Terdapat tiga penemuan yang mengguncang
stabilitas abad ke-20: atom, bit, dan gen. Ketiga hal itu adalah substansi
paling kecil namun merupakan pondasi bagi nyaris segala hal yang mengelilingi
kita hari-hari ini. Tapi tidak ada yang paling menggelisahkan dan prosesnya
masih terus bergulir sampai batas-batas terluar daya jangkau imajinasi kita,
selain yang dapat dieksplorasi dari tema gen ini. Barangkali alasan itu sudah
cukup jelas dan kuat untuk saya membeli buku Gen, karya Sidharta Mukherjee.
Gen tak lebih dari ensiklopedia manusia.
Terdiri dari empat puluh enam pasang kromosom, atau dengan menarik
diilustrasikan oleh Matt Riddley sebagai “ensiklopedia dengan dua puluh tiga
bab”. Di sana termaktub segala informasi yang diwariskan oleh nenek moyang kita
sejak berabad-abad lamanya. Lalu kita membuka salah satu halaman yang bicara
bahwa pada mulanya adalah sperma.
Gagasan pada mulanya adalah sperma disebut
juga spermisme, yang dicetuskan oleh Phytagoras. Phytagoras beranggapan bahwa
segala informasi keturunan kita berasal dari ayah, tepatnya, dari setetes mani.
Rahim perempuan tidak lebih sebagai tempat singgah, inkubator agar sperma dapat
menyalurkan dirinya. Dalam proses reproduksi, peran utamanya adalah laki-laki,
demikianlah teori yang bernada misoginis tapi cukup wajar mengingat saat itu
Yunani lagi dibayang-bayangi patriarki Zeus.
Kemudian tibalah Aristoteles yang
mengkritik spermisme Phytagoras. Katakanlah seluruh informasi seorang anak yang
baru lahir berasal dari ayah, lantas, bagaimana bila anak yang baru lahir
tersebut perempuan? Dari manakah pengetahuan tentang vagina, payudara, dan
siklus menstruasi yang notabene tidak pernah dialami oleh bapak? Aristoteles
sebenarnya pengin bilang, bahwa pengetahuan seorang anak diambil
setengah-setengah dari sosok bapak dan ibu. Sederhananya, manusia adalah
ensiklopedia yang sebagian isinya disumbangkan oleh bapak dan sebagiannya lagi
disumbangkan oleh ibu.
Berabad-abad kemudian, ahli biologi Max
Delbrȕck kemudian
berguyon bahwa Aristoteles seharusnya diberi hadiah nobel anumerta karena menemukan
DNA. Aristoteles, jauh sebelum Mendel hidup, sudah lebih dulu bilang bahwa kita
semua pada dasarnya adalah pesan yang kemudian menjelma jadi bahan. Kita adalah
secuil informasi yang dibawa oleh sperma dan sel ovum—entah apa istilahnya di
Yunani abad ketujuh SM—yang kemudian membentuk dirinya sendiri menjadi daging
dan tulang belulang.
Di zaman-zaman yang akan tiba, kita
berkenalan dengan Mendel, si biarawan yang senang bercocok tanam yang
mempelajari hakikat kehidupan dari pekarangan taman ketika melihat proses pembiakan
kacang polong atau ercis. Hal seperti itu tidak bisa dimengerti Darwin si calon
pendeta yang lebih ahli menyintesis informasi-informasi besar, senang
berdeduksi, serta ahlinya sejarah alam. Mereka berdua adalah tokoh penting bagi
sejarah biologi kita—dari biologi teoritis sampai biologi terapan (eugenika dan
nugenika). Sayangnya, penemuan Mendel bernasib sebagaimana legenda-legenda
sejarah, dihargai justru ketika penemuannya sudah tidak diperjuangkan lagi oleh
majikan sesungguhnya.
Darwin berkata bahwa seleksi alam berlaku
pada organisme. Nyatanya, seleksi alam justru berlaku terhadap satuan pewarisan
sifat. Konklusi tersebut ditemukan setelah penelitian Mendel di laboratorium
ercisnya terungkap—meski nyaris diplagiasi oleh orang-orang tak bertanggung
jawab. Seleksi alam tidak sekadar kontes bertahan hidup, lebih dari itu, kontes
tentang siapa yang paling kuat mewariskan kemampuan bertahan hidup itu sendiri.
