Dalam trayektori keilmuan Islam, filsafat muncul belakangan. Gairah intelektual awal Islam dimeriahkan oleh Syafii, Malik, Hambali, dan Hanafi. Mereka merupakan rujukan utama mazhab salaf (aliran klasik). Diikuti dengan perkembangan saintifik di bidang kimia oleh Ibn Hayyan dan matematika oleh Al-Khawarizmi. Filsafat muncul setelah diterjemahkannya teks Yunani oleh al-Kindi hingga melahirkan buku filsafat Islam pertama.
Sayangnya, saat itu Arab-Islam memendam kecurigaan terselubung terhadap ilmu yang tak berasal dari tradisi asli Islam. Seolah segala di luar Quran, Sunnah, dan Hadith tidak bisa diterima sebagai kebenaran. Karena itu, keberanian al-Kindi mengimportasi filsafat ke dunia Islam menyebabkan ia dipecat dari istana kerajaan. Filsafat saat itu bagai subversif di hadapan status quo kerajaan Islam.
Dalam bukunya, al-Kindi menyatakan pembelaan pada filsafat: "Kita semestinya tidak perlu merasa malu untuk menerima kebenaran dari mana pun ia berasal…." Al-Kindi barangkali pengin bilang, bahwa kebenaran tak punya KTP, tak mengenal tanah kelahiran, tak berjenis kelamin, dan bukan kepemilikan eksklusif satu identitas semata, karena apabila demikian maka kebenaran tidaklah bersifat universal.
Salah satu argumen penting al-Kindi adalah tentang keesaan Tuhan. "Esa" yang melekat pada nama Tuhan tidaklah merujuk ke sistem bilangan matematis, karena kalau Tuhan dianggap berbilang meskipun itu terbilang sebagai satu, artinya Tuhan bisa dikuantifikasi atau dikalkulasi. Karena itu frasa TYME tidak mengambil kata Sansekerta "eka" melainkan "esa", sebab yang pertama merujuk pada angka dan yang kedua menyatakan sesuatu yang tak terbagi, yang tunggal.
Filsuf selanjutnya yang kerap dijuluki "guru kedua" setelah Aristoteles ialah al-Farabi. Al-Farabi menyerap teori kosmos Plotinus, kausa prima Aristoteles, dan Idea abadi Plato sehingga melahirkan teori emanasi. Bisa dibilang al-Farabi mendamaikan problem Plato dan problem Aristoteles soal Tuhan yang gaib dan dunia yang empiris. Baginya dunia empiris adalah pancaran dari Tuhan yang gaib, yang tanpa Tuhan, segala hal menjadi tidak mungkin.
Al-Farabi memakai metafora matahari dan mata dalam perkara epistemologi. Tanpa pancaran sinar matari, mata kita tak dapat menangkap objek di sekeliling. Bahkan ketika matahari tak menggantung di langit malam hari, cahayanya tetap dipantulkan lewat perantara purnama. Tanpa adanya Tuhan sebagai sumber cahaya, kita tak dapat mengetahui apa pun.
Tokoh lain adalah al-Ghazali yang membagi dua jenis realitas, yakni realitas malakut (non-materi) dan realitas syahaddah (materi). Teori emanasi al-Farabi bergema pada filsafat al-Ghazali, yang menganalogikan pantulan cahaya dari satu objek ke objek lain. Alam ketuhanan ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sesuatu yang lebih rendah derajatnya. Semisal matahari memancarkan cahaya ke bulan yang memantulkannya ke cermin di kamar kita yang kemudian memantulkannya lagi ke lantai marmer sehingga tampak mengkilap.
Ghazali membagi dua jenis epistemologi: panca indera dan hati (dhamier). Masing-masing indera digunakan untuk menyerap pengetahuan dari masing-masing realitas. Indera memang dapat melihat yang dekat tapi luput melihat yang jauh, juga hanya bisa menangkap permukaan atau kulit dari sesuatu. Karenanya, indera hanya bisa dipakai untuk realitas syahaddah (materi). Untuk realitas malakut (non-materi), epistemologi yang digunakan adalah hati, sebab hati tak membedakan yang jauh dan yang dekat, dan selalu menangkap isi serta kedalaman dari kebenaran.
Meskipun demikian, al-Ghazali justru lebih dikenal sebagai anti filsafat. Ini paradoksal, karena untuk membuat kritik pada filsafat (tahafut al-falasifah), toh al-Ghazali juga sesungguhnya lagi berfilsafat. Memang ia berkata bahwa ilmu punya potensi menjadi tercela. Al-Ghazali membuat 20 kategori filsafat, dan tiga di antaranya, adalah topik filosofis yang menurut Ghazali muddharatnya lebih banyak ketimbang manfaat. Topik-topik tersebut ialah keqadiman alam, kebangkitan ruhani, dan ketidaktahuan Tuhan. Pengharaman filsafat oleh Ghazali ditujukan untuk tiga topik tersebut saja.
Ibn Rusyd lantas memberi pembelaan akan serangan al-Ghazali pada filsafat. Ia membikin kritik atas kritik filsafat (tahafut al tahafut falasifah). Bila al-Ghazali menjadikan hati sebagai alat utama menangkap kebenaran, maka Ibn Rusyd menjadikan rasio sebagai yang utama. Karena itu pengikut al-Ghazali cenderung mistikus dan pengikut ibn Rusyd cenderung rasionalis. Bila Ghazali menganggap alam non-materi hanya bisa ditangkap hati, Ibn Rusyd sendiri memakai rasio untuk memahami yang non-materi.
