Estetika
Marx berkenaan dengan sastra akan kerap merujuk pada pernyataan Stalin yang
terkenal itu: “Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia.” Stalin memang mengusung
perkara bahasa sebagai salah satu diskursus estetika zaman itu. Ia bilang bahwa
bahasa merupakan pagar batas yang menentukan logika-logika borjuis dan
proletar.
Dalam
Konteks ini, kita juga bisa kenalan dengan Voloshninov, lewat bukunya bertajuk Marksizm I filosofija jayzka (“Marxisme
dan Filsafat Bahasa”). Di sana ia paparkan relasi antara ideologi, kesadaran,
dan sistem tanda. Bahwa selama ideologi mengisyaratkan makna, maka selama itu
pula ideologi pasti akan bertumpu pada sistem tanda; tidak mungkin ideologi
terlepas dari bahasa.
Bahasa
tak hanya menstrukturalisasi ideologi sebagai wujud dari kesadaran sosial (l’imaginare social), tapi juga wilayah
kesadaran yang paling privat sekalipun. Voloshinov mencontohkannya lewat
instrospeksi diri, atau monolog internal, yakni ketika terjadi komunikasi
antara diri dan “diri sendiri”. Antara suara dalam kepala kita ketika diam, dan
suara yang kerap disebut sebagai “suara hati” yang muncul secara internal. Saat
itu terkesan komunikan (penerima pesan) dan komunikator (pemberi pesan) adalah
orang yang sama.
Pentolan
fenomenologis, Husserl, menyebut hal ini sebagai solilokui. Husserl ingin
memahami suara yang muncul dari dalam diri manusia, suara yang tanpa “suara”,
semacam bunyi batin. Suara itu tak bisa dicandra oleh indera eksternal, ia tak
muncul dari kuping secara fisis, tapi ia dapat dimengerti. Suara itu berasal
dari kedalaman diri paling subjektif dari subjek. Husserl berkata bahwa
solilokui merupakan bentuk komunikasi yang sangat unik karena sifatnya yang
eksistensial.
Karena
suara itu tak dapat dicandra oleh indera eksternal, dan sifatnya yang sekaligus
“bukan suara”, maka ia disebut “diam fenomenologis”. Bahkan dalam diam yang
paling subjektif seperti itu, suara dalam diri kita tetap mensyaratkan
kehadiran bahasa. Bahkan solilokui yang paling senyap seperti itu membutuhkan
bahasa agar komunikasi dapat berjalan. Di sini, penjelasan Voloshinov telah
mengantisipasi wacana Derrida di kemudian hari. Voloshinov mengutarakan bahwa
kesadaran hanya ada dalam dan melalui penubuhan material tanda-tanda—dengan
begitu, dia mengukuhkan kiritknya pada Saussure, bahwa tutur selalui mendahalui
teks.
Namun
tanda bukanlah fenoimena alamiah seperti tsunami dan angin topan. Tanda hanya
bisa muncul melalui interaksi sosial. Karenanya kesadaran manusia selalu
bersumber dari semesta sosial yang teramat luas. Bahkan dalam momen kesadaran
yang paling privat sekalipun, solilokui selalu terstruktur oleh masyarakat.
Voloshinov berkata: “Alih-alih berbicara dengan dirinya sendiri, sejatinya
seseorang dalam momen ini tengah berbicara dengan sejarah masyarakat yang bersarang
dalam kepala.”
Namun
berbeda dengan Stalin yang enggan menciutkan posisi bahasa menjadi
superstruktur, Volshinov malah menempatkan bahasa sebagai superstruktur. Bahasa
adalah superstruktur paling fundamental yang memerantarai ideologi dan perkara
produksi kehidupan material. Bila Stalin berkata bahasa tak dipengaruhi oleh
perubahan sistem ekonomi, maka Voloshinov berkata sebaliknya.
Voloshinov
kemudian menarik kesimpulan yang lebih luas ke lapangan kebudayaan. Kebudayaan
baginya terbangun oleh ideologi dan kesadaran. Tapi karena ideologi dan
kesadaran bertumpu pada sistem tanda yang terjadi lewat interaksi sosial, maka
kebudayaan mesti dilihat sebagai fenomena sosial. Bahwa homo semioticus Ernest
Renand dan homo socius adalah dua gambar dari satu keping mata uang. Sebagaimana
tak ada yang sepenuhnya privat dalam tanda, demikian pula tidak ada yang
sepenuhnya privat dalam kebudayaan.
Tetapi
apabila kita menelan mentah-mentah juga wacana Voloshinov, akan muncul problem
lain. Dalam contoh kasus orang yang tuli sejak lahir, maka bagaimanakah bentuk
solilokui antara dirinya dan “suara” dalam dirinya? Apakah itu berbentuk bunyi?
Padahal ia tak pernah menemukan contoh bunyi sebelumnya dalma hidup dia.

0 Komentar