The Farmer Lunch (1618) - Diego Velazquez



Estetika Marx berkenaan dengan sastra akan kerap merujuk pada pernyataan Stalin yang terkenal itu: “Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia.” Stalin memang mengusung perkara bahasa sebagai salah satu diskursus estetika zaman itu. Ia bilang bahwa bahasa merupakan pagar batas yang menentukan logika-logika borjuis dan proletar.

 

Dalam Konteks ini, kita juga bisa kenalan dengan Voloshninov, lewat bukunya bertajuk Marksizm I filosofija jayzka (“Marxisme dan Filsafat Bahasa”). Di sana ia paparkan relasi antara ideologi, kesadaran, dan sistem tanda. Bahwa selama ideologi mengisyaratkan makna, maka selama itu pula ideologi pasti akan bertumpu pada sistem tanda; tidak mungkin ideologi terlepas dari bahasa.

 

Bahasa tak hanya menstrukturalisasi ideologi sebagai wujud dari kesadaran sosial (l’imaginare social), tapi juga wilayah kesadaran yang paling privat sekalipun. Voloshinov mencontohkannya lewat instrospeksi diri, atau monolog internal, yakni ketika terjadi komunikasi antara diri dan “diri sendiri”. Antara suara dalam kepala kita ketika diam, dan suara yang kerap disebut sebagai “suara hati” yang muncul secara internal. Saat itu terkesan komunikan (penerima pesan) dan komunikator (pemberi pesan) adalah orang yang sama.

 

Pentolan fenomenologis, Husserl, menyebut hal ini sebagai solilokui. Husserl ingin memahami suara yang muncul dari dalam diri manusia, suara yang tanpa “suara”, semacam bunyi batin. Suara itu tak bisa dicandra oleh indera eksternal, ia tak muncul dari kuping secara fisis, tapi ia dapat dimengerti. Suara itu berasal dari kedalaman diri paling subjektif dari subjek. Husserl berkata bahwa solilokui merupakan bentuk komunikasi yang sangat unik karena sifatnya yang eksistensial.

 

Karena suara itu tak dapat dicandra oleh indera eksternal, dan sifatnya yang sekaligus “bukan suara”, maka ia disebut “diam fenomenologis”. Bahkan dalam diam yang paling subjektif seperti itu, suara dalam diri kita tetap mensyaratkan kehadiran bahasa. Bahkan solilokui yang paling senyap seperti itu membutuhkan bahasa agar komunikasi dapat berjalan. Di sini, penjelasan Voloshinov telah mengantisipasi wacana Derrida di kemudian hari. Voloshinov mengutarakan bahwa kesadaran hanya ada dalam dan melalui penubuhan material tanda-tanda—dengan begitu, dia mengukuhkan kiritknya pada Saussure, bahwa tutur selalui mendahalui teks.

 

Namun tanda bukanlah fenoimena alamiah seperti tsunami dan angin topan. Tanda hanya bisa muncul melalui interaksi sosial. Karenanya kesadaran manusia selalu bersumber dari semesta sosial yang teramat luas. Bahkan dalam momen kesadaran yang paling privat sekalipun, solilokui selalu terstruktur oleh masyarakat. Voloshinov berkata: “Alih-alih berbicara dengan dirinya sendiri, sejatinya seseorang dalam momen ini tengah berbicara dengan sejarah masyarakat yang bersarang dalam kepala.”

 

Namun berbeda dengan Stalin yang enggan menciutkan posisi bahasa menjadi superstruktur, Volshinov malah menempatkan bahasa sebagai superstruktur. Bahasa adalah superstruktur paling fundamental yang memerantarai ideologi dan perkara produksi kehidupan material. Bila Stalin berkata bahasa tak dipengaruhi oleh perubahan sistem ekonomi, maka Voloshinov berkata sebaliknya.

 

Voloshinov kemudian menarik kesimpulan yang lebih luas ke lapangan kebudayaan. Kebudayaan baginya terbangun oleh ideologi dan kesadaran. Tapi karena ideologi dan kesadaran bertumpu pada sistem tanda yang terjadi lewat interaksi sosial, maka kebudayaan mesti dilihat sebagai fenomena sosial. Bahwa homo semioticus Ernest Renand dan homo socius adalah dua gambar dari satu keping mata uang. Sebagaimana tak ada yang sepenuhnya privat dalam tanda, demikian pula tidak ada yang sepenuhnya privat dalam kebudayaan.

 

Tetapi apabila kita menelan mentah-mentah juga wacana Voloshinov, akan muncul problem lain. Dalam contoh kasus orang yang tuli sejak lahir, maka bagaimanakah bentuk solilokui antara dirinya dan “suara” dalam dirinya? Apakah itu berbentuk bunyi? Padahal ia tak pernah menemukan contoh bunyi sebelumnya dalma hidup dia.