Sejarah filsafat adalah sejarah dialektika. Kita bisa melihatnya dalam literatur filsafat paling purwa, di mana Thales dikritik oleh muridnya Anaximender dan Anaximender dikritik juga oleh murid-muridnya; di mana Plato dikritik oleh Aristoteles; di mana Kant dikritik oleh Hegel, Hegel dikritik oleh Marx, Marx dikritik oleh Neo-Marxisme dan seterusnya. Dialektika merupakan pemandangan yang tak terelakan dalam sejarah para pemikir dunia.
Dialektika secara etimologi berasal dari kata Yunani, dialege, yang artinya "melalui percakapan". Dialektika secara harfiah ialah upaya memperoleh pengetahuan lewat percakapan. Dialektika menjadi khas dalam filsafat karena ia berbeda dengan cara memperoleh pengetahuan lewat refleksi, meditasi, eksperimen, dan sebagainya. Menurut Diogenes laertius, dialektika berasal dari Euclides. Dalam percakapan filsafat secara umum, kata dialektika kian populer lewat Hegel.
Bila kita menengok ke belakang zaman, tepatnya Yunani sebelum kalender Gregorian ada, dialektika bisa kita tahu sudah dipraktikkan Sokrates. Praktik dialektika Sokrates dimulai sebagai ketidaksetujuan pada kaum sofis. Saat itu, demokrasi kian marak di Athena yang menguntungkan aspek militer dan ekonomi. Di alam demokrasi yang terbuka, dialektika tumbuh subur. Anak muda tak lagi berlaga di militer tapi di agora, semacam majelis pengadilan di mana tarung argumen terjadi. Sofis lantas mengajarkan retorika yang dengan cepat menyebar. Popularitas retorika membikin Sokrates jengah karena tak membawa kita pada kebenaran, namun hanya kemenangan. Demikianlah Sokrates berjalan-jalan ke pasar mengajak anak muda Athena berdialektika.
Terdapat unsur tragis dan komedis dalam retorika. Retorika memang bisa membawa kita pada kemenangan yang memberikan perasaan kuat kalau kita benar, tapi kebenaran dan kemenangan merupakan dua hal yang sangat berbeda. Sofis tujuannya adalah kemenangan, sedangkan filsafat tujuannya kebenaran–dengan demikian retorika hanya pseudo-dialektika. Memang benar bahwa retorika hanya berkembang sehat dalam demokrasi, sistem yang disebut Romo Setyo sebagai "rezim kata-kata", namun retorika tanpa proses dialektika punya risiko bahaya yang mengintai di belakangnya.
Oleh Hegel, dialektika bukan sekadar metode untuk membaca realitas, objek telaah juga mengalami dialektikanya sendiri. Hegel memang melihat ada dialektika yang dipraktikkan Plato dan Aristoteles, tapi dialektika tersebut masih berputar di sekitar epistemologi, belum di tataran ontologis. Dialektika Hegel bermain di wilayah epistemologi dan ontologis.
Bagi Hegel, filsafat harus terbebas dari segala pengandaian, maka titik tolak utama filsafat adalah "ada" (being). Dan karena tidak ada pengandaian, maka realitas merupakan "ada murni" (pure being) menurut Hegel, artinya "ada murni" itu tak memiliki warna, tak memiliki sifat, dan tak memiliki kualitas apa pun. Karena ketiadaan kualitas-kualitas itulah, "ada murni" juga berarti "ketiadaan murni". Inilah cara Hegel mengkonstruksi realitas, ia melihat realitas sebagai sesuatu yang mengalami dialektika dengan dirinya sendiri; realitas adalah "ada murni" sekaligus "ketiadaan murni". Kemenjadian pun merupakan sintesa antara dialektika ada dan ketiadaan.
Hegel membedakan akal sehat (understanding atau verstehen) dan rasio. Akal sehat akan melihat ada sebagai ada. Tapi rasio melihat "ada" tidak hanya sama dengan "ada", ia bisa juga sama dengan tidak ada. Bagi Hegel, A=B atau A=non-A; A senantiasa mengalami kontradiksi. Ini berbeda dengan akal sehat serta prima principa logika klasik yang menyatakan A=A, dan tak mungkin ada kontradiksi di dalamnya.
