The-Tree-Of-Crows-C.-1822 Caspar Friedrich



Salah satu domain saintifik yang menggegarkan abad ke-20 adalah biologi dengan “gen”-nya—di samping ditemukannya bit dan atom. Dua nama yang mengawali temuan besar itu adalah Darwin, si penyintesis dan ahli taksonomi yang pernah berniat menjadi pendeta dan Mendel, sang biarawan yang gemar mengisolasi diri tapi cakap sebagai tukang kebun dan penangkar tumbuhan. Dua nama itu adalah “gen intelektual” bagi kengerian pertengahan abad ke-21 yang sekali waktu menuai harapan bagi masa depan kemanusiaan kelak.

 

Harapan itu terlintas dalam benak Sidharta Mukherjee tatkala mengamati silsilah keluarganya yang turut serta membawa riwayat-riwayat penyakit, gen telah tumbuh sebagai obsesi diam-diam di benaknya. Suatu waktu, ia dan sang ayah membuat kunjungan ke bekas rumah mereka di Kolkata. Kenangan menajamkan masa lalu tentang masa kecil Mukherjee dan rasa ingin tahunya kepada pewarisan sifat yang menimpa keluarganya. Saat itu ia tak bisa menahan diri bertanya pada bapak.

 

“Apakah ada kata bahasa Benggala untuk gen?”

 

Sang ayah mencari-cari dalam kamus di dalam dirinya. Tapi tak ada kata untuk gen.  Kemudian ia menemukan pengganti: “abhed,” dia menawarkan. Yang artinya “tidak terbagi” atau “tidak tertembus”, namun juga secara longgar melambangkan “identitas”. Mukherjee terpesona akan pilihan diksi itu, baginya, “kata merupakan suatu ruang gema.” Ia yakin bahwa Mendel atau Bateson akan senang karena banyak resonansi kata yang muncul dari abhed: tidak terbagi, tidak tertembus, tidak terpisahkan, identitas…

 

Pada abad itu, percakapan antara gen dan identitas memang “tak terpisahkan”. Lalu kenangan menajam kembali, membawa kita ke tahun-tahun di mana Nazi mekar sebagai duri sejarah. Saat itu dikenal istilah “biologi terapan” (yang bahkan menjadi sinonim dari Nazisme itu), yang sebenarnya tidak lebih dari genetika terapan. Tujuannya ialah memungkinkan rassenhygiene—“higinie ras” atau disebut juga “biologi ras”. Konsep yang akhirnya dikenal sebagai eugenika itu berupaya menahan, mengebiri, atau melenyapkan manusia yang cacat genetis.

 

Hitler lantas menggalang dukungan melalui terang layar bioskop. Film-film seperti Das Erbe (Warisan, 1935) dan Erbkrank (Penyakit Warisan, 1936), yang dibuat Dinas Kebijakan Rasial guna menampilkan penyakit-penyakit “orang cacat” dan “orang rusak”. Kedua film itu diputar bersamaan dengan jadwal Olympia yang merayakan para atlet Jerman, laki-laki muda yang berkilau dengan tubuh berotot memeragakan gerakan-gerakan gimnastik sebagai pertunjukan kesempurnaan genetis. Para penonton menatap nanar “orang-orang cacat” dengan jijik—dan menatap para atlet adimanusia dengan rasa iri dan ambisi. Dengan eufimisme yang dipaksakan, Hitler menyebut golongan pertama itu sebagai Lebensunwetes Leben (hidup yang tak pantas dijalani).

 

Di negara totaliter lain, Uni Soviet, gagasan agak lain muncul dari nama Lysenko. Ia bersama gerombolan saintis sayap kiri mengajukan bahwa pewarisan sifat Darwinian bukanlah bersifat bawaan dan gen hanya khayalan yang diciptakan kaum borjuis demi menyatakan kekekalan perbedaan individu. Biologi Darwin-Mendel yang mempromosikan variasi individual tentu mengancam konsep kesetaraan manusia komunisme. Maka proyek “sains jadi-jadian” Lysenko didukung total oleh rezim Uni Soviet. Kita tahu ujungnya: proyek itu gagal total.

