi. Tuhan, tak lain adalah kisah tentang
manusia.
Dan
seperti termaktub dalam Interpretation of
Dream Sigmund Freud. Rupanya Tuhan sepersis fungsi mimpi. Salah satu peran
penting makhluk bernama mimpi itu adalah, mewujudkan keinginan manusia yang tak
tercapai di dunia nyata.
Salah
satu keinginan itu adalah kepastian untuk meyakini eksistensi Surga. Manusia
adlaah makhluk yang tak bisa hidup tanpa ketertiban. Otak manusia dalam buku
Dan Brown bertajuk Origin, terprogram
untuk menciptakan keteraturan. Sebab kekacauan mengganggu kepentingan manusia
dalam pentas surivivle of the fittest. Manusia
melahirkan konsep eskatologi demi melipur lara mereka.
Inilah
yang dikatakan Feurbach bahwa persoalan surge tak lebih daripada persoalan
bumi. Maka tak heran, dalam kitab-kitab suci, surge selalu diproyeksikan dalma
bentuk duniawi. Seperti sungai yang sejuk dan tropis (proyeksi dari gurun tandus
jazirah) atau bidadari-bidadari yang bertugas sebagai dayang-dayang (proyeksi
berkenaan dengan patriarki).
Demi
menertibkan otak manusia yang kacau oleh ketidakpastian hidup yang pelik serta
pasca kehidupan yang angker, manusia menyaput pikirannya dengan imajinasi yang
menyenangkan. Cara menghibur diri seperti ini, tentu sangat efektif bagi
manusia yang rentan secara psikologis.
0 Komentar