A Sage (Abad ke-12) - Liang Kai

 


Jepang dan kekayaan tradisinya memberi penghargaan tinggi pada tiga nilai yang turut membentuk semangatnya: Shinto, Buddhisme-Zen, dan Konfusionisme. Tiga itu merupakan epistemologi Bushido. Shinto ialah keyakinan rakyat untuk pendewaan kepada Kaisar, yang dianggap sebagai keturunan dewata–yang beraroma teokrasi. Buddhisme-Zen berkenaan intuisi, penerimaan akan takdir, praksis, dan sikap lepas-bebas terhadap diri. Konfusianisme sendiri berkaitan dengan rasa hormat, krusialnya ritual, dan pentingnya melaksanakan kewajiban. 


Dalam lanskap sejarah, terdapat lima lapisan historis. Masa sebelum Edo (pra-1600), masa edo (1603-1868), masa kekaisaran Meiji (1868-1912), masa perang dunia (1912-1945), sampai era kekinian. Pada lapisan pertama, sebelum masa Edo, tidak dikenal istilah bushido. Yang ada hanya etos kesatria yang dianut para petarung di daratan yang hari ini kita kenal dengan Tokyo. Pada lini masa ini, terjadi peperangan antar klan demi memperebutkan hegemoni.


Pada era Edo (1603-1868), kediktatoran shogun Tokugawa pun tumbuh dalam dinastinya yang dikenal Tokugawa Bakufu. Shogun merupakan istilah untuk pemimpin militer masa itu. Shogun tak boleh disibukkan dengan politik karena ia keturunan dewata yang suci dan politik terlalu kotor dan duniawi. Di tangan besi Tokugawa, ajaran Kong Hu Cu berekspansi luas ke seantero Jepang serta mengusir para zending dari Portugis dan Spanyol dan orang Jepang tidak boleh keluar dari Jepang. Kebijakan proteksionisme ini mengisolasi tujuh generasi Jepang–yang turut mengisolasi gen Jepang sehingga tak tercampur dengan genetika asing.


Pada era Edo, istilah bushido mulai dikenal. Muncullah doktrin jalan hidup bushi atau petarung samurai yang merupakan jalan menuju kematian terhormat. Maka mati di sini bukan sebagaimana anjing mati. Ironisnya, doktrin ini justru muncul setelah masa damai. Ada tiga tafsir atas bushi ini. Pertama praktis, bahwa samurai erat dengan kematian, bahkan kematian tak terduga. Maka kesadaran akan kematian memupuk sikap realistis. Kedua, spiritualitas, yang menyadarkan "kini dan saat ini" menjadi momen penting ketimbang kemarin dan besok. Spiritualitas kaizen ini menghendaki hidup bak sakura–biar pendek, asal indah! Ketiga, filsafat yang dekap dengan Buddhisme, bahwa realitas adalah maya yang tak bisa dipegang oleh keinginan. Untuk melepas segalanya (detachment), bahkan melepas "self", maka jalan merentang bebas ke kebahagiaan terluhur. Filsafat ini berpengaruh ke budaya populer, film-film samurai, akhir kerap bukan happy ending, melainkan glorius ending dengan pengorbanan sang protagonis.


Era selanjutnya disebut era Meiji (1868-1912), ditandai dengan penghapusan kelas samurai. Bushido lalu mulai dikorelasikan dengan Kejepangan, muncullah dalam zaman ini nasionalisme Jepang. Pada saat ini, shogun melemah karena pemerintah mulai terbuka dengan kontak asing. Pedagang yang awalnya lemah mulai lebih kuat daya tawarnya karena keran kerja sama dagang kian deras. 


Pada era perang dunia (1912-1945), bushido atau etika samurai mengalami populerisasi dengan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Doktrin bushido diaplikasikan ke pengorbanan diri demi bangsa dan negara. Di gelanggang perang, doktrin ini menjelma dalam kamikaze (angin dari dewa) yakni melalukan bom bunuh diri untuk merusak pasukan lawan.


Era perang dunia kemudian berakhir dengan kekalahan Jepang yang dekat dengan ideologi fasisme dan ultranasionalis. Tapi Jepang tidak menggunakan kata kalah, mereka berkata: "perang tak berpihak pada Jepang. Mari kita tanggung yang tak kita tanggung dan menderita apa yang tak kita derita." Konsekuensi dari perang yang tak berpihak padan Jepang ialah demiliterisasi, demokratisasi, dan deidologisasi. Deideologisasi diupayakan dengan mematahkan doktrin kalau kaisar merupakan keturunan dewata. Ini diilustrasikan dengan kaisar Hirohito yang berfoto dengan perwakilan asing dengam sama-sama berdiri, berbeda dengan tata krama sebelumnya di mana mereka yang datang ke kaisar mesti bertekuk lutut.


Salah satu yang mengkontra hegemoni upaya deidologisasi ini adalah Inazo Nitobe. Ia orang yang sama yang menganjurkan bushido dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Nitobe yang belajar di barat menekankan bahwa Jepang tetap setara dengan barat kendatipun "perang tak berpihak pada Jepang". Harga diri yang tinggi ini barangkali residu dari semangat bushido leluhur Jepang.


Sejak periode 1945 sampai sekarang Bushido kemudian dianggap sebagai konstanta psikologis (istilah Jung) dari pengalaman kolektif bangsa Jepang yang hadir dari masa lalu demi mengatasi tantangan masa kini dan masa depan. Ia dipelihara dalam aneka bentuk budo, semisal japanese martial arts seperti kendo dan judo, juga sebagai estetika (wabi-sabi) di mana ketidaksempurnaan merupakan keindahan, dan kaizen yang menjadi nilai-nilai penting perusahaan. Kalau bisa diringkas, bushido tercermin dari kata-kata Miyamoto Musashi: "Dalam setiap pertarungan dan kehidupan sehari-hari, kamu mesti menjaga ketenangan." Di jurnal akido, terdapat wejangan sederhana soal ini: "Tenang, tapi waspada; santai tapi siap; lembut tapi tajam; rendah hati tapi percaya diri."