Katakanlah, berkat sebuah upaya bertahan
hidup yang keras, lahirlah spesies baru berbulu lebat di iklim yang sangat
dingin. Daerah tersebut begitu kejam. Setiap kali membuang napas, kita bisa
menyaksikan udara itu berwujud seolah menjadi benda padat di depan muka kita.
Bahkan dalam wujud yang paling kerdil dan tak terlihat sekalipun, zat cair bisa
tampak padat dengan cepat. Daerah itu adalah daerah yang bisa membuat air
matamu dengan cepat membeku, tubuhmu tak henti-henti menggigil seolah sakit
demam menggerayangimu setiap malam, tapi angin terlalu dingin, dan udara yang
dingin menusuk itu selalu bisa menemukan cara menyelinap ke inti sumsum tulang
belulangmu.
Bulu lebat itu membantu organisme untuk
resisten terhadap ancaman dingin yang bisa begitu menyiksa. Tapi saat itu hewan
berbulu lebat belum bisa disebut memenangkan kontes seleksi alam. Ia menjadi
jawara ketika, anak-anak yang lahir dari benihnya akhirnya bisa lahir dengan
bulu yang sama-sama lebat dengan ia. Mereka yang lahir gundul akhirnya akan
tersingkir dari kontes evolusioner dan mereka yang lahir berbulu menerima
kemenangan; hukum rimba memang kejam, siapa yang menang bertahan dan yang kalah
terbuang. Nah, itulah yang dimaksud bahwa seleksi alam berlaku pada satuan
pewarisan sifat.
Dari sana, biologi evolusioner menemukan
pondasi yang menyusun sendiri pilar-pilar kemajuannya. Masa depan kemudian
menjadi cemerlang sekaligus menggelisahkan. Sebab, bukan hanya kekejaman
politik Om Kumis (Hitler) yang kita takutkan bakal terulang di masa depan,
tetapi juga kekejaman biologis seperti eugenika yang dengan tega mengisolasi,
mengebiri, mengeuthanasia, serta menggenosida berbagai orang yang nasibnya
tidak beruntung, hanya karena tidak lahir dengan sehat tanpa cacat dan berdarah
Jerman. Walaupun bila bicara tentang ketidasempurnaan, bila hidup tanpa bola
zakar yang utuh bisa disebut ketidaksempurnaan, kenapa Hitler tidak ikut
dieuthanasia ya?
Dengan demikian, tugas kita dalam kontes
seleksi alam ini bisa kita sederhanakan. Bila kita pengen menciptakan masa
depan yang lebih baik, lebih pantas untuk ditinggali oleh anak cucu kita di
kemudian hari, maka hal paling sederhana yang bisa kita lakukan sekarang juga
dan saat ini juga adalah: memperbaiki kualitas dan kuantitas hidup kita
sendiri. Sebab hidup adalah sebuah warisan yang tak bertepi, ia tak akan
berhenti menggelinding ke kita.
Pemeran utama dari drama teatrikal
evolusioner ini bukan manusia, melainkan genetika, melainkan informasi. Di
planet ini, bukan tentang spesies mana yang paling kuat, akan tetapi, tentang
informasi mana yang lebih berguna yang memungkinkan informasi itu memperbaiki
dirinya sendiri. Ayam hanyalah cara telur untuk membuat telur yang lebih baik
lagi. Begitu pula dengan kita. Kita tak lebih dari tempat singgah, cuma sangkil
dari pengembaraan informasi, ruang antre, kita hanyalah peron, kita hanyalah
tempat gen kita mengaso, untuk berisitirahat sejenak—sejenak di sini dalam
skala waktu evolusioner, tentu saja—sebelum akhirnya meng-ada dalam diri
anak-anak kita kelak sampai ke piut kita kelak.
Dan mari kita kembali ke awal, bahwa kita
tak lebih dari ensiklopedia yang ditulis oleh kedua orangtua kita. Segala
kebiasaan dan sifat, tak lebih dari warisan generasi-generasi di belakan
kelahiran kita. Kalau kita pengen nasib anak dan cucu kita baik-baik saja,
tolonglah, berhenti menjadi bajingan hari ini juga, dan bangun
kebiasaan-kebiasaan baik, konstruktif, dan berguna untuk cucu-cucu kita di
beberapa generasi yang akan tiba.
0 Komentar