Kontradiksi merupakan konsep kunci dalam filsafat Hegel. Meskipun kontradiksi bukan hal baru dalam lanskap sejarah filsafat. Heraklitus–salah satu filsud favorit Hegel–menerapkannya dalam filsafanya, ia berkata bahwa gelap sama dengan terang, naik sama dengan turun, dan semacamnya. Namun dalam Hegel, dialektika tidak sekadar pertentangan tapi juga mengimplikasikan sintesa dari pertentangan tersebut. Gelap sama dengan terang, menghasilkan sintesa yang disebut keseluruhan hari dalam durasi 24 jam, naik sama dengan turun mengimplikasikan sintesa berupa dinamika. Begitu pun dalam terminologi filsafat timur, dialektika yin dan yang akan menyintesakan harmoni, dalam sains, ketertiban dan keos akan mensintesakan perubahan kekal.
Kita bisa mengambil contoh pintu. Pintu di rumah kita menjadi bagian rumah, yang dalam dialektika, bisa kita lihat kalau pintu dan rumah berkontradiksi. Tapi pintu tak hanya berkontradiksi denga rumah, ia juga berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Pintu kita tahu tak sama dengan jendela, tak sama dengan lantai, tak sama dengan gelas, dan tak sama dengan apa pun yang bukan pintu; pintu pada dirinya sendiri tak sama dengan non-pintu, dengan demikian pintu selalu dibatasi oleh non-pintu. Maka ada sesuatu yang negatif dalam pintu, yakni non-pintu. Dalam konsep terang, sesuatu yang negatif ialah gelap, dalam konsep naik, turun merupakan yang negatif. Konsep gelap dibatasi oleh terang dan naik dibatasi turun; gelap berdialektika dengan terang dan naik berdialektika dengan turun.
Lantas bagaimana konsep kebenaran dalam dialektika Hegel, mengingat logika klasik selalu berkata bahwa kebenaran tidak boleh berkontradiksi? Dalam contoh sebelumnya, kita mengetahui kalau pintu bersifat positif karena ia hadir sekali waktu bersifat negatif karena ia dibatasi oleh non-pintu, maka pintu itu disebut benar sekaligus tidak benar. Kita tak mungkin memahami sesuatu tanpa melalui perbandingan-perbandingan. Kebenaran sendiri dalam dialektika Hegel adalah yang menyeluruh atau kerap kita sebut kebenaran absolut. Kebenaran absolut sebagai konsep, hanya bisa dipahami secara menyeluruh, dengan mengetahui pertentangan-pertentangan yang ada di realitas. Kita bisa memahami kebenaran pintu bila kita juga memahami konsep-konsep lain soal non-pintu atau segala hal yang bukan pintu.
Tujuan dialektika adalah memahami segalanya secara utuh. Dan keutuhan yang menyeluruh itu didekati secara konseptual. Namun bagaimana dengan aksiologi dialektika Hegel? Apakah tujuan dialektika adalah kebaikan sebagaimana Plato berkata kalau kebenaran sama dengan kebaikan? Dalam ontologi Hegel, semua hal bisa mengandung baik dan buruk. Bahkan dalam kejahatan, terdapat kebaikan di dalamnya. Bagi Hegel, kebaikan senantiasa terbatas oleh keburukan. Pagebluk bisa disebut buruk, namun terdapat kebaikan di dalamnya berupa waktu lebih berkualitas dengan keluarga, kesadaran untuk tolong menolong, meningkatnya daya tahan mental, dan kesadaran akan kesehatan. Secara partikular, sesuatu bisa disebut buruk, tapi keburukan dalam kaca mata lebih holistik merupakan kebaikan. Kejahatan pada individu bisa disebut buruk secara partikular, tapi secara holistik ia bisa dilihat sebagai kebaikan karena meningkatkan kewaspadaan kita akan kejahatan, memberi gaji pada polisi serta pengacara, dan banyak lagi. Karena itulah Kierkegaard jengah pada Hegel sebab ia menyepelekan penderitaan individu.
Sebagaimana yang mempopulerkan dialektika, Hegel pun tak luput dari dialektika. Kontradiksi pemikiran Hegel dengan pemikiran lain melahirkan banyak kubu yang bisa kita golongkan ke Hegelianisme kanan dan Hegelianisme kiri. Dari sudut kiri, ia turut mempengaruhi Karl Marx yang menyatakan sejarah hanya tentang pertentangan kelas. Dari sudut kanan, ia menginspirasi raja Prussia zaman itu untuk mengekspansi negara-negara lain lewat peperangan. Hegelianisme kanan tersebut lantas babak belur di bawah kritik Karl Popper karena mengarah pada historisisme yang menimbulkan banyak kesensaian dalam demokrasi dan perdamaian dunia. Meskipun begitu, dialektika Hegel tak dapat dipungkiri menyumbang banyak hal dalam rangkaian episode panjang sejarah filsafat kita.

0 Komentar