Salah satu domain saintifik yang
menggegarkan abad ke-20 adalah biologi dengan “gen”-nya—di samping ditemukannya
bit dan atom. Dua nama yang mengawali temuan besar itu adalah Darwin, si
penyintesis dan ahli taksonomi yang pernah berniat menjadi pendeta dan Mendel,
sang biarawan yang gemar mengisolasi diri tapi cakap sebagai tukang kebun dan
penangkar tumbuhan. Dua nama itu adalah “gen intelektual” bagi kengerian
pertengahan abad ke-21 yang sekali waktu menuai harapan bagi masa depan
kemanusiaan kelak.
Harapan itu terlintas dalam benak Sidharta
Mukherjee tatkala mengamati silsilah keluarganya yang turut serta membawa
riwayat-riwayat penyakit, gen telah tumbuh sebagai obsesi diam-diam di
benaknya. Suatu waktu, ia dan sang ayah membuat kunjungan ke bekas rumah mereka
di Kolkata. Kenangan menajamkan masa lalu tentang masa kecil Mukherjee dan rasa
ingin tahunya kepada pewarisan sifat yang menimpa keluarganya. Saat itu ia tak
bisa menahan diri bertanya pada bapak.
“Apakah ada kata bahasa Benggala untuk
gen?”
Sang ayah mencari-cari dalam kamus di
dalam dirinya. Tapi tak ada kata untuk gen.
Kemudian ia menemukan pengganti: “abhed,”
dia menawarkan. Yang artinya “tidak terbagi” atau “tidak tertembus”, namun juga
secara longgar melambangkan “identitas”. Mukherjee terpesona akan pilihan diksi
itu, baginya, “kata merupakan suatu ruang gema.” Ia yakin bahwa Mendel atau
Bateson akan senang karena banyak resonansi kata yang muncul dari abhed: tidak terbagi, tidak tertembus,
tidak terpisahkan, identitas…
Pada abad itu, percakapan antara gen dan
identitas memang “tak terpisahkan”. Lalu kenangan menajam kembali, membawa kita ke tahun-tahun di mana Nazi mekar sebagai duri sejarah. Saat itu dikenal istilah
“biologi terapan” (yang bahkan menjadi sinonim dari Nazisme itu), yang sebenarnya
tidak lebih dari genetika terapan. Tujuannya ialah memungkinkan rassenhygiene—“higinie ras” atau disebut
juga “biologi ras”. Konsep yang akhirnya dikenal sebagai eugenika itu berupaya
menahan, mengebiri, atau melenyapkan manusia yang cacat genetis.
Hitler lantas menggalang dukungan melalui
terang layar bioskop. Film-film seperti Das
Erbe (Warisan, 1935) dan Erbkrank (Penyakit
Warisan, 1936), yang dibuat Dinas Kebijakan Rasial guna menampilkan
penyakit-penyakit “orang cacat” dan “orang rusak”. Kedua film itu diputar
bersamaan dengan jadwal Olympia yang
merayakan para atlet Jerman, laki-laki muda yang berkilau dengan tubuh berotot
memeragakan gerakan-gerakan gimnastik sebagai pertunjukan kesempurnaan genetis.
Para penonton menatap nanar “orang-orang cacat” dengan jijik—dan menatap para
atlet adimanusia dengan rasa iri dan ambisi. Dengan eufimisme yang dipaksakan,
Hitler menyebut golongan pertama itu sebagai Lebensunwetes Leben (hidup yang tak pantas dijalani).
Di negara totaliter lain, Uni Soviet, gagasan
agak lain muncul dari nama Lysenko. Ia bersama gerombolan saintis sayap kiri
mengajukan bahwa pewarisan sifat Darwinian bukanlah bersifat bawaan dan gen
hanya khayalan yang diciptakan kaum borjuis demi menyatakan kekekalan perbedaan
individu. Biologi Darwin-Mendel yang mempromosikan variasi individual tentu
mengancam konsep kesetaraan manusia komunisme. Maka proyek “sains jadi-jadian”
Lysenko didukung total oleh rezim Uni Soviet. Kita tahu ujungnya: proyek itu
gagal total.