Namun, bukan berarti rasio merupakan sumber pengetahuan itu sendiri. Bagi ibn Rusyd, epistemologi kita hanya alam dan wahyu, rasio sendiri lebih bertugas sebagai sarana menyerap kebenaran yang tertebar di wahyu dan alam, entah lewat akal praktis atau akal teoritis.
Berbeda dari al-Farabi yang menjahit Platonisme dan Aristotelian dalam teorinya, ibn Rusyd hanya menyerap Aristoteles saja dan sama sekali melenyapkan pengaruh neoplatonis. Ibn Rusyd juga mengkritik teori emanasi al-Farabi yang mengandaikan makhluk manusia seolah pasif dalam hierarki emanasi, padahal nalar bersifat aktif. Di sini Ibn Rusyd mengadopsi teori gerak Aristoteles, yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan Penggerak yang Tak Tergerakkan, yang senantiasa menjadi penyebab atas lalu lintas gerak benda di dunia, dan gerak tidaklah berkonotasi pasif.
Selain itu kita kenal Suhrawardi dengan teori Isyraqiyah. Suhrawardi menjadi penantang paripatetik yang cukup dominan di antara para filsuf muslim, aliran pemikirannya disebut iluminasi. Suhrawardi sendiri menganggap esensi lebih penting daripada eksistensi. Pemikiran Suhrawardi amat dipengaruhi al-Hallaj, al-Ghazali, ibn sina, Plato, Phytagoras, Hermesisme, Zoroaster, dan Iran kuno.
Iluminasi ialah gagasan soal gradasi esensi dan kesadaran diri. Tak sama dengan filsuf sebelumnya, bagi Suhrawardi yang bergradasi itu bukanlah eksistensi. Esensi seperti cahaya yang dalam pelbagai tingkatan mengandung sifat berbeda-beda. Tanpa gradasi, hanya kegelapan yang tersisa, dengan kata lain, ketiadaan.
Secara epistemologis, pengetahuan tak berasal dari luar diri melainkan dari dalam diri. Bagi Suhrawardi, tanpa kesadaran, objek tak dapat dipahami, maka kesadaran merupakan hal pertama dan utama. Dan karena tiap orang punya kesadaran diri masing-masing, maka setiap orang punya potensi yang sama mendekati kebenaran. Karena itu Suhrawardi berkata bahwa orang lain hanya aku dalam versi lain. Metode menuju kebenaran sendiri bersifat asketis, yakni lewat pengasingan dan menghindari segala yang duniawi.
Gagasan yang kental dengan nuansa sufistik Suhrawardi lantas mempengaruhi tasawuf ibn Arabi. Ibn Arabi cukup unik karena ia memakai logika paradoksal yang bahkan belum banyak dibicarakan di Barat–terutama yang memegang teguh logika klasik Aristotelian. Ia berkata bahwa alam sama dengan Tuhan sekaligus tidak sama dengan Tuhan. Bahwa Tuhan Yang Tersembunyi sekaligus merupakan Yang Tampak, Esa sekaligus Banyak, Qidam sekaligus Hadith, Tasybih sekaligus Tanzih. Ibn Arabi mengajak kita untuk memahami kesatuan antara pertentangan-pertentangan–yang sepertinya mendahului gagasan dialektika ontologis Hegel.
Namun ibn Arabi bukanlah panteisme, yang menganggap Tuhan dan alam adalah hal yang sama. Ibn Arabi sebenarnya mau bilang kalau hanya lewat alam Tuhan bisa berpenampakan (tajjali atau epifani). Bahwa alam adalah cermin bagi Tuhan, maka untuk memahami Tuhan, kita juga perlu memahami alam, sekaligus memahami paradoksikalitas di antaranya. Tasawuf ibn Arabi adalah perluasan dari gagasan al-Hallaj yang bilang ada manusia pada Tuhan dan ada Tuhan pada manusia, pada Ibn Arabi pernyataan itu berubah menjadi relasi kosmos dan teos atau alam dan tuhan.
Filsuf yang paling berpengaruh di atas semuanya barangkali adalah Mulla Shadra yang menggabungkan serta memodifikasi pemikiran ibn Sina, Suhrawardi, dan ibn Arabi. Filsafat Shadra dibangun di atas pondasi ibn Sina, dijalankan lewat sistem Suhrawardi, dan dipakai membahas isu-isu ibn Arabi. Berbeda dengan Suhrawardi, Shadra menjadikan posisi eksistensi di atas posisi esensi.
Gagasan menarik Shadra ialah gradasi wujud dan gerak substansialnya. Gradasi wujud perubahan bentuk dari satu wujud ke wujud lain, yang bisa dilihat dari proses manusia yang awalnya benda mati (setetes mani), lalu bertransformasi menjadi makhluk yang reseptif (bak tumbuhan), lalu menjadi makhluk yang dibebani hawa nafsu (bak hewan), dan paripurna sebagai manusia. Sekilas, proses ini mirip dengan evolusi Darwin, namun proses perubahan dan seleksi alam versi Shadra tak bersifat acak dan entropis.
0 Komentar