 

Baik program “sains jadi-jadian” Lysenko di Uni Soviet maupun program “hidup yang tak pantas dijalani” di Nazi memendam satu granat waktu yang sama: kedua rezim itu bakal dipermalukan oleh sejarah sebab mencoba berkhianat pada kebenaran sains. Kita kemudian tidak asing dengan kengerian yang terjadi ketika ilmu pengetahuan diperbudak kehendak politik-ideologi, yakni ratusan ribu nyawa menguap sebagai asap hitam dari Auschwitz. Genosida, kita tentu tahu, berbagi kata dasar yang sama dengan kata gen—dan alasannya jelas: Nazi hendak memanfaatkan kata itu untuk menjustifikasi eksperimen-eksperimen gelapnya yang syarat dehumanisasi dan diskriminasi rasial dan yang tak memisahkan identitas dan kecacatan fisik.

 

Episode kelam itu tentu lembar introspeksi bagi kita, untuk menghormati biologi sebagai sebenar-benarnya “ilmu kehidupan” bukannya “ilmu kematian”.

 

Perkara identitas dan biologi tidak berhenti di kumis Hitler atau eksperimen bobrok Lysenko, kita juga bisa melongok gerakan moral dan politik radikal yang tumbuh di universitas-universitas Amerika, Eropa, dan Amerika Latin pada 1960-1970an. Gerakan reformis itu percaya bahwa sifat dasar manusia adalah kertas kosong (tabula rasa atau blank slate). Sebab bila manusia dideterminasi oleh gen, maka laki-laki dan perempuan pada akhirnya membawa seperangkat hasrat dan keahlian yang berbeda, dan akan sulit bagi mereka membicarakan kesetaraan gender atau kesetaraan ras.

 

Dalam The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature, Steven Pinker menyorot mereka sebagai intelektual yang menghianati nilai sains dengan lebih bersetia kepada gerakan progresif. “Eksibisionis moral”, ujar Pinker. Mereka berlagak membawa keluhuran moral dengan menutup akses ilmu pengetahuan ke dalam kelas-kelas mereka di universitas. Sedangkan Edward Wilson, salah seorang pelopor sosio-biologi mengkritik para moralis itu sebagai orang-orang yang tebang pilih atas kebenaran sains; yang menguntungkan asumsi emosional mereka copot lalu pakai, yang merugikan mereka tutupi seolah menyembunyikan aib—meski kita tahu terdapat peribahasa “lama-lama tercium juga” dalam hal ini.

 

Dengan demikian, relasi gen dan identitas memang tidak gampang. Tapi di antara gerakan moral yang mengusik relasi itu, barangkali yang perlu kita cemaskan saat-saat ini adalah populisme—entah dalam bentuk agama, suku, ras, atau bangsa. Kita melihat ancaman itu dalam dua hal: purifikasi (pemurnian identitas) dan politik regresif (mengembalikan sistem politik ke masa silam semisal Khilafaisme, Make America Great Again, upaya Zionis merekonstruksi Tanah Kanaan ribuan tahun silam, dan seterusnya). Gerakan ini dengan mantap membuat deklamasi Fukuyama soal Akhir Sejarah diralat kembali oleh dia—yang dengan satire tertentu kita akan bilang populisme sebagai The End of Fukuyama.

 

Kau; Aku yang Lain

 

Di manakah posisi biologi hari ini sebagai “ilmu tentang hayat” ketika hiruk-pikuk identitas tidak peduli pada apa yang laboratorium temukan? Memang tidak mudah kita menemukan titik temu untuk hal ini, tapi juga bukan hal mustahil. Bagaimanapun sains adalah pemadam api takhayul yang pernah membikin Eropa gelap di zaman pertengahan silam, dan kita tidak mau kecelakaan traumatis itu terulang.

 

Kehadiran ilmu genetika membuka mata kita dengan fakta yang terang-benderang bahwa umat manusia tidak lebih dari keluarga raksasa. Beragam tes DNA membuktikan bahwa dalam tubuh kita terkandung secarik informasi genetik dari nenek moyang yang berbeda pulau, berbeda bahasa, berbeda titimangsa, dan berbeda ruang. Kita hanyalah cangkang, tapi gen kita, adalah penjelajah sejarah yang tak pernah lelah menyusuri zaman.