Baik program “sains jadi-jadian” Lysenko
di Uni Soviet maupun program “hidup yang tak pantas dijalani” di Nazi memendam
satu granat waktu yang sama: kedua rezim itu bakal dipermalukan oleh sejarah
sebab mencoba berkhianat pada kebenaran sains. Kita kemudian tidak asing dengan
kengerian yang terjadi ketika ilmu pengetahuan diperbudak kehendak
politik-ideologi, yakni ratusan ribu nyawa menguap sebagai asap hitam dari
Auschwitz. Genosida, kita tentu tahu, berbagi kata dasar yang sama dengan kata
gen—dan alasannya jelas: Nazi hendak memanfaatkan kata itu untuk menjustifikasi
eksperimen-eksperimen gelapnya yang syarat dehumanisasi dan diskriminasi rasial
dan yang tak memisahkan identitas dan kecacatan fisik.
Episode kelam itu tentu lembar introspeksi
bagi kita, untuk menghormati biologi sebagai sebenar-benarnya “ilmu kehidupan”
bukannya “ilmu kematian”.
Perkara identitas dan biologi tidak
berhenti di kumis Hitler atau eksperimen bobrok Lysenko, kita juga bisa
melongok gerakan moral dan politik radikal yang tumbuh di universitas-universitas
Amerika, Eropa, dan Amerika Latin pada 1960-1970an. Gerakan reformis itu
percaya bahwa sifat dasar manusia adalah kertas kosong (tabula rasa atau blank slate). Sebab bila manusia
dideterminasi oleh gen, maka laki-laki dan perempuan pada akhirnya membawa
seperangkat hasrat dan keahlian yang berbeda, dan akan sulit bagi mereka
membicarakan kesetaraan gender atau kesetaraan ras.
Dalam The
Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature, Steven Pinker menyorot
mereka sebagai intelektual yang menghianati nilai sains dengan lebih bersetia
kepada gerakan progresif. “Eksibisionis moral”, ujar Pinker. Mereka berlagak
membawa keluhuran moral dengan menutup akses ilmu pengetahuan ke dalam
kelas-kelas mereka di universitas. Sedangkan Edward Wilson, salah seorang
pelopor sosio-biologi mengkritik para moralis itu sebagai orang-orang yang tebang
pilih atas kebenaran sains; yang menguntungkan asumsi emosional mereka copot lalu pakai, yang merugikan mereka tutupi seolah menyembunyikan aib—meski kita
tahu terdapat peribahasa “lama-lama tercium juga” dalam hal ini.
Dengan demikian, relasi gen dan identitas
memang tidak gampang. Tapi di antara gerakan moral yang mengusik relasi itu,
barangkali yang perlu kita cemaskan saat-saat ini adalah populisme—entah dalam
bentuk agama, suku, ras, atau bangsa. Kita melihat ancaman itu dalam dua hal:
purifikasi (pemurnian identitas) dan politik regresif (mengembalikan sistem
politik ke masa silam semisal Khilafaisme, Make
America Great Again, upaya Zionis merekonstruksi Tanah Kanaan ribuan tahun
silam, dan seterusnya). Gerakan ini dengan mantap membuat deklamasi Fukuyama
soal Akhir Sejarah diralat kembali
oleh dia—yang dengan satire tertentu kita akan bilang populisme sebagai The End of Fukuyama.
Kau; Aku yang Lain
Di manakah posisi biologi hari ini sebagai
“ilmu tentang hayat” ketika hiruk-pikuk identitas tidak peduli pada apa yang
laboratorium temukan? Memang tidak mudah kita menemukan titik temu untuk hal
ini, tapi juga bukan hal mustahil. Bagaimanapun sains adalah pemadam api
takhayul yang pernah membikin Eropa gelap di zaman pertengahan silam, dan kita
tidak mau kecelakaan traumatis itu terulang.
Kehadiran ilmu genetika membuka mata kita
dengan fakta yang terang-benderang bahwa umat manusia tidak lebih dari keluarga
raksasa. Beragam tes DNA membuktikan bahwa dalam tubuh kita terkandung secarik
informasi genetik dari nenek moyang yang berbeda pulau, berbeda bahasa, berbeda
titimangsa, dan berbeda ruang. Kita hanyalah cangkang, tapi gen kita, adalah
penjelajah sejarah yang tak pernah lelah menyusuri zaman.

0 Komentar